- Kerusakan bentang alam terus terjadi hingga saat ini
- Filsuf lingkungan hidup asal Norwegia, Arne Naess, mengatakan akar masalah kerusakan lingkungan ketika manusia berpikir lingkungan merupakan objek untuk dieksploitasi. Pandangan Naess disebut Deep Ecology
- Manusia dan lingkungan harus dihargai sama tinggi. Seluruh makhluk hidup harus setara. Pandangan Arne Naess disebut Deep Ecology
- Menjaga bentang alam tetap lestari, telah ditunjukkan Desa Bangsal, di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, dengan menata ruang desa melalui skema landskap lestari
Kenapa kerusakan alam dan lingkungan sekitar kita tidak pernah berhenti?
Damayanti Buchori, Guru Besar Institut Pertanian Bogor [IPB] yang juga Direktur KELOLA Sendang di Sumatera Selatan, mengatakan, mengutip pemikiran filsuf lingkungan hidup asal Norwegia bernama Arne Naess, akar masalah kerusakan lingkungan hidup adalah ketika kita berpikir lingkungan merupakan objek untuk dieksploitasi. Kritik ini telah dilontarkan Naess pada 1973 lalu.
Naess mengkritik antroposentrisme, yang menempatkan manusia adalah segala-galanya. Naess berargumen bahwa manusia dan lingkungan harus dihargai sama tinggi. Seluruh makhluk hidup harus setara. Pandangan Naess ini kemudian menjadi salah satu mazhab dalam wacana lingkungan hidup yang disebut Deep Ecology.
“Pandangan ini untuk kebaikan semua makhluk,” terang Damayanti di Palembang, Sumatera Selatan, baru-baru ini.
Baca: Bentang Alam Rusak, Bela Diri Silat Terancam Kehilangan Guru. Maksudnya?
Secara garis besar, pendekatan Deep Ecology ini, Arne Naess dalam bukunya “Ecology, Community and Lifestyle” sangat menekankan perubahan gaya hidup manusia. Krisis ekologi yang terjadi saat ini bersumber pada perilaku manusia. Ini terlihat dari pola produksi dan konsumsi yang tidak ekologis bahka teknologi hasil ciptaan manusia lebih banyak digunakan untuk merusak lingkungan langsung ataupun tidak.
Deep Ecology memberikan pengakuan sekaligus penghargaan terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan kita dalam kesatuan simbiosis. Hubungan simbiosis yang dimaksud menekankan pada hidup bersama yang saling bergantung sehingga seluruh sistem yang ada saling menunjang kehadirannya.
“Nilai-nilai luhur hubungan manusia dengan alam sebagaimana yang disampaikan Naess, nyatanya sudah diperintahkan untuk dijaga oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya, pada abad ke-7 atau 23 Maret 684. Bentuknya dengan membuat Taman Srikerta dengan isi pesan semoga semua yang ditanam dan bendungan beserta kolam-kolam yang digunakan membawa kebaikan semua makhluk sebagai jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan,” ujar Damayanti.
Baca: Seniman Harus Berperan Dalam Penyelamatan Bentang Alam, Caranya?
Najib Asmani, Ketua Tim Restorasi Gambut [TRG] Sumatera Selatan dan Koordinator KOLEGA Sumsel, menambahkan sesungguhnya Prasasti Talang Tuwo mengajarkan manusia untuk membangun hubungan harmonis dengan bentang alam. Dengan begitu, melahirkan seni, tradisi dan ilmu pengetahuan bagi manusia, yang manfaatnya mewujudkan manusia yang sempurna jiwa dan raga agar hidup bahagia.
“Intinya, taman Sriksetra bukan landmark pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, yang hanya memiliki fungsi ekologis, orohidrologi, penyedia oksigen, tempat rekreasi, dan pelestarian flora dan fauna seperti layaknya sebuah taman kekinian. Taman Sriksetra juga berfungsi sebagai penyedia makanan dan tempat tinggal atau menetap makhluk hidup, termasuk manusia,” ujarnya.
Jika Taman Sriksetra dipahami sebagai sebuah lanskap dengan tujuan fungsional untuk semua makhluk hidup, dapat dipastikan taman tersebut memberikan dampak positif semua keturunan makhluk yang memaknainya. “Manusia hari ini dapat menjalankan amanah Raja Sriwijaya ini,” ujar Najib.
Baca: Padang Perburuan, Kisah Bentang Alam yang Terluka
Membumikan pemahaman
Upaya membumikan pemahaman atau amanah Raja Sriwijaya terhadap pelestarian bentang alam ini diwujudkan oleh Teater Potlot dengan menggelar Talang Tuwo Urban Street Theatre di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Sabtu [23/3/2019] lalu.
“Kami ingin mengabarkan atau mengisi ruang jeda publik yang sibuk di perkotaan, ada amanah yang harus dijalankan dalam kehidupan kita sehari-hari yakni, Bumi diperuntukan untuk semua makhluk. Jika itu dilakukan, kebahagiaan yang akan dirasakan umat manusia,” kata Conie Sema, sutradara teater.
Conie berharap, pertunjukan ini dapat mendorong pekerja seni lain, seperti tari, musik, dan seni rupa, untuk memaknai Prasasti Talang Tuwo dalam sebuah peristiwa seni di jalan. “Ini upaya menyambung kesadaran pelestarian lingkungan hidup dan seni antara penggiat dan masyarakat. Bukan sebatas pengetahuan yang dikuasai sekelompok orang yang berdiskusi di kampus, hotel, atau ruang pertemuan tertutup,” katanya.
Sonia Anisah Utami, seniman dan dosen Universitas PGRI Palembang, mengatakan, bentang alam merupakan sumber inspirasi karya seni dan ilmu pengetahuan. Selama ini banyak seniman sibuk memaknai manusia perkotaan [urban] yang hasilnya justru membuat manusia kian asing. “Hidup itu indah jika kita menjaga alam, dan alam menjaga kita,” terangnya.
Baca juga: Lanskap Lestari, Cara Desa Bangsal Berdaulat Pangan dan Menjaga Bentang Alam
Jaga bentang alam
Menjaga bentang alam tetap lestari, sebagaimana yang telah diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, sejatinya telah ditunjukkan Desa Bangsal, di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang dikenal dengan pengembalaan kerbau rawa.
Salah satu ancaman bentang alam di Desa Bangsal, khususnya Pulau Kuro, yang terdiri dari Desa Kuro, Desa Bangsal, dan Mengris, yakni hadirnya perkebunan kelapa sawit yang berada di sekitar desa, serta pembangunan infrastruktur.
“Kami menata ruang desa dengan skema lanskap lestari,” kata Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, akhir Februari 2019.
Tujuan lanskap lestari, kata Hasan, menghindari konflik antara warga yang berkebun dan bersawah dengan peternak kerbau, serta menjamin kebutuhan pangan warga. Garansi ekonomi sekaligus mempertahankan hutan yang ada.
“Lanskap ditetapkan melalui peraturan desa yang dikeluarkan akhir 2018. Peraturan tata ruang wilayah ini dijalankan hingga 2028. Tujuannya, mewujudkan Desa Bangsal yang berdaulat pangan, mandiri ekonomi dan lestari berbasis kearifan lokal,” lanjutnya.
Saat ini, semua warga yang berjumlah 567 jiwa menetap di lahan mineral seluas 5 hektar. Sekitar 68,5 hektar lahan mineral dijadikan perkebunan karet, sebagian kecilnya berupa hutan ramuan. Sementara, sekitar 375 hektar yang berupa rawa gambut, dijadikan lokasi pengembalaan kerbau dan persawahan.
Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, warga membangun diklat mandiri perikanan lokal, seperti patin, sepat, gabus, lele, baung, dan lainnya. Di lokasi tersebut terdapat empat kolam berisi pembesaran lele, patin, putak dan sepat. Hasil budidaya itu akan dikembangkan menjadi kerupuk ikan dan sale ikan.
Sementara di sektor pertanian, selain tetap mempertahankan persawahan yang ada, juga dikembangkan pertanian pekarangan rumah dengan model FAITH [food always in the home].
Untuk peternakan kerbau rawa, masyarakat meningkatkan kualitas dan produksi hasil turunan berupa olahan susu menjadi gula puan [fermentasi susu dicampur gula], sagon, dadih [mentega dari susu kerbau] dan peunjeum [yoghurt dari susu kerbau], serta pupuk kompos.
Terkait sumber daya manusia, mewujudkan masyarakat desa yang cerdas dan bermoral, di desa ini sejak 2008 telah didirikan Sekolah Aliyah [SMP] Ibnul Fallah. Ibnul Fallah artinya “anak petani”.
“Jika ekonomi masyarakat tidak kuat, termasuk juga kesadaran akan lingkungan, bukan tidak mungkin akan banyak lahan mineral maupun rawa di Pulau Kuro ini berubah menjadi perkebunan sawit,” tandas Hasan.