- Penanganan kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi harus serius dilakukan
- Pelepasliaran, harus menjadi prioritas utama yang ditekankan para penyidik kasus kejahatan satwa liar. Sebagai barang bukti, satwa liar dapat digantikan dengan berita acara pelepasliaran satwa ke habitat liar dengan persetujuan para pihak
- Satwa yang berada di kandang transit atau lembaga konservasi, akan lebih baik berada di alam bebas, sekaligus mengurangi biaya perawatan yang mahal
- Keberadaan pusat penyelamatan satwa [PPS] dipandang perlu dibentuk di Jawa Timur, mengingat lembaga semacam ini belum ada
Langkah apa yang harus segera dilakukan terhadap satwa liar hasil sitaan perdagangan ilegal?
Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Ricardo Sitinjak menuturkan, pelepasliaran harus menjadi prioritas para penyidik kasus kejahatan satwa liar. Sebagai barang bukti, satwa liar dapat digantikan dengan berita acara pelepasliaran bila harus segera dikembalikan ke habitatnya. Tentunya, dengan persetujuan semua pihak. Pelepasliaran akan mengurangi biaya mahal yang ditanggung negara untuk merawat satwa-satwa tersebut.
“Segera lakukan. Bila hasil pemeriksaan dokter hewan, BKSDA, dan pantauan ahli menunjukkan sifat keliaran satwa itu masih ada, masih dominan. Berita acara dibuat dengan ditandatangani tersangka, penyidik, BKSDA, dokter hewan, dan juga jaksa,” kata Ricardo kepada Mongabay, baru-baru ini.
Pelepasliaran harus menjadi prioritas, meski proses hukum masih berlangsung. “Satwa yang berada di kandang transit atau lembaga konservasi, akan lebih baik hidup di alam bebas,” ujarnya.
Baca: Tuntutan Jaksa Tidak Maksimal, Pelaku Kejahatan Satwa Liar Tidak Takut Hukuman
Terhambat proses hukum
Saat kunjungan ke Taman Satwa Maharani Zoo and Goa, Lamongan, pertengahan Maret 2019, para jaksa peserta “Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penuntut Umum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Satwa Liar” diperlihatkan kondisi satwa liar hasil sitaan perdagangan ilegal. Sejumlah satwa itu belum dapat dilepaskan karena proses hukum yang belum tuntas.
Di sini, terdapat 112 ekor satwa liar dilindungi titipan yang menjalani perawatan. Tidak semua satwa sehat, beberapa mengalami trauma saat dibawa dari asalnya ke Jawa Timur.
Bambang Suworo, Manager Operasional Maharani Zoo and Goa, mengatakan rata-rata satwa yang dititipkan di lembaga konservasi ini kesehatannya buruk. “Umumnya stres, sehingga tingkat kematiannya tinggi. Seperti dulu, kakatua jambul kuning yang dimasukkan botol plastik. Ada juga satwa yang dimasukkan kotak tertutup rapat, dikamuflasekan seolah barang,” katanya.
“Kalau stres, biasanya tidak mau makan, tidak aktif. Penanganannya harus baik,” tambahnya.
Selain masalah kesehatan, Bambang menyebut pemenuhan kebutuhan pakan juga menjadi tanggung jawab lembaga konservasi yang menjadi tempat penitipan sementara, seperti Maharani Zoo. Sebelum ada ketetapan hukum, lembaga konservasi harus memelihara dan menanggung biaya pakan.
“Subsidi pakan dan biaya, selama ini kami belum mendapatkan dari pemerintah. Tapi tidak apa-apa, semua satwa tetap kami pelihara dengan baik,” terangnya.
Perlunya pusat penyelamatan satwa
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Timur, Nandang Prihadi, juga menegaskan pentingnya pelepasliaran satwa sitaan sebagai pilihan utama. Ini didasari pada pertimbangan keselamatan dan kesejahteraan. Namun, pihaknya tetap memperhatikan mekanisme hukum dengan menitipkan sementara satwa liar ke lembaga konservasi sebelum dikembalikan ke alam.
“Biasanya, kalau belum ada keputusan, atau dari penyidik masih memerlukan barang bukti, masih dititipkan di lembaga konservasi,” katanya.
Untuk release kami juga melakukan kajian, harus ada kepastian memang layak dilepaskan. “Termasuk, kajian habitat dan seterusnya,” tambahnya.
Nandang memandang perlu tempat khusus perawatan satwa hasil sitaan yang dalam kondisi sakit. Keberadaan pusat penyelamatan satwa [PPS] dipandang perlu dibentuk di Jawa Timur, mengingat lembaga semacam ini belum ada. “Untuk di Jawa Timur, hanya khusus satwa tertentu, tidak keseluruhan.”
Pembentukan PPS, menurut Nandang, tidak dapat dilakukan pemerintah, melainkan perorangan atau lembaga non-pemerintah. Hal ini karena aturan perundangan tidak menugaskan lembaga pemerintah membuat PPS.
“Kami sedang memetakan NGO yang bersedia membuat PPS. Bila nanti perlu izin dan sebagainya dari BKSDA, akan kami fasilitasi. PPS ini bentuknya kerja sama dengan BKSDA, untuk merawat, memulihkan, dan mengembalikan satwa ke lokasi asalnya,” tandasnya.