- Masyarakat pesisir dan nelayan hadapi berbagai hambatan wujudkan kedaulatan dengan kehadiran berbagai proyek infrastruktur, seperti kawasan industri, pertambangan pasir besi, PLTU batubara, reklamasi, privatisasi, dan penguasaan militer atas wilayah pesisir.
- Masyarakat pesisir di Semarang Timur, menolak terusir dari ruang hidup. Selain ancaman tergusur, warga juga berhadapan dengan makin parah degradasi lingkungan seperti abrasi, banjir rob melanda pesisir dan laut Jateng.
- Nelayan juga mengeluhkan tata ruang pesisir Jateng. Arah pengaturan wilayah pesisir dan laut ternyata tak memperlihatkan usaha perlindungan justru berusaha mengurangi hak masyarakat nelayan kecil dan masyarakat pesisir.
- Perempuan nelayan masih banyak belum mendapat perlindungan, bahkan, mereka sendiri kadang belum sadar hak sebagai nelayan.
Rahmadi, berdiri tegak di depan bendera merah putih. Hari itu, di dekat Jembatan arteri Soekarno-Hatta, Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah, bersama puluhan warga dan nelayan, rayakan Hari Nelayan Nasional.
Dia bersama nelayan lain bakal tergusur proyek normalisasi banjir kanal timur (BKT), Pemerintah Semarang. Dia meminta, pemerintah bangun rumah susun sewa (rusunawa) khusus nelayan di Tambakrejo.
“Jangan abaikan hak nelayan. Bangun rusunawa bagi nelayan Tambakrejo,” katanya.
Selepas upacara, di bawah jembatan, warga menggelar Pasar Tiban. Di pasar ini, mereka menjual dan menyediakan berbagai olahan kuliner hasil tangkapan laut warga seperti cumi-cumi, kerang, tiram, kepiting, udang dan lain-lain. Tujuannya, menggerakkan ekonomi warga dan bentuk respon masyarakat yang akan tergusur proyek.
“Intinya, melalui kegiatan ini kami ingin agar masyarakat bisa sejahtera,” kata Rahmadi.
Di hari nelayan itu, para nelayan memberikan kesempatan kepada pengunjung menikmati naik perahu mengitari sungai.
Kota Semarang, katanya, punya pesisir luas namun penataan wisata laut belum maksimal. Dia mencoba, membuka wisata naik perahu keliling Tambakrejo. Dengan ongkos Rp10.000, para wisatawan bisa menikmati pemandangan laut.
“Sementara, dibuka tiap kali ada event saja, misal, kalau ada Agustusan, Pasar Tiban dan event-event lain,” kata Rahmadi.
Dia berharap, lewat wisata perahu ini, jadi sumber pendapatan warga dan pemerintah melihat semangat mereka ingin memajukan Tambakrejo.
Bahkan, katanya, jika nanti ada banyak secara finansial, tak menutup kemungkinan wisata perahu dibuka sesering mungkin.
Nico Wauran, mewakli Aliansi Masyarakat Sipil Jateng untuk Keadilan Pesisir, kepada Mongabay mengatakan, acara ini adalah refleksi Hari Nelayan Nasional. Ia juga solidaritas perjuangan menguatkan warga Tambakrejo, yang terdampak penggusuran BKT.
“Agar tak dijauhkan maupun terusir dari pesisir,” katanya.
Aliansi bersama masyarakat pesisir menolak terusir dari pesisir.
“Hak-hak dasar nelayan dan masyarakat pesisir masih alami perampasan ataupun pengurangan,” kata Nico, juga pembela hukum Lembaga Bantuan Hukum Semarang.
Selain ancaman tergusur dari wilayah hidup, warga juga berhadapan dengan makin parah degradasi lingkungan seperti abrasi, banjir rob melanda pesisir dan laut Jateng.
Pembangunan proyek infrastruktur, kawasan industri, pertambangan pasir besi, PLTU batubara, reklamasi, privatisasi, dan penguasaan militer atas wilayah pesisir, katanya, juga jadi ancaman lain bagi kedaulatan masyarakat nelayan dan pesisir.
Melalui Perda RZWP3K dan revisi raperda RTRW Jateng, pemerintah provinsi menyiapkan alokasi ruang dan berbagai skema proyek yang akan berdampak buruk bagi nelayan dan masyarakat pesisir.
Proyek-proyek itu seperti, PLTU batubara di Pemalang, Batang, Jepara, Cilacap dan Rembang, tol laut maupun tanggul laut di Kota Semarang dengan reklamasi, kawasan industri, peruntukan kawasan militer di pesisir seperti di Urutsewu, Kebumen.
