- Deforestasi yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser telah mengurangi tutupan hutan hingga 450 ribu hektar. Padahal lebih dari empat juta orang di Aceh dan Sumatera tergantung hidupnya dari jasa lingkungan wilayah ini.
- Pemerintah menggagas program hutan kemitraan yang memberi izin warga untuk mengelola kawasan hutan yang rusak dijarah dan bekas kebun sawit ilegal yang berada di hutan lindung.
- Selama 2014-2018, di Aceh Tamiang bekas lahan sawit illegal yang telah direstorasi luasnya 1.129,3 hektar, sekitar 289,3 hektar dikelola lewat skema hutan kemitraan. Sisanya dihutankan kembali.
- Dalam perjanjian hutan kemitraan, warga diperkenankan menanam tanaman buah dan tanaman kayu keras hutan. Dengan perkecualian menanam tanaman sawit, coklat dan karet.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) luasnya mencapai 2,25 juta hektar. Selain kaya dengan keragaman hayati, kawasan hutannya juga menjadi rumah terakhir bagi banyak spesies langka. Wilayah KEL pun turut menjadi pendukung kehidupan bagi lebih dari empat juta orang yang bermukim di Provinsi Aceh maupun Sumatera Utara.
Namun ironisnya, lebih 450 ribu hektar hutan di KEL telah rusak. Data Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) menyebut, hingga Desember 2018, tutupan hutan KEL yang tersisa hanya 1.799.715 hektar atau hutannya telah berkurang seluas 455.862 hektar.
Dari data terlihat alih fungsi hutan menjadi kebun, -khususnya kebun sawit adalah penyumbang utama kehilangan tutupan hutan Leuser. Kegiatan illegal lainnya seperti perambahan, perburuan satwa, hingga illegal logging pun turut menambah angka kehilangan tutupan hutan tersebut.
Baca juga: Hutan Kemitraan, Merestorasi bekas Kebun Sawit Ilegal di Ekosistem Leuser
Meski penegakan hukum telah dilakukan, namun hasilnya kurang memuaskan. Kegiatan ilegal yang terjadi hingga saat ini pun masih berjalan. Faktor ekonomi menjadi sebab utama terjadinya tindakan ilegal yang dilakukan oleh warga sekitar.
Program terkini yang digagas pemerintah adalah perhutanan sosial lewat skema Hutan Kemitraan. Idenya mengajak masyarakat lokal untuk turut merawat dan mengelola hutan lewat kepastian perizinan.
Hutan kemitraan dilakukan di kawasan hutan negara yang telah rusak dijarah, atau di bekas lahan kebun sawit ilegal yang telah dimusnahkan beberapa waktu lalu.
“Kami ingin lahan itu tetap berfungsi sebagai hutan, dan masyarakat tahu bahwa itu hutan negara. Masyarakat diberikan kepastian hukum untuk mengelola hutan,” jelas Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Aceh, Syahrial kepada Mongabay Indonesia menjelaskan.
Menurut Syahrial program Hutan Kemitraan adalah cara untuk merestorasi lahan-lahan hutan yang telah kritis. Tanpa pelibatan masyarakat, hal itu terlihat tampak mustahil.
Berdampak Positif
Berdasarkan data Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) dan Forum Konservasi Leuser (FKL), maka luas hutan kritis di KEL yang telah direstorasi sejak 2009 mencapai 2.778 hektar. Ini dilakukan di beberapa kabupaten yang wilayahnya berdampingan dengan KEL.
“[Contohnya] di Kabupaten Aceh Tamiang sekarang ada 174 KK yang tergabung dalam empat kelompok tani. Mereka mengelola kawasan di hutan lindung yang mereka tanami dengan tanaman hutan. Hasilnya dapat dimanfaatkan masyarakat,” sebut Hidayat Lubis, Field Manager FKL Wilayah Langsa.
Sebagai lembaga konservasi, FKL bekerjasama dengan DLHK Provinsi Aceh, lembaga ini memiliki program pendampingan untuk para petani hutan.
Baca juga: Pemusnahan Tiga Ribu Hektar Kebun Sawit yang Masuk KEL di Aceh Tamiang Terus Dilakukan
Bagi FKL, Kabupaten Aceh Tamiang menjadi daerah target restorasi. Setelah sebelumnya di daerah itu dilakukan operasi penertiban, lewat pemusnahan kebun-kebun sawit ilegal yang berada di dalam kawasan hutan lindung.
