- Banyak pohon mangrove di Teluk Benoa, Bali dari selatan memanjang ke timur banyak yang mati dan sekarat.
- Pohon mangrove tersebut mati karena dieback atau tidak berfungsinya organ pohon sehingga tidak bisa bisa merespon perubahan di ekosistemnya. Faktor pemicu utamanya karena tingginya sedimentasi sehingga menutupi sebagian besar akar nafasnya.
- Sedimentasi terjadi karena aktivitas proyek pengurugan tanah/reklamasi untuk pengembangangan pelabuhan Benoa oleh PT. Pelindo III Bali. Untuk itu, PT. Pelindo III Bali diminta merehabilitasi areal terdampak
- Tim Rehabilitasi mangrove PT. Pelindo III sedang dan telah melakukan rehabilitasi lahan mangrove yang rusak dengan penanaman kembali dan pembuatan kanal keluar masuknya air laut
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan. Tulisan pertama bisa dilihat dengan meng-klik tautan ini.
***
Kerusakan kawasan mangrove di Teluk Benoa sudah dipetakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai sejak Agustus 2018. Selain mangrove di dalam areal Pelindo, juga terdampak pada areal mangrove kawasan Tahura. Bagaimana penanganannya?
Mongabay Indonesia mendapat akses surat dari UPTD Tahura Ngurah Rai kepada Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tertanggal 6 Februari 2019 melaporkan perkembangan penanganan dampak kematian akibat kegiatan PT. Pelindo III Bali. Isinya menerangkan kronologis kerusakan sejumlah tutupan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai dampak pengurugan tanah (reklamasi) oleh Pelindo III dalam rangka pengembangan pelabuhan.
Pada Agustus 2018 mulai ada kematian pohon mangrove di sekitar areal Pelindo. Mangrove yang mati di sebelah barat dan selatan Restoran Akame yang menjadi wilayah Pelindo III. Ini disebut di luar kawasan Tahura. Namun mangrove mati yang berada di kawasan Tahura dan terdampak reklamasi berada di sisi timur seluas sekitar 17 hektar. Jenis mangrove yang mati kebanyakan jenis plasma nuftah, habitat asli Tahura ini yakni Soneratia alba.
baca : Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali
Akhirnya UPTD Tahura Ngurah Rai berkoordinasi dengan Pelindo dan menyampaikan surat pada 5 September 2018 untuk minta pertanggungjawaban atas kematian pohon mangrove dampak reklamasi Pelindo. Areal terdampak diminta direhabilitasi dengan mengembalikan kondisi lingkungan serta berkoordinasi dengan Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan untuk melakukan pengkajian teknis atas kematian mangrove.
UPTD Tahura juga mengirim surat ke Balitbang Kehutanan dan Pelindo juga berkoordiansi dengan Puslit, dan lainnya untuk melakukan kajian. Akhirnya pada 21-26 September tim Litbang Kehutanan mengkaji kematian mangrove dan dan kesimpulannya mati karena sedimentasi lumpur dan pendangkalan pasang surut air laut ke kawasan mangrove.
Rekomendasinya, buat kanal-kanal untuk membasahi mangrove dari pasang surut air laut dan penanaman kembali areal yang terdampak dengan jenis mangrove yang sesuai. Dari rekomendasi ini, UPTD Tahura kembali bersurat ke Pelindo III agar segera melakukan pemulihan lingkungan.
Didampingi UPTD, sejak Oktober 2018, Pelindo disebut sudah melakukan perbaikan dengan membuat kanal-kanal untuk membasahi kawasan mangrove. Juga membuat bibit jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apicullata, dan Bruguiera sebanyak 100 ribu bibit.
Pada Oktober dilakukan penanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata di areal Pelindo 500 bibit dari BPDASAL Unda Anyar. Sementara penanaman di wilayah Tahura pada Januari 2019 sebanyak 50 ribu bibit dengan tiga jenis mangrove yang dipersiapkan itu. Pada Februari ditanam kembali 50 ribu bibit di antaranya jenis Rhizophora 20 ribu dan Propagul 30 ribu bibit. Sementara jenis Soneratia baru dibuatkan benihnya sekitar 10 ribu.
