- Sejak muda, pendiri dan vokalis band green grunge Navicula Gede Robi Supriyanto memang sudah tertarik dengan berbagai isu lingkungan. Bahkan mendirikan LSM lokal yang konsen dengan isu lingkungan di Bali
- Kegelisahannya tentang kondisi lingkungan dan fans kepada musisi dunia yang peduli lingkungan menginspirasinya dalam beraktivitas dan menciptakan lagu-lagu Navicula bertema kondisi alam, jauh sebelum berbagai isu lingkungan menjadi mainstream sekarang ini
- Dengan bandnya Navicula, Robi menyuarakan perjuangan konservasi dan kelestarian lingkungan, Bahkan lagu-lagunya menjadi semacam ‘anthem’ bagi aktivis lingkungan
Sejak kuliah di jurusan pariwisata, Gede Robi Supriyanto lebih tertarik mendiskusikan isu lingkungan. Bahkan ia dan beberapa temannya saat itu membuat LSM agar lebih mudah membuat acara atau mengikuti event bertajuk lingkungan.
Dalam sejumlah akun medsosnya, pendiri band green grunge “Navicula” bangga menyantumkan biodata sebagai musisi dan petani. Bisa terlihat dari sejumlah lagu-lagu Navicula jadi anthem, semacam mars sejumlah isu sosial lingkungan di Indonesia. Misalnya Mafia Hukum, Orang Utan, Metropolutan, Ibu, Busur Hujan, dan lainnya.
Apa ide-ide Robi, ini untuk memberi kaki pada harapan untuk perbaikan kualitas lingkungan di masa depan? Berikut wawancara Mongabay-Indonesia dengannya
Mongabay-Indonesia (M) : Kenapa memilih musik?
Robi (R) : Kalau musik aku tidak pernah memilih. Musik yang milih aku. Hehehe..
Aku dari kecil memang punya passion pada musik selain seni rupa. Cuma dua-duanya menyita waktu. Bapakku semangat pindah ke Bali karena aku punya passion di seni. Kalau tetap di Palu mungkin lain.
Ibuku sendiri bilang aku memang rewel. Tapi langsung diam pas ada musik. Belajar gitar umur 13 tahun. Cita-cita ingin bikin band. Waktu itu nonton video klipnya Smell Like Teen Spirit-Nirvana. Aku mau bikin band kayak itu.
Dari situ jadi milih grunge. Apalagi Majalah Hai bikin tulisan tentang musik, seperti Pearl Jam, Sound Garden, dan lain-lain. Aku mulai koleksi kaset pas Kelas V SD. Kamarku penuh poster. Habis itu akhirnya bikin band pertama kali Kelas I SMA bareng Mr Botax. Namanya ganti-ganti.
Aku bikin Navicula 1996. Kita dulu rajin bikin acara underground. Mengarang lirik lagu langsung tentang lingkungan karena baru habis ngobrol tentang lingkungan bareng teman-teman.
Sebagai anak kuliah yang haus pengetahuan, kita punya agenda bahwa setiap ada seminar tentang lingkungan, kita harus ikut. Dengan embel-embel LSM Bali Ecotourism Care, kami bisa dapat ikut gratis. Pada saat itu kita haus berorganisasi. Tiap ada peluang relawan, kami ikut.
baca : Navicula: Musik Adalah Senjata Jurnalisme Lingkungan Kami

M : Bagaimana lagu-lagu Navicula tercipta?
R : Aku mendengarkan Sepultura, Joni Mitchell. Tentang alih fungsi lahan. Lagu itu cerita, kidunglah di Bali. Navicula mulai 1996, begitu buat lagu sendiri harus bikin konsep. Dengar mereka membuat lagu menyelamatkan hutan Amazon, mendanai aksi Greenpeace.
M : Kondisi Bali secara sosial, ekonomi, lingkungan saat itu bagaimana?
R : Puncaknya pariwisata, duit pariwisata yang paling deras masuk. Topik lingkungan belum jadi isu favorit, tiba-tiba dalam kurun waktu 10 tahun terakhir langsung deg, mungkin karena impact-nya. Seperti plastik, dalam 10 tahun ke depan dampaknya brutal, perubahan iklim. Isu plastik sudah dibahas 15 tahun lalu, tapi siapa peduli? Genre seperti dalam seni itu perlu momentum saat ekosistem terbentuk.
Navicula saat mengeluarkan lagu, kami melihat momentum. Kalau sudah siap ekosistemnya baru kita hajar. Kita sering mengeluarkan lagu yang mendahului kondisi tapi tidak direspon. Tidak ada dampaknya. Misalnya lagu berjudul Kali Mati, tentang pencemaran sungai. Rilis 2002. No one give a shit. Malah pada saat kita kasih ke major label, mereka juga tanya, elu nyanyiin apa sih.