Dampak berbagai proyek itu, katanya, menghasilkan limbah yang mencemari sungai, pesisir dan laut. Belum lagi, pembangunan menyebabkan penurunan muka tanah turun, reklamasi pantai mengubah arus dan permukaan laut juga memperparah banjir rob.
“Dalam Perda RZWP3K yang baru terbit, tak jelas merumuskan skema mitigasi bencana dan tak memiliki perspektif penanggulangan perubahan iklim.”
Hotmauli Sidabalok, akademisi Unika Soegijapranata, mengatakan, skema perizinan nelayan tradisional atau nelayan lokal, berpotensi menyulitkan nelayan-nelayan kecil. Dia mempertanyakan, aturan sanksi ambigu ditambahkan sanksi pidana terbuka mengkriminalkan masyarakat.
“Mitigasi bencana tak konkrit dalam perda yang disahkan gubernur Desember 2018.”
Tata ruang
Di Semarang, nelayan juga mengeluhkan tata ruang pesisir Jateng. Sugeng dari Forum Mina Kendal, mengatakan, arah pengaturan wilayah pesisir dan laut ternyata tak memperlihatkan usaha perlindungan justru berusaha mengurangi hak masyarakat nelayan kecil dan masyarakat pesisir.
Perencanaan wilayah pesisir dan laut Jateng, katanya, malah didominasi buat pembangunan yang berpotensi memberi dampak buruk.
“Pemerintah ingin menjauhkan bahkan mengusir nelayan dari pesisir dan laut mereka.”
Dia contohkan, reklamasi pantai. Dampak reklamasi, katanya, nyata, seperti mengubah ombak, menenggelamkan desa, abrasi, dan banjir.
Usman, nelayan Roban, mengatakan, pembangunan PLTU seperti di Batang, berdampak bagi kerusakan laut. “Pembangunan tiba-tiba saja, nelayan tak tahu menahu.”
Kini, akses nelayan mencari ikan di pesisir Batang makin sulit. Lalu lintas tongkang dan kapal rig, mengganggu perahu nelayan dan merusak karang, karena jangkar kapal besar. Tiang-tiang pancang berdiameter sekitar 50 centimeter, tertanam di dasar laut. Kondisi ini, katanya, berdampak pada penghasilan nelayan.
Dia sebutkan, sebelum ada proyek, kala musim cumi-cumi, bisa dapat 100 kilogram lebih sehari. “Sekarang turun lebih sepertiga. Sulit mencari ikan jarak dekat, harus lebih jauh, dan berisiko tinggi,” katanya.
Salim, nelayan dari Morodemak, Kendal, mengatakan, ada upaya mengkotak-kotakkan laut, padahal seharusnya tak ada. “Misal, dilihat di peta, Semarang sepertinya tidak ada alokasi untuk nelayan, semua sudah untuk pelabuhan,” katanya.
Tolak tambang pasir
Di Jepara, pada 6 April 2019, ribuan masyarakat pesisir tergabung di Forum Nelayan Jepara Utara (Fornel) dan 25 kelompok perwakilan dan perempuan nelayan tergabung di Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menyampaikan keluhan kepada Bupati Jepara.
Mereka meminta jadikan pesisir di sepanjang Mlonggo sampai Donorojo, jadi kawasan kelola dengan kearifan lokal, tak boleh ada penambangan pasir besi. Mereka menuntut pemerintah menjalankan UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan.
Solikul, perwakilan Fornel kepada Mongabay meminta pemerintah memperbaiki sarana infrastruktur masyarakat di kawasan pesisir, seperti dermaga nelayan dan tempat pelelangan ikan (TPI). “Harus ada upaya mempermudah akses permodalan usaha bagi nelayan,” katanya.
Mereka juga menentang penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan.
Bupati Jepara Marzuqi mengapresiasi dan mendukung upaya pelestarian lingkungan dan penghentian pertambangan pasir besi di pesisir. Dia mendorong, nelayan juga mengolah hasil tangkapan dengan membentuk kelompok-kelompok usaha.
Zainal Arifin, Direktur LBH Semarang sekaligus Koordinator Layar Nusantara kepada Mongabay mengatakan, Jateng mengesahkan perda zonasi wilayah pesisir (RZWP3K) dan membahas perda tata ruang (RTRW) provinsi.
Dia bilang, penting bagi nelayan mengawal kebijakan agar tak lagi jadi biang persoalan di kemudian hari. “Termasuk, pertambangan pasir dan ekspansi PLTU batubara,” katanya.
Farid dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) di Jepara mengatakan, masyarakat pesisir secara hukum hak sudah terpenuhi dalam UU Nomor 7/2016. Namun, katanya, ada kendala kondisi alam yang tak bisa diprediksi, ada pertambangan, reklamasi, kebijakan pembangunan, dan rantai perdagangan yang tak memihak nelayan.
