- Sejak 2012, nelayan kapal huhate di Flores Timur, NTT mengalami penurunan tangkapan ikan tuna dan cakalang, padahal potensinya melimpah di perairan selatan NTT.
- Penurunan tangkapan itu diduga kuat karena adanya rumpon ilegal milik armada kapal purse seine yang dipasang di selatan Pulau Timor, Laut Sawu, dan sekitar Pulau Sumba membuat ikan tuna dan cakalang sulit masuk ke perairan di Laut Sawu dan Flores.
- Nelayan kapal huhate mendesak pemerintah segera menertibkan rumpon-rumpon ilegal tersebut.
- Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov NTT berkeinginan memberantas rumpon illegal tersebut tetapi kekurangan kapal operasional.
Kapal pemancing ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna (Thunnus) jenis pole and line (huhate) mulai marak sejak 1990-an seiring makin banyaknya kedua jenis ikan itu di perairan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ada 161 kapal huhate di kabupaten Sikka, Flores Timur dan Kupang. Di Sikka ada satukapal ukuran 10 GT, dua kapal 16 GT dan 67 kapal di atas 20-30 GT. Flores Timur sekitar 70 kapal berukuran 20-30 GT dan di Kupang ada 21 unit ukuran dibawah 30 GT. Rata-rata kapal Pole anda Line di NTT berukuran di bawah 30 GT.
Meski potensi tuna dan cakalang besar, tetapi para nelayan kapal huhate di Flores Timur gundah karena waktu melaut kian lama dan hasil tangkapan makin sedikit, sehingga terpaksa libur melaut.
Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) NTT Wham Wahid Nurdin kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (10/4/2019) menjelaskan keberadaan rumpon-rumpon liar tanpaizin yang dipasang oleh kapal-kapal purse seine/pukat cincin kian meresahkan nelayan huhate.
Sekitar 400 rumpon liar milik kapal-kapal purse seine dari luar NTT tersebut dipasang diatas 12 mil laut di perairan laut Sawu, laut selatan pulau Timor, sekitar pulau Sumba dan laut Flores. Rumpon itu menghalangi migrasi ikan pelagis masuk perairan teluk dimana nelayan huhate mencari ikan tuna dan cakalang.
Pemerintah sendiri, lanjut Nurdin, sedang mendata rumpon liar itu untuk dimusnahkan, tapi baru sekedar wacana saja. “Barusan ada konflik di perairan Atapupu antara nelayan dari Kupang saat mancing di rumpon tersebut. Kapal nelayan dilempar dengan api sehingga menghindar dan kembali ke Kupang,” katanya.
Ironisnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan izin operasi kepada kapal purse seine di atas 30 GT dan tidak mengizinkan pemasangan rumpon. Padahal mustahil kapal purse seine itu tidak memiliki rumpon.
baca : Ganggu Ekologi Laut, Rumpon Ikan di Seluruh Indonesia Akan Dimusnahkan
Rumpon Ilegal
Keberadaan rumpon ilegal ini diketahui setelah tim survei minyak dan gas (migas) Kementerian ESDM, mengamankan 19 rumpon ilegal yang terpasang di perairan selatan pulau Timor, Jumat (9/3/2018) yang kemudian diletakkan di TPI Tenau Kupang dan diserahkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov NTT.
Tim yang terdiri dari DKP NTT, PSDKP, Lantamal VII Kupang, Polisi Perairan, perwakilan nelayan, serta pihak PT Abitec mengamankan rumpon karena melanggar jalur pertambangan minyak bumi.
“Kita panggil pemilik rumpon di Kupang ternyata rumpon tersebut bukan milik mereka,” jelas Nurdin. Meskipun begitu, Nurdin menduga kuat rumpon itu milik kapal purse seine. Dan rumpon tersebut dipasang melanggar aturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26/2014 tentang Rumpon.
Selain itu, lanjut Nurdin, pada April 2019, juga telah diambil sebanyak 6 rumpon ilegal, sehingga total ada 25 rumpon ilegal yang telah diamankan.
Lemahnya pengawasan, sesal Nurdin, membuat maka kapal-kapal purse seine menebar rumpon sesuka hati. “DKP Pemprov NTT berpikir penertiban rumpon ini kewenangan pusat. Tapi kalau illegal, maka tidak perlu ditunggu itu kewenangan pusat sebab yang dirugikan nelayan di NTT,” tuturnya.
baca juga : Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia?
Nelayan kapal huhate terkadang memancing di sekitar rumpon. Dan bila kapal huhate jumlahnya banyak maka kapal purse seine pemilik rumpon tidak bisa melarang karena takut. Bila sendiri, kapal huhate diusir, bahkan pernah ada kapal nelayan yang ditabrak kapal purse seine.
Sekali tebar jaring, kapal purse seine bisa mendapat 50 ton ikan. “Pola operasinya ada kapal survey, ada kapal lampu, kapal jaring dan kapal tampung. Ketika kapal survey menemukan banyak ikan di rumpon maka mereka akan mengirimkan koordinatnya ke kapal jaring,” jelas Nurdin.
Terdapat sejumlah kapal dari luar NTT yang memiliki izin melaut di perairan NTT. Nurdin memaparkan ada Kapal Motor Nelayan (KMN) Jaya Kota, KMN Sanjaya, KMN Milenium Jaya, KMN Kasih Setia KMN TKF, KMN Jaya Wijaya, KMN BB, KMN Nusantara Jaya, KMN Anugerah, dan KMN Jasa Mina.