Lagu Orang Utan kita keluarkan 2006. Tapi kenapa kita rilis 2012? Karena waktu itu orang dan media mulai memberi perhatian pada isu itu. Ada orang utan ditembak. Ada undian, siapa yang bisa bunuh orangutan dibayar.
Jadi waktunya memang orang mulai membahas itu. makanya ada yang menyebut Navicula mengamplifikasi, suara sudah masuk ampli lebih keras. Memperkeras yang sudah ada. Aku pikir Navicula makin banyak mendapat tempat untuk tampil membawakan isu itu ya karena orang makin sadar. Orang berbicara di halaman yang sama. Tapi pada waktu kita suarakan dulu tidak banyak yang peduli. Bagusnya kan kita berproses. Kita belajar bagaimana mengemas isu ini lebih awal. Kita bicara mengenai seni. Kedalaman karya, taksu, atau apalah disebutnya, itu tidak bisa didapatkan dalam semalam.
baca juga : ‘Hutan Para Dewa’ Dari Navicula Untuk Gerakan Lingkungan Indonesia

M : Bagaimana secara pribadi Robi bisa mempelajari isu lingkungan?
R : Aku pribadi waktu tamat SMA, kebetulan pas di kampus pariwisata ketemu orang-orang yang sarjana pertanian, praktisi pariwisata yang sudah ngomong tentang ekowisata. Aku dulu tanya itu apa pariwisata berkelanjutan. Waktu kuliah aku dan teman-temanku bikin LSM, namanya Bali Ecotourism Care. Aktenya masih ada. Haha. Iseng-iseng aja meskipun tidak tahu bagaimana menjalankannya.
Tahun 1998 kuliah di Dhyana Pura jurusan Pariwisata. Secara natural, aku dari SMA terpaksa disuruh bapakku kalau mau punya duit harus bekerja. Kalau mau beli sepatu docmartin ya harus bekerja di kebun kopi. Terpaksa mengerjakan lahan, tapi gara-gara itu aku dekat lahanku, kakekku. Awalnya merasa terpaksa tetapi kemudian menikmati. Jadi lebih dekat dengan kebunku. Tinggal berbulan-bulan di kebun. Ngubu. Pertanian ramah lingkungan aku dapat dari kebun. Itu membuat pengetahuanku tentang pertanian berkelanjutan.
Kebunku itu kemewahan. Mau makan tinggal ambil. Mau ikan tinggal pancing. Ada romantisme di kebun pada waktu itu. kakekku tipikal orang-orang zero carbon. Kalau mau merokok ya harus nanam tembakau sendiri. Kalau mau makanan bervariasi ya tanam lebih bervariasi.
Di tempat mandi, kakekku menanam lerek buat sabun mandi. Karena lebih mudah menanam lerek daripada jalan kaki 2 km untuk beli sabun. Jadi sangat DIY (do it your self). Kalau mau lebih, kamu harus tanam lebih. Kalau mau rujak, tanamlah mentimun, nanas, asam. Gula merah bikin sendiri. Aku membantu, semua serba ada di kebun, itu yang aku lihat sebagai luxury.
Sekarang aku justru sedih. Banyak polusi dan kotoran di sungai. Dulu pas musim capung, tinggal tangkap buat makan malam. Sekarang langka karena air tercemar pestisida. Kakekku sebelum musim panen kopi, bikin rumah lebah.
Nah, pengetahuan seperti itu tertanam di kepalaku. Bahwa kemewahan di pertanian itu tercipta akibat keseimbangan ekosistem. Itu yang membuatku tertarik pada pertanian. Karena itu yang diajarkan secara praktik dan aku analisis sendiri. Ideologi itu mengendap.
Yang membuat aku bangga itu pas jadi relawan IDEP. Pekerjaan pertamaku bikin buku Permaculture pertama di Indonesia. Lagi pacaran dengan istriku, dia kerja di Timor Leste. Aku ikut cari kerjaan di sana, ketemu lembaga permaculture, Ego Lemos and Lachlan McKenzie. Jadi pekerjaanku mengumpulkan catatan McKenzie jadi buku. Dan pada waktu itu ada 12 prinsip permaculture. Satu per satu aku terjemahkan, edit, dan desain. Panduan Permakultur.
