Mongabay.co.id

Lalat Tentara Hitam sebagai Satu Solusi Penanganan Sampah, Seperti Apa?

Saat memasuki Dusun Larangan, Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) jalanan menanjak. Dusun itu memang terletak di kawasan Bukit Kasturi. Kanan kiri jalan, pepohonan hijau begitu rimbun. Rumah-rumah warga dikelilingi oleh kebun dengan beragam tumbuhan baik tanaman keras maupun buah.

Di bagian teras sejumlah rumah dusun setempat, ada sebuah benda yang unik. Bagian atas dan bawah berbentuk lingkaran dengan diameter 60 centimeter (cm) yang terbuat dari tampah atau anyaman bambu, sedangkan penutupnya adalah kelambu dengan panjang 150 cm.

Ternyata, itu merupakan kandang dari lalat tentara hitam atau biasa disebut black soldier fly (BSF) dengan nama latin Hermetia illucens. Karena lalat, tentu seketika pasti anggapannya pasti berhubungan dengan yang kotor-kotor. Ternyata dari 800 jenis lalat yang ada di muka bumi, BSF itulah yang merupakan jenis paling beda. BSF adalah lalat yang tidak bersifat patogen karena tidak membawa agen penyakit.

baca : Limbah Pangan Disulap Jadi Energi Terbarukan dan Pupuk Organik

Warga Dusun Larangan, Cilongok, Banyumas, Jateng, budidaya lalat tentara hitam di teras rumahnya. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Aksin (40) salah seorang warga setempat mengungkapkan dirinya baru sebulan membudidayakan BSF. “Budidaya BSF itu tidak sulit. Kalau sudah jadi lalat, maka kita akan memanen telurnya. Meski baru sebulan, saya sudah bisa memanen telurnya. Harganya lumayan, Rp10 ribu per 1gram (gr). Pada panenan perdana, saya bisa mengambil telur BSF 1 gram,” jelas Aksin saat ditemui pada Sabtu (13/4/2019).

Ia mengungkapkan pada awalnya agak ragu, karena membudidayakan lalat. Sebab, selama ini lalat identik dengan yang kotor-kotor. “Sesudah mendapat sosialisasi baru tahu kalau BSF itu berbeda dengan lalat-lalat lainnya. Setelah mencoba membudidayakan, ternyata cukup mudah dan menghasilkan,”kata Aksin.

Tak hanya Aksin yang bersemangat membudidayakan BSF, tetapi juga warga lainnya. Dari 200 keluarga yang ada diDusun Larangan, sudah ada 23 rumah yang membudidayakan. Warga biasanya menempatkan kandang BSF di depan rumah mereka.

Makanya kemudian warga bersepakat untuk menjadikan Dusun Larangan sebagai Kampung Laler. Dinamakan Kampung Laler, karena bahasa Jawanya lalat adalah laler. Warga juga telah membentuk kelompok pembudidaya BSF yang masuk dalam wadah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi). Selain membina warga, kelompok juga memiliki kandang yang dikelola oleh warga.

baca juga : Durian asal Banyumas J-Queen Sempat Dihargai Hingga Rp14 Juta. Layakkah?

Kondisi kandang budidaya lalat tentara hitam di bagian dalam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Pengelola kandang milik kelompok, Nasihin(40) mengatakan kalau warga memiliki kandang yang kecil, tetapi kelompok mempunyai kandang yang lebih besar. “Saat sekarang, saya mengelola budidaya BSF dengan kandang ukuran 2×5 meter. Di dusun ini baru ada dua kandang. Tetapi nantinya akan terus dikembangkan lagi. Apalagi, kandang tidak memakan tempat. Tak perlu juga menebang pohon membuat lokasi kandang,” ungkapnya.

Menurutnya, harga jual telur dari pembudidaya pribadi Rp10 ribu per gram, begitu juga dengan kelompok yang menjualnya. Namun, kalau panen dari kandang kelompok, harga Rp10 ribu akan dibagi-bagi. “Untuk kelompok, nantinya hanya menerima 50%, sedangkan 30% untuk alokasi kuliah bagi warga tidak mampu dan 20% lainnya untuk mitra pembudidaya,” jelas Nasihin.

Kini, kata Nasihin, tidak hanya telur saja yang dipanen, melainkan juga maggot atau larva sebelum menjadi lalat tentara dewasa. “Jadi dalam budidaya ini, tidak hanya memanen telurnya saja, melainkan juga larva atau biasa disebut maggot. Untuk harga maggot yang hidup Rp7 ribu per kg di tingkat pembudidaya. Sedangkan kalau diproses dengan mengeringkan atau masuk dalam oven, harga larva kering mencapai Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per bungkus isi 100 gram. Kalau yang telah masuk oven, dikonsumsi pun bisa. Rasanya juga enak. Tetapi untuk yang basah, biasanya digunakan sebagai pakan ikan sebagai pengganti pelet yang mahal,” ujarnya.

