- Gerakan Cinta Hiu Paus yaitu membebaskan pantai Botubarani, Gorontalo, dari sampah plastik dilakukan masyarakat untuk menjaga kehidupan hiu paus dari ancaman sampah sekaligus memperingati Hari Bumi setiap 22 April.
- Sampah plastik menjadi masalah besar di laut Botubarani yang sering terlihat mengapung di sekitar hiu paus, dikhawatirkan masuk tubuhnya saat menyedot makanan
- Biota laut menjadi korban pertama yang merasakan dampak buruk sampah plastik. Mikroplastik yang masuk ke tubuh biota laut akan merobek usus dan merusak pencernaan
- Hiu paus, sejak 20 Mei 2013, dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-KP/2013. Artinya, segala bentuk pemanfaatan ekstraktif, termasuk pemanfaatan bagian-bagian tubuh hiu paus, dilarang secara hukum
Minggu pagi, 21 April 2019, puluhan orang berkumpul di Pantai Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Anak-anak, remaja, dan dewasa, memungut sampah plastik yang tersebar di sepanjang pesisir pantai. Lokasi ini merupakan perairan tempat wisatawan melihat hiu paus [Rhincodon typus].
Tidak hanya masyarakat, Bupati Bone Bolango dan Kepala Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut [Danlanal], ikut bersih-bersih pantai. “Gerakan Cinta Hiu Paus” dilakukan sekaligus memperingati Hari Bumi, setiap 22 April.
Untuk menarik perhatian pengunjung, panitia memberikan hadiah kepada mereka yang mengumpulkan sampah paling banyak. Kesempatan itu juga dimanfaatkan Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, menyampaikan informasi kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah plastik ke laut, agar tidak berdampak negatif pada hiu paus di Botubarani.
“Saya mengimbau kepada siapa saja, warga atau pengunjung di sini, agar mengurangi sampah plastik dengan membawa tumbler atau botol minum sendiri. Jangan meninggalkan jejak sampah di lokasi hiu paus ini. Kita harus menjaga ekosistem laut,” ungkapnya.
Baca: Sejauh Ini, Tidak Ada Hiu Paus Betina di Gorontalo
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi [P2O] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] M. Reza Cordova, telah menjelaskan, mikroplastik di laut Indonesia tak ubahnya monster mini yang setiap saat merusak ekosistem di dalamnya. Keberadaan mikroplastik, harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan lebih luas di laut. Salah satu cara, mengubah perilaku manusia yang menjadi konsumen utama mikroplastik.
Reza memaparkan, setiap tahunnya manusia menggunakan plastik hingga 78 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya dua persen yang didaur ulang dan sebanyak 32 persen berada di ekosistem darat yang kemudian masuk ke laut. Sementara, sisanya diolah bervariasi untuk kebutuhan manusia lagi.
Dengan fakta tersebut, Reza mengungkapkan, ancaman kerusakan ekosistem laut semakin besar, tak bisa dicegah lagi. Jika itu terjadi, biota laut menjadi korban pertama yang merasakan dampak buruknya. Mikroplastik yang masuk ke tubuh biota laut, akan merobek usus dan merusak pencernaan.
Baca: Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?
Masalah besar
Sampah plastik memang masalah besar di laut Botubarani, sering mengapung di sekitar hiu paus. Jenis ini memang memiliki cara makan unik. Ketika memakan ikan-ikan kecil atau plankton, ia akan melakukannya dengan cara menyedot air. Kekhawatiran besar adalah sampah-sampah plastik yang ada di sekitar turut serta.
“Kita berkaca dari kejadian di tempat lain, satwa laut mati karena makan sampah plastik. Jangan sampai hiu paus di Botubarani mengalami hal serupa,” ungkap Sukirman Tilahunga, Ketua Panitia Gerakan Cinta Hiu Paus.
Saat ini, jumlah hiu paus yang berhasil diidentifikasi datang ke laut Botubarani sejak 2016 sebanyak 33 individu, dan berpotensi ada individu baru. Ancaman terbesarnya, lagi-lagi sampah plastik.
Baca juga: Wisata Hiu Paus di Gorontalo dan Kelestarian yang Harus Dijaga
Contoh kasus
Contoh kasus hiu paus yang mati akibat menelan sampah plastik, yang dikira makanan, tercatat 9 Februari 2019 lalu, di perairan laut Tanjung Aru, di pantai Menumbok, Kota Kinabalu, Malaysia. Kantong plastik dalam perutnya berukuran 46 cm dan 36 cm. Sementara di Filipina, seorang ahli biologi menemukan hiu paus mati di perairan laut Kota Tagum, Davao. Setelah dibedah, dalam perutnya terdapat berbagai sampah plastik.
Hiu paus merupakan ikan terbesar di dunia, panjang mencapai 12,65 meter dan berat 21,5 ton. Jenis ini dapat dijumpai di perairan Indonesia dengan tingkat kemunculan musiman, kecuali di beberapa lokasi yang terlihat sepanjang tahun.
Di Indonesia, sejak 20 Mei 2013, hiu paus dilindungi penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-KP/2013. Artinya, segala bentuk pemanfaatan yang bersifat ekstraktif, termasuk bagian-bagian tubuh, dilarang secara hukum.
Ancaman kehidupannya, selain perburuan dan populasi terbatas, adalah aktivitas perikanan dan pelayaran baik sengaja maupun tidak. Untuk itu, upaya konservasi dan edukasi hiu paus di Indonesia perlu terus digalakkan [BPSPL Makassar, 2016].
Secara global, status hiu paus pada 2016, berdasarkan Daftar Merah IUCN [International Union for Conservation of Nature] adalah Genting [Endangered]. Status tersebut satu tingkat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tahun 2000, yaitu Rentan [Vulnerable].