Waktu itu aku lihat, ini kan pengalaman yang sudah ada di aku semua. Ini bisa diajarkan di sekolah, ini penting lho. Aku harus dapat sertifikat permakultur dulu. Tapi aku perlu mendapatkan sertifikasi untuk bisa mengajarkan. Perlu kursus. Bisa gak aku minta beasiswa dengan imbalan akan mempromosikan permaculture. Karena ini pengetahuan yang 30 tahun lalu kakekku lakukan.
menarik dibaca : Suara Bergelora Robi “Navicula” di Bumi Hijau Indonesia

M : Semua itu kan juga ada di pertanian Bali?
R : Arsipnya dalam bentuk kalender Gede Bambang Rawi. Tumpek bubuh dan lain-lain. Cara Bali mengajarkan ekosistem sangat artistik. Misalnya desainer kita, orang bijak kita, dulu membuat desain bangunan bernama Padmasana. Di bawahnya ada penyu Bedawang Nala, simbol bumi. Tapi dia gonjang-ganjing, sangat fragile, sehingga harus diikat dengan 2 naga (Antaboga simbol perut lapar, Taksaka artinya pintar). Kemakmuran dan kepintaran harus seimbang. Kalau pintar tapi perut kosong sama saja bohong.
Di belakangnya ada Karang Bhoma. Ada simbol air laut (gajah mina). Bukan gajah, mungkin maksudnya ikan gajah. Bisa paus atau spesies lain satwa laut. Nah, habis itu Garuda simbol udara. Bahwa hutan, laut, dan udara harus seimbang. Di atasnya diduduki Wisnu. Dalam kondisi seimbang, baru manusia punya pemahaman spiritual.
Setelah semua seimbang baru memikirkan enlightment. Cahaya. Makanya ada simbol Omkara. Cara Bali mengajarkan ya begitu itu. Tapi ini kulit, simbolik. Tidak bertutur. Seniman pintar mengemas filsafat. Verbal agak kurang, transformasi, keterbatasan ekspresi, kita agak lemah untuk mengekspresikan. Begitu diterjemahkan seniman berikutnya akhirnya jadi padmasana minimalis, tak ada cerita. Hilang ditelan estetika. Kita terperangkap estetika. Narasinya hilang. Itu kelemahannya di Bali.
M : Setelah belajar permakultur, lalu bagaimana?
R : Setelah belajar permaculture, aku makin aktif. Dulu jaringan terbatas. Pengetahuan juga terbatas. Prinsip permaculture ada tumpang sari dan intensifikasi pertanian. Pas mau sebar gagasan, ternyata malah dihargai. Jadi aktif. Bikin jaringan permaculture termasuk sama Masril Koto, founder Perkumpulan Pertanian Organik (PPO) Padang, Sumatera Barat. Bikin banyak jaringan sana sini. Dari jaringan ini muncul beasiswa Vandana Shiva, siapa nama-nama yang aktif di pertanian organik.
Ada 10 orang mendapat beasiswa dari Vandhana Shiva. Misalnya pemuliaan benih di Indramayu, mbak Nisa yang punya Pesantren Ekologi, Gorontalo, dll. Aku masuk. Kami didanai belajar agroekologi Vandana Shiva di India.
Kami lebih banyak belajar ideologi. Vandana salah satu yang vulgar, aktivis garis keras di UN yang membongkar sistem pangan tidak pro rakyat. Kami belajar buku-bukunya dia. Bagaimana melihat pertanian tak sekadar tanam bibit tumbuh taoge, tetapi lebih holistik.
Karena kita getol di situ, lama kelamaan ketemu dengan sesama beriman. Aku percaya pada buku Alchemist-Paulo Coelho. Jika kamu bisa menggambarkan apa yang kamu inginkan di masa depan, maka semesta mengarahkan kamu akan bisa mewujudkan itu termasuk mempertemukan dengan orang-orang sepemikiran.
Di dunia musik juga begitu. Di satu sisi aku bikin band. Aku ketemu orang-orang ini dan tertarik isu ini. Yang aku dengarkan juga musisi-musisi yang aktif, pergerakan. John Lennon mengajak 300 ribu orang berdemo menolak Perang Vietnam. Joni Mitchell yang pertama mendanai Greenpeace (lewat konser) sehingga bisa aksi protes di Artic. Ini kan gagasan-gagasan bagi seorang Robi ABG (anak baru gede), ini keren.
Maka begitu bikin lagu, ada semacam ilham. Semacam gagasan. Kayaknya di Bali belum ada yang khusus mengangkat musi rock, isu lingkungan dalam musiknya. Cuma ya itu tadi. Ekosistemnya belum terbentuk. Jadi yang bangga ya kita-kita saja.
baca juga : Navicula : Reklamasi Itu Tak Cinta Ibu Pertiwi

M : Isu lingkungan sekarang kan sudah mainstream?