Kapal-kapal purse seine tersebut rata-rata berukuran di atas 30 GT dan banyak yang memiliki pangkalan di daerah kabupaten Malaka. Paling banyak pangkalan di Malaka KMN Jaya Kota.
menarik dibaca : Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?
Biaya Melaut Mahal
Vinsensius Ece Kleden, nelayan pemilik kapal huhate 22 GT asal Larantuka, Flores Timur, yang ditemui Mongabay Indonesia bercerita dulu melaut sekitar 20 mil sudah dapat tuna dan cakalang.
Tetapi sejak 2012, sangat sulit menangkap tuna dan cakalang karena bersaing dengan kapal jaring besar dengan rumpon dari luar daerah yang menjaring hingga laut Sawu, laut Flores dan laut selatan Kupang.
Sekarang Vincentius harus melaut melaut sampai diatas 100 mil dengan biaya operasional Rp.13juta. “Kalau cuma dapat satu ton ukuran bagus, bisa menghasilkan Rp.16 juta. Ini sama saja sia-sia. Gerombolan ikan tuna dan cakalang sulit sekali terlihat berada di wilayah 20 mil,” terangnya.
Vincensius mengatakan bila tidak ada rumpon yang dipasang kapal pukat cincin, nelayan huhate Flores Timur bisa hidup sejahtera. Meski bukan menggunakan pukat harimau, kapal jaring tersebut mempergunakan jaring double trawl, sehingga semua ikan bisa tertangkap.
Senada dengan Vincensius, Pice da Santo nahkoda kapal huhate Nelayan Bakti mengatakan sulit mendapatkan tuna maupun cakalang. Dalam setahun, dia hanya melaut 5-6 bulan dengan penghasilan Rp.100 juta sebulan dalam musim ikan.
Saat musim ikan bulan September-Desember biasanya sebulan bisa dapat hasil di atas 20 ton. Kalau bukan musimnya bisa menangkap hingga 4 ton ikan cakalang dan baby tuna.
“Pendapatan pun dibagi dua dengan pemilik kapal huhate. Bila ada 13 orang anak buah kapal maka setiap orang bisa mendapatkan penghasilan Rp.3,8 juta sebulannya,” jelasnya.
Pice mengakui sekarang hanya memancing ikan di sekitar rumpon saja dengan seizin pemilik rumpon asal tidak menebar jaring.
baca juga : Begini Komitmen Flores Timur NTT Memerangi Ilegal Fishing
Kapal Terbatas
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov NTT Ganef Wurgiyanto mengatakan meski berwenang memberi izin pemasangan rumpon dibawah 12 mil, pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin tersebut.
Ganef menegaskan semua rumpon yang terpasang di wilayah laut 0-12 mil di perairan NTT tersebut ilegal. Sesuai penjelasan Menteri Kelautan dan Perikanan saat berkunjung ke Kupang pada 2016, rumpon yang berada di atas 12 mil pun tergolong ilegal.
“Pemprov NTT memang ingin agar semua rumpon di wilayah perairan NTT diberantas karena merugikan nelayan lokal. Ini terjadi karena jalur migrasi ikan terhalau akibat adanya pemasangan rumpon di wilayah di atas 12 mil,” sebutnya.
DKP NTT berkeinginan memberantas rumpon liar tapi kekurangan kapal operasional. Daya jelajah kapal yang ada terbatas. Ganef bersyukur bila ada dukungan sarana kapal dari KKP.
Ganef menjelaskan, umumnya rumpon tersebut dipasangi oleh kapal purse seine sebagai alat bantu penangkapan ikan. Kapal-kapal tersebut mengantongi izin operasional dari KKP untuk beroperasi diatas 12 mil laut pada WPP-RI 573 yang membentang dari provinsi Banten hingga NTT.
Kapal purse seine tidak bisa menangkap ikan kalau tidak memiliki rumpon. Sementara di satu sisi pemerintah pusat dan daerah tidak pernah mengeluarkan izin pemasangan rumpon. Jadi boleh dikatakan semua rumpon tersebut ilegal.
perlu dibaca : Nelayan Kecil di Sikka Masih Urus Surat Laik Operasi. Kok Bisa?
Sikat Rumpon
Saat kunjungan kerjanya di Pasar Ikan Brak Kalimoro, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (4/3), Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti merespon keluhan para nelayan yang menginformasikan semakin menurunnya ketersediaan ikan lemuru.
Susi menilai kondisi itu karena masih maraknya penggunaan boke ami dan rumpon di laut. Ia mengajak para nelayan untuk bekerjasama memberantas rumpon di laut.
“Laporkan ke saya kalau ketemu yang begitu. Sampaikan dengan kirim SMS (short message service) koordinatnya di mana, nama kapalnya apa. Biar tak sikat rumponnya,” ujarnya.
Sedangkan Plt. Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Agus Suherman dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/4/2018) mengatakan pihaknya telah menertibkan 9 unit rumpon ilegal di perairan Sulawesi Utara, yang berbatasan langsung dengan Filipina.
Rumpon itu ditertibkan agar pergerakan ikan tuna tidak terhambat masuk ke perairan Indonesia.