Demikian rangkuman laporan tertulis Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai I Nyoman Serakat. Seizin Kepala Dinas Kehutanan Bali, I Made Gunaja. “Ada di kawasan Pelindo dan di kawasan Tahura,” kata Serakat. Pihaknya sudah minta Litbang KLHK turun untuk memeriksa dampak kerusakan.
baca : Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?
Laporan dampak reklamasi oleh Pelindo ini juga terkonfirmasi dari Laporan Hasil Rapat Identifikasi Kerusakan Mangrove Tahura Ngurah Rai yang tertanggal 6 Desember 2018.
Rapat dipimpin oleh Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara. Isinya mirip dengan surat kronologis UPTD Tahura. Namun ada detail bagaimana kematian mangrove terjadi akibat kesalahan proses pengerukan reklamasi. Berikut kutipan laporannya.
PT Pelabuhan Indonesia III berencana melakukan pengembangan Pelabuhan Benoa sesuai dengan rencana induk pelabuhan (RIP) nasional, dimana pengembangan Pelabuhan Benoa akan dijadikan Marine Tourism Hub. Dalam upaya pembangunan ini, pemrakarsa (PT. Pelabuhan Indonesia III Cabang Benoa) telah memperoleh izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pelabuhan Benoa yang dikembangkan sebagai Marine Tourism Hub, dimana luas semula Pelabuhan Benoa sekitar 58 hektar akan dikembangkan menjadi 143 hektar. Sehingga memerlukan perluasan pengembangan seluas 85 hektar yang akan dilaksanakan dengan reklamasi/peninggian lahan pengembangan pelabuhan.
Dalam upaya penanganan sedimentasi akibat reklamasi/peninggian lahan pengembangan pelabuhan, pemrakarsa akan melakukan pengelolaan lingkungan dengan membangun sejenis tanggul atau revetment, serta pemasangan silt screen sebagai tabir penghalang padatan yang terdispersi ke perairan sekelilingnya.
Fakta di lapangan bahwa tidak dilakukan pembangunan tanggul/revetment serta pemasangan silt screen sehingga proses penimbunan material menyebabkan terjadinya pendangkalan atau sedimentasi pada areal lainnya. Hal ini sudah tidak sesuai dengan kaedah pengelolaan lingkungan berdasarkan izin lingkungan yang telah diberikan oleh KLHK.
baca juga : Nasib Miris Hutan Mangrove Teluk Benoa
Berdasarkan pengamatan citra dan dihitung luasan sebaran mangrove yang terdampak (berdasarkan degradasi perubahan warna mangrove menjadi kecoklatan) diperoleh seluas 7,41 Ha jumlah mangrove yang mati akibat sedimentasi yang mengganggu pertumbuhan mangrove khususnya jenis Sonneratia alba. Sama dengan luas yang dipetakan peneliti Hanggar Prasetio di Mongabay 11 Februari lalu.
Pada 30 Agustus 2018, dari hasil identifkasi diketahui mangrove yang mati jenis Sonneratia alba dan disarankan mengirim surat ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KLHK perihal permohonan kajian penyebab kerusakan mangrove.
Kemudian pada 25 september 2018, hasil studi lapangan tim Pusbanglithut KLHK ditemukan bahwa kerusakan tanaman mangrove diakibatkan oleh aktivitas pengurugan pasir/tanah dalam rangka pengembangan dan pembangunan pelabuhan benoa. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut.
Kegiatan pengerukan pada pembangunan dermaga menyebabkan terbentuknya sedimentasi lumpur pada kawasan disekitarnya. Sedimentasi lumpur ini secara bertahap bertambah dan pada akhirnya menghambat pasang surut air laut ke dalam kawasan mangrove.
Sedimentasi lumpur menyebabkan kematian tegakan mangrove pada formasi terdepan yang didominasi jenis Sonneratia alba dan anakan dari jenis Rhizophora apiculata. Jenis Sonneratia alba mati karena seluruh akar nafasnya tertutup lumpur, sedangkan anakan dari jenis Rhizophora apiculata mati karena seluruh bagian pohon terendam lumpur dan air pasang.
Sedimentasi lumpur juga menyebabkan pendangkalan badan air, sehingga badan air tidak dapat dilalui perahu nelayan dan hilangnya sebagian besar komponen biotik seperti makrobentos.
Sedimentasi lumpur mengalami pengeringan dan sebagian kecil telah pecah/retak dan kondisinya tidak kembali walaupun terendam air saat pasang. Ada sinyalemen bahwa lumpur bersifat cementing dan dapat menyebabkan kematian lebih lanjut pada formasi Rhizophora sp, ditandai dengan gugurnya daun.
menarik dibaca : Mangrove Tahura Ngurah Rai Bali, Nasibmu Kini…
Diperlukan upaya pemulihan ekosistem mangrove sesegera mungkin melalui pemulihan fisik berupa pembangunan kanal/pembuatan sumur bor. Untuk membasahi kawasan mangrove dan areal terdampak lainnya, membangun mud trapping guna melindungi pelabuhan dari pendangkalan. Selain itu pemulihan biotik berupa pemilihan jenis mangrove yang sesuai, perlakuan terhadap tegakan mangrove yang mati, dan penanaman,
Pada 26 September 2018, PT. Pelindo III membentuk Tim Rehabilitasi mangrove yang melibatkan UPT Tahura Ngurah Rai dan Unsur KLHK. Hasil yang diperoleh Tim Rehabilitasi yaitu PT. Pelindo III saat ini sedang menyelesaikan pekerjaan penimbunan pasir/tanah untuk pembangunan pelabuhan dan selanjutnya akan melakukan prakondisi lapangan dengan membuat kanal-kanal untuk aksesbilitas keluar masuknya air laut (pasang surut) ke dalam kawasan Tahura Ngurah Rai.
Pelindo sudah merencanakan pembuatan bibit mangrove untuk kegiatan rehabilitasi sebanyak 50.000 batang bibit dengan jenis Rizopora mucronata dan Rizopora bruguera, selain itu juga akan ada pengadaan bibit dengan propagule sebanyak 50.000 batang.
Dari peristiwa ini, muncul rekomendasi untuk mewajibkan pemrakarsa memenuhi semua ketentuan upaya pengelolaan sesuai dengan izin lingkungan yang diberikan. Di antaranya memberikan informasi ke Dirjen Penegakan Hukum KLHK terkait dokumen Amdal pengembangan pelabuhan yang tak sesuai dengan pelaksaannya.
baca juga : Teluk Benoa, Benteng Alam Bali Selatan Yang Semakin Renggang…
General Manager (GM) PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Regional Bali Nusa Tenggara I Wayan Eka Saputra saat dikonfirmasi Mongabay-Indonesia menyebut sudah melakukan penanaman dan mitigasi. Ia mengarahkan wawancara ke tim humasnya.
Mareta Mulia Atmadja, Liaison Officer General Affair and Communication PT Pelindo III Regional Bali-NTB yang ditemui Mongabay-Indonesia di kantornya menyebut sudah menanam bibit mangrove 3 jenis sekitar 50 ribu. Jika dikonversi sekitar 5 hektar. “Tidak mati, hanya kering,” elaknya.
Untuk memastikan bibit yg ditanam bisa tumbuh sementara proyek masih berlangsung, ia menyebut ada mitigasi koordinasi dengan Tahura dan Litbang Kehutanan di Bogor. Selain itu sedang dibuatkan kanal untuk aliran air.
Mareta mengatakan ini proyek strategis nasional dengan pengembangan pelabuhan jadi 3 zona, perikanan, wisata, dan curah cair distribusi BBM. Terkait desain pengembangan, ia belum bisa memberikan saat wawancara.
Rijaluzzaman, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara Barat mengatakan tugasnya memantau aktivitas di proyek pembangunan dan kerusakan sudah dilaporkan ke Dirjen Penegakan Hukum KLHK.
“Kami minta segera dikaji, apakah dokumen Amdalnya dipatuhi atau tidak. Saya mendesak, semoga habis Nyepi dipercepat,” harapnya. Persyaratan untuk pengurugan misalnya apakah revetment/tanggul dibuat apa tidak? Ia juga hanya tahu Amdal kawasan yang lama.
Menurutnya mangrove sensitif pada perubahan, misal ada lumpur mengeras dan terganggu pasang surutnya. Terlebih jenis mangrove sejati Prapat di Teluk Benoa, Sonneratia. “Harus dikembalikan substrat tempat hidupnya,” lanjutnya.
Ia belum bisa memperkirakan sanksi penegakan hukum dalam kasus ini seperti apa karena harus dikaji dulu. Kalau dampaknya fatal bisa penutupan atau perbaikan tergantung kesalahan.