R : Dulu aku punya firasat bahwa isu lingkungan semakin hari semakin dikenal. Gila, ini memang global yang membicarakan. Ketemu anak-anak punk rock California yang juga bertani. Aku lihat di Indonesia ketinggalan 20 tahun di isu pergerakan.
Tapi sekarang begitu internet masuk, selera Indonesia berkembang dengan pesat. Kalau dulu kan akses terbatas. Yang menjadi ukuran tren zaman dulu kan apa yang ada di TV. Kalau yang di TV alay ya kita alay.
M : Sekarang lingkungan sudah jadi isu utama?
R : Karena tiap generasi punya revolusinya sendiri. Dan saat ini lingkungan memang paling disorot. Sejak revolusi industri, tingkat percepatan manusia mengambil (dari lingkungan) makin cepat. Tidak seimbang dengan apa yang kita beri kepada alam. Apalagi sekarang dengan adanya online masuk. Terjadi kemudahan transportasi dan jualan sehingga tergoda untuk makin konsumtif.
Pola ekonomi seperti ini membuat manusia juga gampang sekali mendapatkan sesuatu. Beda sekali dengan zaman kakekku. Dulu kan kalau mau dapat ya harus bekerja. Utpeti – Stiti – Pralina. Utpeti tanam, stiti pelihara, pralina kamu panen, tapi sisakan benihnya untuk utpeti lagi. Daksina dalam budaya Bali ya itu. Tapi kehilangan esensinya. Konsep yang luhur bisa dipetik dari Bali itu (daksina, sarana upacara) seperti bank benih. Isinya nyuh (kelapa) sudah tua, telur, tebu. Setelah dipakai nyuh ditanam, telur bisa dieram lagi.
Nasi kuning dari jagung, hitam dari injin (ketan hitam), beras merah. Nasi warna menunjukkan keanekaragaman benih, petani harus punya semua. Ini cara orang dulu mengajarkan.
M : Kenapa makin berubah ke arah lebih buruk?
R : Karena transfer of knowledge tidak terjadi. Orang mau praktis saja. Kalau praktis tetapi tidak tahu maknanya ya tidak usah dibikin. Misalnya odalan (upacara) untuk membersihkan mikrokosmos dan makrokosmos, tetapi kalau sampah plastik makin banyak 3x lipat saat odalan ya ironis. Saat menyucikan jagat tapi mengotori jagat. Kita harus bertanya ulang, masih perlukah odalan?
Peranku sebagai musisi adalah menganalisis, ada ide cerita, ada narasi. Menarasikan itu. Aku tinggal menerjemahkannya dalam karya. Pas jadi karya, ada cerita, ada narasi. Bagaimana kita dengar musik bisa mencerna pesan-pesan yang mendalam. Jika hanya terlena dengan kata indah, orang duduk di pantai. Tapi mencerna yang dalam, dikemas indah oke, setidaknya ada narasi.
Syukurnya aku bekerja sama dengan musisi yang secara skill bagus. Kemauan untuk bermusiknya tinggi. Aku mau teman-teman yang punya totalitas. Entah di musik, gerakan.
menarik dibaca : Bagi Navicula, Kartini Masa Kini adalah Petani Penjaga Karst Kendeng

M : Kenapa masih bikin film (Pulau Plastik) padahal sudah bermusik?
R : Media tak terbatas, kita bisa menggabungkan apa saja. Apa yang buat film horor serem? Musiknya. Coba kalau bisu gak serem. Karena media apa saja bisa kita pakai. Film juga memerlukan musik.
baca : Menggugah Perubahan Perilaku dengan Serial Pulau Plastik
M : Apa yang paling keren, berubah selama 20 tahun ini? Dalam konteks musik, lingkungan?
R : Skena di Bali lebih variatif. Dengan internet masuk, taste, skena tumbuh dengan cepat. Apalagi Bali punya gen crafty (kerajinan tangan) di darah. Yang penting ada sample, orang Bali bisa membuat yang sama atau bahkan lebih bagus. Kalau mendengar Navicula, bisa bikin lebih bagus itu keren, sustainability. Menurut saya itu sebuah pencapaian jika ada yang membuat sama seperti yang kami lakukan karena terinspirasi. Apalagi jika bisa lebih baik lagi.
M : Terkait lingkungan, apa yang jadi lebih baik dibanding pada saat baru mulai?