Kandang budidaya lalat tentara hitam di Dusun Larangan, Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Solusi Sampah

Mitra warga pembudidaya dari Nutrisi Fram,Akbar, mengungkapkan pihaknya mulai mengembangkan budidaya untuk mengembangkan ekonomi masyarakat. Bahkan, saat sekarang, misalnya, satu kandang dapat menghasilkan 50 gram per hari. Kalau harga telur Rp10 ribu, berarti dapat menghasilkan Rp500 ribu. Belum lagi, larvanya. Bisa sampai 30 kg. “Jadi cukup lumayan bagi pembudidaya, ada tambahan pendapatan. Apalagi, kalau mereka membudidayakan secara pribadi di rumahnya masing-masing,” kata Akbar.

Menurutnya, siklus hidup BSF secara total hanya sekitar 45 hari, mulai dari telur sampai ke lalat dewasa. Seekor lalat betina biasanya menghasilkan 500-900 butir telur. Sedangkan untuk mendapatkan 1 gram telur, membutuhkan setidaknya 14-30 BSF. Untuk 1 gram telur, akan mampu menghasilkan 3-4 kg maggot atau larva. Fase paling lama adalah larva, sekitar 18 hari. “Pada fase inilah, larva mengurai bahan-bahan organik,” ujar Akbar.

perlu dibaca : Warga Gugat Pemkab Banyumas Soal TPA Sampah, Mengapa?

Larva atau magggot lalat tentara hitam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Pendamping pembudidaya Muhammad Adib mengungkapkan pada masa larva BSF, manfaatnya sangat luar biasa. Sebab, larva tersebut mengurangi bahan-bahan organik. “Sudah dilakukan percobaan oleh warga Dusun Larangan, bahwa sampah-sampah organik dari rumah tangga, tidak lagi dibuang, melainkan sebagai “pakan” maggot. Larva tersebut melakukan penguraian bahan-bahan organik tanpa menimbulkan bau. Inilah hebatnya, karena biasanya sampah organik menimbulkan bau. Tetapi kalau diproses oleh maggot, tidak memunculkan bau yang tak sedap,” jelas Adib.

Ia membayangkan kalau setiap rumah warga di Banyumas membudidayakan BSF, tentu tidak akan kebingungan soal sampah organik. “Bahkan, berdasarkan riset yang pernah dilakukan 1 kg maggot mampu mengkonsumsi 1 kg sampah organik. Padahal, 1 kg maggot itu ukurannya tidak terlalu banyak. Namun mampu mengurai sampah 1 kg. Bahkan-bahan sampah yang terurai tersebut, tidak dibuang. Karena sudah menjadi pupuk yang dapat dipakai untuk tanaman. Pupuknya jelas organik yang sangat ramah lingkungan. Jadi budidaya BSF, tidakhanya mampu menghasilkan pendapatan, melainkan juga sebagai salah satu solusi untuk mengatasi sampah,” katanya.

Adib mengaku telah menghubungi Pemkab Banyumas untuk mendorong warga membudidayakan BSF, sehingga dapat mengatasi persoalan sampah. “Apalagi beberapa waktu yang lalu, Banyumas sempat diributkan soal pengelolaan sampah. Nah, setelah ujicoba budidaya, ternyata maggot BSF mampu mengurai sampah organik tanpa menimbulkan bau,”ujarnya.

Kalau nantinya maggot akan masuk ke fase pupa atau kepompong, bisa dipanen. “Jadi, panenan larva dilakukan setelah optimal mengurai sampah organik. Larva itu sangat bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan. Kebetulan kami juga membudidayakan sidat. Saat sekarang, pelet sidat harganya Rp25 ribu per kg. Kalau nantinya bisa digantikan dengan maggot, maka akan menghemat 60% hingga 70%. Karena harga larva hanya Rp7 ribu per kg. Mudah-mudahan ke depannya, segera ada teknologi pengolahan untuk memproduksi pelet pakan ikan dari bahan baku larva BSF,” jelas Adib.

baca juga : Ternyata, Mahluk Kecil Ini Agen Pengendali Lalat

Telur lalat tentara hitam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Bahkan, lanjut Adib, budidaya BSF tersebut juga memiliki nilai sosialnya. Sebab, bagi dirinya yang juga sebagai pengelola Sekolah Kader Brilian, sebagian hasil dari budidaya BSF mampu digunakan untuk biaya kuliah anak-anak kurang mampu.

“Sudah ada tiga anak di Sokawera yang menggunaan sumber dana dari hasil budidaya BSF. Anggaran itu diambilkan dari budidaya komunal. Kalau budidaya pribadi kan keuntungannya untuk warga pembudidaya, tetapi jika panen dari kandang komunal, maka ada pembagian hasil. Sebanyak 50% untuk Kampung Laler, 30% dipakai untuk beasiswa kuliah dan 20% bagi mitra. Dengan skema ini, ada unsur sosial yang masuk, terutama pendidikan bagi anak-anak kurang mampu,” tandasnya.

Exit mobile version