Antara 2014-2018, di Aceh Tamiang bekas lahan sawit illegal yang telah direstorasi luasnya 1.129,3 hektar. Adapun sekitar 289,3 hektar dikelolakan oleh masyarakat dengan konsep hutan kemitraan. Sisanya dihutankan kembali.
“Sebenarnya setelah sawit illegal dimusnahkan, bisa saja semua bekas kebun sawit itu dijadikan hutan kembali. Tapi kami berpikir masyarakat harusnya bisa memperoleh manfaat dan sejahtera dari hutan.” Direktur FKL, Rudi Putra menjelaskan.
Alih-alih bekas perambahan atau bekas kebun monokultur tidak produktif dan ditumbuhi alang-alang, maka lebih baik lokasi itu ditanami lewat skema perhutanan sosial.
“Saat restorasi dilakukan, kami ingin agar masyarakat terlibat aktif. Sejak sawit ditebang, hingga kembali jadi hutan,” kata Rudi.
Rudi menyebut hasil restorasi lahan pun mulai tampak hasilnya. Di beberapa lokasi yang dikelola kelompok tani di Aceh Tamiang beberapa jenis satwa telah terlihat kembali. Diantaranya gajah, burung, rusa, kambing hutan, dan beberapa jenis satwa lainnya.
“Kami berikan pengetahuan pada masyarakat, memilah jenis-jenis tanaman yang tidak disukai oleh satwa besar seperti gajah. Ini untuk menghindari konflik [di masa depan],” sambungnya.
Selain di Aceh Tamiang, hutan kemitraan juga dilakukan di kabupaten lain di Aceh seperti Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Kota Subulussalam. Dari empat kabupaten/kota ini jumlah masyarakat yang terlibat mencapai 600 kepala keluarga.
Dengan perkiraan program hutan kemitraan akan berkembang, Rudi menyebut jumlah KK yang terlibat di masa depan untuk mengelola lahan hutan kritis akan dapat bertambah.
Meski telah terdapat bukti-bukti positif dari hutan kemitraan. Program ini hanya berlaku secara terbatas. Hutan kemitraan hanya dilakukan di area-area yang hutannya telah terlanjur rusak dirambah di masa lalu. Bukan di tempat lokasi perambahan baru.
“Jika ditemukan kegiatan illegal baru didalam kawasan TNGL, tetap akan ditindak, dan barang bukti serta pelaku diserahkan kepada penegak hukum,” jelas Adhil Nurul Hadi, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB-TNGL).
Adhi menyebut, selain DLHK maka pihak BB-TNGL juga turut mengembangkan hutan kemitraan, khususnya di wilayah KEL yang masuk wilayah taman nasional.
“Saat ini kami mengembalikan fungsi hutan dengan konsep kemitraan yang telah dilakukan di Kecamatan Babur Rahman, Kabupaten Aceh Tenggara. Konsep ini juga akan dikembangkan di Kecamatan Putri Beutong, Kabupaten Gayo Lues,” sebutnya.
Beberapa Poin Perjanjian dalam Hutan Kemitraan
Dalam perjanjian hutan kemitraan antara kelompok tani (warga) dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) DLHK Provinsi Aceh, terdapat beberapa poin penting yang harus dipatuhi. Terpenting adalah warga diizinkan untuk menanami lahan dengan tanaman produktif, dengan perkecualian sawit, coklat (kakao) dan karet.
Tanaman keras yang dapat ditanam di lahan hutan kemitraan diantaranya jenis tanaman buah dan tanaman kayu keras hutan. Diantaranya durian, jengkol, petai, duku, damar, gaharu, meranti, cengal, kruing, dan jenis tanaman lainnya.
Sementara itu, sambil menunggu tanaman hutan ini besar dan produktif, warga diizinkan menanam tanaman usia pendek seperti sayur-sayuran.
Warga yang tergabung dalam kelompok tani diberikan izin untuk mengelola lahan selama 10 tahun. Selama waktu itu pula mereka tidak diperbolehkan melakukan pengelolaan lahan lewat cara membakar, memperluas area garap maupun merambah hutan alam yang ada.
Selain itu masyarakat yang mengelola lahan bekas perambahan diwajibkan melindungi serta mengamankan hutan, mencegah terjadinya kebakaran, perambahan, illegal logging serta perburuan satwa yang dilindungi.
Perjanjian hutan kemitraan dibatalkan jika lahan tersebut tidak dikelola selama tiga bulan, diketahui diperjualbelikan, atau diserahkan kepada pihak lain.