“Nelayan harus mengikuti perkembangan situasi nasional maupun lokal untuk rumuskan strategi tingkat lokal,” kata Farid.
Hak perempuan nelayan
Perempuan Nelayan Puspita Bahari di tiga desa, yakni Morodemak, Purworejo dan Margolindung, Kecamatan Bonang, Demak, berembuk soal kemandirian, sejahtera, bangkit dan perempuan nelayan berdaulat.
Dalam rembuk itu, ada penyerahan kartu asuransi bagi 31 perempuan nelayan dari BPJS Ketenegakerjaan Semarang, sekaligus sosialisasi penggunaan dan akses klaim.
Siti Darwati, perempuan nelayan Tambakpolo mengatakan, alami kendala alat tangkap tak ramah lingkungan (arat), hingga 30 set jaring hilang tanpa ada yang mengganti. Selain itu, katanya, ancaman alam dan gelombang tinggi serta angin kencang kala melaut tak pernah ada bantuan pemerintah.
“Pemerintah harus tegas dengan peraturan supaya tidak ada alat tangkap tak tamah lingkungan lagi.”
Masnuah, Sekretaris Jenderal PPNI mengatakan, masih banyak perempuan nelayan belum mendapat perlindungan, kadang mereka sendiri belum sadar hak sebagai nelayan.
Sebelumnya, kata Masnurah, PPNI, Kiara dan LBH Apik Semaarang, berhasil mengubah indentitas pekerjaan nelayan di KTP bagi perempuan nelayan. Sebelumnya, hanya tertulis ibu rumah tangga, kini mendapat asuransi perlindungan pemerintah secara massa.
Kurniawan, dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, mengatakan, perempuan nelayan sudah dapat asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan, dan tetap bisa mendapatkan kartu asuransi nelayan program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Perempuan nelayan, katanya, punya asuransi ganda tak masalah. Untuk akses kartu asuransi nelayan, katanya, mereka tak harus mengubah KTP di pekerjaan, cukup surat keterangan dari desa. Bila ada kesulitan di tingkat desa dan kabupaten, kata Kurniawan, langsung minta ke DKP Jateng.
“Perempuan nelayan dipersilakan mengakses bantuan alat tangkap sesuai kebutuhan dengan membuat proposal.”
Susan Herawati, Sekjen Kiara menyatakan, 31 perempuan nelayan di Demak, bukan sekadar istri nelayan, mereka nelayan sejati. Mereka turut melaut dan memiliki peran penting baik dalam ruang domestik maupun publik.
Perempuan nelayan dari Dukuh Tambakpolo, Demak, bahkan sudah melaut 30 tahun lalu. Hasil tangkapan mereka jual sampai ke Kota Semarang.
Sejak dulu, mereka tak pernah mendapatkan fasilitas negara. Baru Maret lalu, katanya, PPNI mampu mengakses bantuan bagi tiga kelompok perempuan pengolah terasi. Dua kelompok olahan laut mendapat boks pendingin dan pelatihan serta peralatan sarana produksi dari program tanggung jawab sosial BUMN.
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, perempuan nelayan justru memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Perempuan nelayan, katanya, punya andil besar mulai dari pra hingga pasca produksi dengan jam kerja melebihi 17 jam.
Berdasarkan publikasi Sekertariat Negara, kata Susan, penerima program asuransi nelayan merupakan para penangkap ikan yang memenuhi syarat dan ketentuan seperti memiliki kartu nelayan. Juga, berusia maksimal 65 tahun, pakai kapal berukuran maksimal 10 gross ton, dan tak pernah dapatkan bantuan asuransi dari pemerintah.
Adapun nilai manfaat setiap nelayan berupa santunan kecelakaan karena penangkapan ikan Rp200 juta jika meninggal dunia, Rp100 juta kalau cacat seumur hidup, dan Rp20 juta untuk biaya pengobatan.
Manfaat asuransi juga mencakup kecelakaan di luar penangkapan ikan dengan perincian, santunan Rp160 juta bila meninggal dunia, Rp100 juta kalau cacat tetap, dan Rp20 juta untuk biaya pengobatan.
Program jaminan perlindungan atas risiko nelayan, pelaku budidaya ikan dan petambak garam ini telah diperkuat melalui payung hukum Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/2016.
Susan mengajak, perempuan lain tak hanya di pesisir untuk berorganisasi atau berkelompok. Di tengah masyarakat belum sepenuhnya adil gender, katanya, berserikat merupakan langkah politik dan sangat penting.
Keterangan foto utama: Bupati Jepara, mendukung nelayan melindungi pesisir mereka dari ancaman tambang pasir. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia