- Kejadian penembakan orangutan kembali terjadi. Di awal Maret ini terjadi di Subulussalam, Aceh. Induk orangutan dijumpai dalam kondisi terluka parah, dengan 74 peluru bersarang di tubuhnya.
- Bayi orangutan tidak berhasil diselamatkan. Dalam perjalanan menuju pusat rehabilitasi, anak orangutan ini mati karena malnutrisi.
- Kejadian ini telah berulangkali terjadi. Organisasi COP mencatat lebih dari 47 penembakan orangutan terjadi dalam enam tahun terakhir. Kenyataan di lapangan bisa lebih banyak lagi.
- Penertiban peredaran senapan angin perlu dilakukan segera karena bertentangan dengan aturan negara. Fakta menjumpai senapan ini digunakan untuk perburuan satwa liar dilindungi, bahkan senjata ini telah dimodifikasi.
Tak lama setelah mendapat laporan adanya orangutan yang masuk ke kebun warga, tim Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Aceh pun bergegas bergerak ke Desa Bunga Tanjung, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Namun betapa terkejutnya mereka, saat menjumpai kondisi dua individu orangutan itu, -induk dan anaknya saat itu. Raut wajah prihatin pun langsung tampak di tiap anggota tim evakuasi.
“Saat ditemukan, anak [orangutan] tersangkut di cabang pohon, induknya terluka parah,” sebut Krisna (10/03) dari Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) yang turut mendampingi tim BKSDA Aceh.
Kesedihan semakin memuncak setelah kedua orangutan itu berhasil diturunkan dari atas pohon. Anak orangutan ternyata mengalami kekurangan nutrisi dan induknya terluka akibat bacokan senjata tajam dan banyak bekas tembakan senapan angin.
Baca juga: Senapan Angin, Ancaman Serius Pembantaian Orangutan di Alam Liar
“Mata kanan sudah rusak parah, matanya mengecil dan memutih. Mata sebelah kiri juga sudah rusak akibat tembakan senapan angin,” ujar Krisna yang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dia amat terpukul. Kejadian penganiayaan orangutan ini adalah yang terparah yang pernah dia jumpai.
“Hasil x-ray, ditemukan ada sebanyak 74 butir peluru yang tersebar di seluruh badan,” ungkap Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo, dalam penjelasannya.
Sapto menyebut, tim langsung memutuskan untuk segera membawa induk dan anak orangutan itu Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara, yang dikelola Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Sayangnya, nyawa bayi orangutann itu tidak tertolong.
“Anak orangutan itu mati, sudah kami kuburkan di Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit,” sambungnya.
Hasil pemeriksaan dokter hewan di pusat karantina, orangutan yang lalu diberi nama “Hope” (Harapan), saat dievakuasi mengalami dehidrasi parah. Ditandai dengan rambut kusam dan kulitnya yang bersisik.
“Mulut juga terlihat bengkak, banyak luka dan memar. Mata kanan mengalami kerusakan permanen. Kemungkinan kerusakan terjadi lebih dari 2-3 bulan yang lalu,” sambung Sapto.
Sebutnya, kondisi Hope amat parah saat dievakusi. Pendarahan terjadi di mata kiri bagian kornea dan pupil akibat tiga peluru. Luka lebam di seluruh tubuh, dijumpai di kedua tangan dan ada luka sayatan terbuka di beberapa bagian tubuh.
“Rinciannya, tangan kanan lebar luka 10 cm, tangan kiri luka di bagian jari-jari dengan lebar 2-3 cm. Kaki kanan luka terbuka di bagian paha atas dengan lebar luka 10 cm. Luka terlihat seperti luka sayatan benda tajam, telapak kaki kanan luka terbuka, yang mengakibatkan kerusakan di bagian tendon. Lebar luka 5 cm namun cukup dalam,” ungkap Sapto.
Kaki kiri orangutan itu juga terluka selebar 4 cm dengan kedalaman 1 cm di daerah ruas jari telunjuk. Luka juga dijumpai di bahu kiri dengan lebar luka 1 cm yang cukup dalam, lebih dari 10 cm dan mengenai tulang.
