- Orang-orang yang terseret dalam kasus korupsi PLTU mulut tambang Riau I, bertambah. Setelah petinggi perusahaan, anggota DPR, termasuk mantan menteri, kini giliran Sofyan Basir, Dirut PT PLN jadi tersangka.
- Kasus korupsi PLTU batubara ini memperlihatkan, pembangunan pembangkit batubara, selain kotor dari segi emisi dan dampak lingkungan hidup juga rawan bisnis kotor, penuh suap menyuap.
- Pegiat lingkungan mendesak, KPK perlu memperluas penyelidikan pada semua PLTU mulut tambang yang memulai proses perencanaan dan penunjukan.
- Keterlibatan kepentingan elit politik dalam kepemilikan tambang batubara dan bisnis pembangkit listrik memberikan potensi konflik kepentingan antara posisi pejabat publik dan perusahaan yang ingin memenangkan tender.
Jejeran orang yang terlibat kasus proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Riau I, bertambah. Setelah menjerat petinggi perusahaan dan anggota DPR, Selasa (23.4.19), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) sebagai tersangka. Dia diduga terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU mulut tambang Riau I.
”KPK meningkatkan perkara ke penyidikan dengan tersangka SFB (Sofyan Basir), Direktur Utama PLN,” kata Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, di Jakarta, Selasa (23/4/19).
SFB, diduga bersama-sama atau membantu Eni Maulani Saragih dan kawan-kawannya menerima hadiah atau janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo, soal kesepakatan kontrak kerja sama Pembangunan PLTU Riau I.
Baca juga: Kasus Pembangkit Batubara Riau Jerat Anggota Dewan, LSM: Proyek Listrik Rawan Korupsi
Pada Oktober 2015, Direktur PT Samantaka Batubara, mengirimkan surat kepada PLN intinya memohon agar memasukkan proyek PLTU Riau I dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN, tetapi tak ada tanggapan positif.
Sebagian besar saham PT Samantaka Batubara, dimiliki oleh Blackgold Natural Resources Limited, yang terdaftar di Singapura. Johannes Budisutrisno, pemegang saham utama Blackgold yang ditangkap oleh KPK pada kasus sama 13 Juli 2018.
Johannes didakwa membayar suap mencapai Rp4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR. Adapun suap itu agar Eni dapat membantu Johannes dalam mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU mulut tambang Riau I. Pembagian suap ini juga melibatkan Idrus Marham, mantan Sekjen Golkar.
Rencananya, proyek ini dikerjakan konsorsium perusahaan terdiri dari Blackgold Natural Resources Ltd, PT PJB, PT PLN BatuBara dan China Huadian Engineering co Ltd.
SFB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Febri Diansyah, juru bicara KPK memandang, energi merupakan sektor strategis yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat, terutama kelistrikan. Sektor ini, katanya, memiliki risiko korupsi cukup tinggi dan kalau terjadi kerugian akan dirasakan langsung masyarakat luas.
PLTU Riau I, satu dari puluhaan pembangkit yang direncanakan pemerintah lewat 35.000 MW.

Perluas penyelidikan
Para pegiat lingkungan mengapresiasi penetapan Sofyan Basir jadi tersangka. Adhityani Putri, Direktur Center For Energy Research Asia (CERA) mengatakan, KPK perlu memperluas penyelidikan pada semua PLTU mulut tambang yang memulai proses perencanaan dan penunjukan.
”Begitu juga PLTU dan proyek listrik yang misterius muncul di RUPTL setelah proyek sudah disepakati lewat penunjukan langsung,” katanya.
Model ini, katanya, menimbulkan kecurigaan karena dianggap proyek tak muncul dari perencanaan berbasis sistem, tetapi berbasis proyek.
Dia bilang, risiko korupsi dalam banyak simpul ini mulai dari perencanaan, pengadaan hingga pengoperasian suatu pembangkit tenaga listrik sumber apapun. Belajar dari kasus ini, terlihat sistem pengadaan PLTU mulut tambang dengan penunjukkan langsung membuka celah relatif besar bagi praktik suap dibandingkan proyek PLTU lain.
”Karena ada ketergantungan pihak yang memiliki kepentingan pada keputusan satu pihak yang memiliki kekuasaan di suatu mekanisme yang tak transparan.”
Berbeda dengan tender, di mana proses lebih terbuka ke publik. Dia contohkan, ada pengumuman di media, syarat-syarat yang dibeberkan terbuka dan tenggat waktu jelas serta pengambilan keputusan melibatkan suatu proses terbuka dan panel.