R : Aku tak bilang Navicula lebih baik. Kami berproses menuju lebih bagus, topik ini pun dipahami ekosistem lebih banyak. Kita buat karya yang lebih tajam, juga dapat informasi dari ekosistem untuk berkarya lebih banyak. Ekosistem sudah mulai meskipun kita terus panas-panasi. Misalnya dulu tak peduli buang sampah.
Kalau sebelumnya hanya soal buang sampah, sekarang naik kelas yuk. Tetap jadi gerakan, sebaiknya difokuskan ke mereka yang informasi kurang atau pendidikan dasar. Seperti yang kuajarkan ke Rimba, anakku 3 tahun. Kalau untuk mahasiswa, topiknya mengawal regulasi. Atau membantu menyoroti pemerintah dalam mengelola TPA Suwung. Makanya sekarang aku rajin masuk kampus untuk ‘bakar pantat’ mereka.
Dulu Tan Malaka, Hatta, Yamin, sudah mikir Indonesia, tak tahu bikin konstitusi terbang ke Denhaag. Itu gerakan se-level anak kampus. Kalau berkutat pendidikan dasar, balik ke SD saja deh. Terperangkap ke euforia gerakan seperti ini.

M : Bagaimana melihat masa depan Bali? Banyak yang pesimis tiap diskusi lingkungan.
R : Aku sudah melihat ini dari dulu Guruh Sukarno Putra (GSP) bikin Kembalikan Baliku. Tiba-tiba ada musisi favorit saya Igor Tamerlan bikin Tak Mungkin Bali Kembali. Aku fans beratnya, sudah bicara saat saat tahun 80-an.
Maksudnya kalau arah percepatan pertumbuhan ekonomi kita tujuannya untuk mempercepat lari, kalau arahnya salah ya bisa nyemplung jurang juga. Ini saatnya revival, tantangan bagi generasi muda. Apalagi sekarang mereka yang akan mengganti orang-orang di level politik, regulasi. birokrasi. Sudah saatnya menajamkan narasi.
Harus membuka cakrawala berpikir dari banyak sisi. Contohnya baca buku. Bukan merazia buku. Habis itu diskusi dan kalau kita lihat arah pembangunan, 15 tahun terakhir kan terlihat bergerak sendiri-sendiri. LSM, aktivis, pemerintah, korporat. Korporat melenggang kaki dengan buat regulasi dikontrol. Semua jalan sendiri.
Nah, di era keterbukaan di mana informasi menjadi milik semua orang, mari berhenti saling menyalahkan. Duduk bersama, semua sudah lari ke arah yang salah, bumi yang messed up. Ini sudah hancur. Mari duduk bersama membicarakan solusi. Masyarakat harus punya visi kondisi yang ideal. Tapi pemerintah dan warga harus punya bayangan ideal. Kalau korporasi kan sudah pasti punya. Mereka selalu selangkah lebih maju tapi tujuannya untuk branding produk.
Sekarang bagaimana caranya dengan kemampuan analisis, kemampuan industri yang lebih advance, tapi dikontrol. Kalau sudah cukup punya profit sampai 70 persen dari galon kenapa masih jual gelas. Kalau dihilangkan juga tak menghilangkan profitmu.
Isu sampah di Bali sangat visible, kalau mau transparan. Orang kaya yang mau sumbangkan duitnya ke TPA banyak, mau buat sistem. Tujuannya untuk profit sedikit tapi manfaat lebih luas. Tak hanya sampah, vaksin rabies pun. Transparan menerima bantuan, bertindak ekonomis, kalau bisa gratis kenapa harus beli Bali tak kekurangan stok vaksin rabies. Soal sampah bisa kelar kok untuk pulau kecil ini.
M : Analogi berlari terlalu cepat, ke arah yang salah? Salahnya di mana?
R : Salahnya Bali adalah yang menentukan Bali ini hanya untuk profit segelintir orang bertentangan dengan UUD 1945. Itu tidak sesuai dengan asas manfaat, kemandirian. Sebisa mungkin local resources, memberdayakan yang sudah kita buat. Keberlanjutan ngomong pelestarian lingkungan.
M : Keterlibatan publik rendah?
R : Publik juga tak teredukasi. Maumu apa, aku juga tak bisa garansi apa yang mereka mau. Pertanyaan di level kuliah masih banyak seperti anak SMP. Kualitas pendidikan kita sangat buruk. Kita mengamini itu istilah padi makin merunduk, nyaman dengan kebisuannya, kalau ditanya tak tahu apa-apa. Banyak (pemaknaan) idiom kita yang kurang tepat.
***
Keterangan foto utama : Navicula Band terdiri dari Dankie, Gembull, Robi, dan Made. Foto: Naviculamusic.com