Sapto mengecam berat kebiadaban yang telah dilakukan, yang menyebabkan orangutan sumatera, -satwa yang dilindungi negara ini, mengalami luka parah. Kejadian di Subulussalam ini menambah panjang jumlah kejadian serupa, seperti pernah terjadi di Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan Aceh Timur
“Kami dan Dirjen Penegakan Hukum LHK akan usut tuntas kematian bayi dan penganiayaan induk orangutan ini. Balai Gakkum Wilayah Sumatera dan BKSDA Aceh, berkomitmen untuk mengungkap tuntas kasus ini.”
Evaluasi Peredaraan Senapan Angin
Terkait dengan penggunaan senapan angin, Direktur YOSL-OIC Fransisca Ariantingsih mengungkap sudah saatnya penggunaan senapan angin ditertibkan. Sebutnya, sudah berulangkali kejadian satwa dilindingi yang mati akibat senjata ini.
“Kasus penggunaan senapan angin yang digunakan untuk membunuh atau melukai orangutan dan satwa liarnya sudah sangat sering terjadi. Bahkan, sebagian besar orangutan yang kami evakuasi terluka karena senapan itu,” ungkapnya.
Perihal penggunaan senapan angin, maka aturan merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8/2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api untuk Kepentingan Olahraga adalah aturan yang bisa dipakai untuk melakukan penertiban senjata angin yang beredar di masyarakat.
Pasal 4 Ayat 3 aturan itu, menyebutkan senapan angin hanya boleh digunakan untuk kepentingan olahraga menembak sasaran atau target. Pasal 5 ayat 2 menyebutkan senapan angin hanya untuk digunakan di lokasi pertandingan dan latihan.
“Pada dasarnya senapan angin hanya boleh dipakai atau dimiliki setelah mendapatkan izin kepolisian. Namun yang terjadi banyak senapan angin beredar tanpa izin, bahkan digunakan untuk berburu satwa dilindungi,” tambah Fransisca.
Dia menyebut ada kelemahan dalam monitoring peredaran senapan angin di tengah masyarakat yang harus segera ditangani oleh pihak kepolisian. Termasuk melakukan penertiban dan pembatasan peredaran senapan angin ini.
Daniek Hendarto, Manajer Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP) membenarkan pernyataan ini. Sebutnya senapan angin amat mengancam keberadaan satwa liar di Indonesia, khususnya orangutan.
“Banyak kasus kejahatan dan kekejaman yang menggunakan senapan angin. Orangutan, elang, kucing hutan, bangau sampai pipit dibantai peluru senapan angin,” ungkapnya.
COP mencatat dalam kurun 2012-2018 ada lebh 47 kasus penembakan orangutan dengan senapan angin di Sumatera dan Kalimantan. Kenyataan di lapangan bisa lebih dari itu.
“Ini fenomena gunung es. Kami yakin, jumlahnya lebih banyak lagi. Banyak orangutan yang mati akibat senapan angin. Hampir separuh yang berhasil kami selamatkan menderita cacat permanen.”
Baca juga: Senapan Angin, Senjata yang Digunakan Pemburu untuk Membantai Orangutan
Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) mengungkap fakta mengejutkan. Hasil temuan Tim patroli FKL, menemukan kelompok pemburu yang masuk ke dalam hutan bisa membawa empat sampai lima pucuk senapan angin.
Bahkan, sekarang para pelaku perburuan satwa telah memodifikasi senapan angin hingga bisa memakai peluru yang lebih besar yang dapat melukai mamalia besar.
“Senapan angin sudah dimodifikasi, bisa pakai peluru kaliber 5,5 mm. Jangankan satwa, manusia juga bisa mati kalau kena peluru ini,” sebutnya.
Menyikapi kejadian orangutan di Subulussalam, Sapto Aji telah bersurat kepada Polda Aceh. Dia meminta agar pihak kepolisian segera menertibkan penggunaan senjata angin.
“Dengan marak terjadinya peredaran senapan angin yang tidak sesuai prosedur, yang digunakan untuk perburuan satwa liar, termasuk satwa yang dilindungi seperti orangutan sumatera. Kami berharap Polda Aceh segera menertibkan penggunaan senapan angin di Aceh.” Demikian cuplikan isi surat yang telah dikirimkan pada tanggal 13 Maret 2019 itu.