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Prrkotaan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, penetapan Sofyan sebagai tersangka langkah maju dalam membongkar relasi energi kotor batubara dan praktik korupsi di tingkat elit politik dan pemerintahan. “Meski langkah KPK sebenarnya telat hampir 10 bulan.”
Kasus ini, katanya, menunjukkan pembangunan pembangkit batubara, selain kotor dari segi emisi dan dampak lingkungan hidup juga gunakan praktik bisnis kotor, penuh suap menyuap.
Menurut Sawung, hingga kini dalam membongkar praktik korupsi PLTU, tersangka masih menyasar pada individu komisaris perusahaan, anggota dewan dan dirut PLN, belum menyentuh korporasi yang melakukan suap.
“Korporasi seperti Samantaka, Blackgold dan CHEC belum jadi tersangka oleh KPK, padahal pelaku suap Johannes, tak mungkin bertindak untuk dirinya sendiri tetapi untuk perusahaan.”
Sama dengan kasus PLTU Cirebon II. Dalam sidang kasus suap di Pengadilan Tipikor Bandung 10 April 2019, kasus penangkapan tangan Bupati Cirebon Sunjaya, terdapat fakta persidangan, Sunjaya menerima uang dari PLTU Cirebon II melalui Hyundai sebagai kontraktor utama.
Kasus ini, katanya, menjadi perhatian Walhi karena lokasi PLTU Cirebon II yang melanggar tata ruang jadi tidak melanggar tata ruang lewat revisi tata ruang Cirebon.
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengatakan, kasus ini contoh karut marut sistem regulasi di Indonesia dan banyak aktor yang memaksakan kepentingan masing-masing dengan otoritas yang dimiliki.
Begitu juga, katanya, ekspansi PLTU Celukan Bawang di Bali, mulai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sampai ketidaksesuaian RTRW. Bahkan, sampai tiga tahun terakhir, proyek ini tak masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang disahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Meskipun begitu, izin tetap keluar dari Gubernur Bali dan masuk proyek yang ditawarkan dalam investasi Belt and Road Initiative (BRI) oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Tiongkok.
”Tuntutan soal energi bersih bukan hanya tak menghasilkan emisi juga bersih dari praktik-praktik korupsi dan berkeadilan,” kata Sawung.
Menurut dia, energi bersih berbasis energi setempat dan dibangun dengan prinsip mempertimbangkan lokasi dan hak masyarakat harus dikedepankan. Energi kotor, korupsi dan ladang mengeruk keuntungan korporasi, katanya, saatnya ditinggalkan.
“Kasus suap PLTU ini harus jadi titik tolak untuk transisi energi menuju bersih berkeadilan.”
Kepentingan elit politik?
Hindun Mulaika, menyebutkan, keterlibatan kepentingan elit politik dalam kepemilikan tambang batubara dan bisnis pembangkit listrik memberikan potensi konflik kepentingan antara posisi pejabat publik dan perusahaan yang ingin memenangkan tender.
Bahkan banyak kejanggalan-kejanggalan rencana proyek PLTU. “Bisa kita analisa singkat, PLN menyatakan, kondisi oversupply di sistem Jawa-Bali, tetapi penambahan dan ekspansi proyek-proyek PLTU skala besar masih terus berjalan.”
“Ini jelas risiko bagi APBN, jadi kalau proyek-proyek ekspansi PLTU batubara di Jawa-Bali ini terus berlanjut, sangat patut kita mempertanyakan. Ini sebetulnya kepentingan siapa? Kalau negara saja rugi, siapa yang sebetulnya diuntungkan?” katanya.
Greenpeace pun mendesak, pemerintah kaji ulang semua proyek di bawah payung 35.000 MW, mulai dari kesesuaian regulasi, perizinan hingga kelayakan amdal.
”Hal lebih penting, kalau Indonesia terus lanjut dengan ekspansi massif PLTU batubara, kita telah mengkhianati Perjanjian Paris.”
Lebih-lebih, katanya, potensi energi terbarukan di Indonesia, sangat besar. Tanpa dukungan regulasi tepat, kata Hindun, energi terbarukan akan sulit berkembang dan mendapatkan dukungan investor serta perbankan.
“Kebijakan energi ini adalah tentang kemauan politik. Tidak perlu dipertanyakan ketersediaan potensi serta tekhnologi. Kalau negara lain sudah bisa memulai transisi energi, kenapa Indonesia masih terus terjebak dalam lingkaran hitam batubara?”
Keterangan foto utama: Batubara, sumber energi yang timbulkan masalah lingkungan dan sosial di masyarakat juga rawan praktik-praktik korupsi. Foto: Hendar