- Masyarakat Semende menganut tradisi matrilineal yang disebut “tunggu tubang”, anak perempuan tertua menjadi pewaris tunggal harta keluarga berupa rumah, sawah atau tebat.
- Banyaknya kaum lelaki yang merantau menyebabkan beban kerja perempuan di desa kian berat. Mereka bukan hanya mengurus rumah, juga sawah dan kebun, bahkan sebagian menjadi buruh tani.
- Sejak adanya perhutanan sosial, beban kerja perempuan berkurang karena para lelaki kembali ke desa, sehingga dapat mengelola sawah, tebat dan kebun bersama perempuan.
- Banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan di Semende yang dapat diperankan perempuan seperti pengolahan buah durian dan perikanan.
Tulisan sebelumnya: Di Kaki Gunung Patah, Perempuan dan Laki-Laki Setara dalam Mengelola Alam
Masyarakat Semende menganut tradisi matrilineal, yang disebut “tunggu tubang”. Anak perempuan tertua menjadi pewaris tunggal harta keluarga. Secara adat maka rumah, sawah, tebat (kolam ikan) dan aset keluarga, tidak boleh diperjualbelikan.
Namun sebagian pihak menuding, tradisi ini turut mendorong munculnya perambahan dan pembukaan kebun kopi di sejumlah kawasan hutan di Bukitbarisan oleh pria Semende. Benarkah?
“[Sebenarnya bukan karena faktor adat budaya] tapi lebih ke faktor ekonomi,” jelas Tasriani, petani perempuan dari Desa Muara Danau.
Desa ini berpenduduk sekitar 550 jiwa yang sebagian besar warganya bertani dan berkebun kopi.
“Tidak banyak istri atau ibu yang senang suami atau anaknya merantau atau pergi buka kebun di BukitBarisan. Berbahaya, juga tidak selalu berhasil,” lanjutnya.
Baca juga: Jaga Kelestarian Bambu, Tanaman Penyerap Air yang Penting buat Warga
Faktor ekonomi yang dia maksud adalah hasil kebun dan sawah yang tidak lagi mencukupi. Biaya hidup tambah hari tambah bertambah. Katanya, kebutuhan itu mencakup mulai dari biaya listrik, BBM, pendidikan anak hingga konsumsi harian.
Tasriani menepis, jika tradisi tunggu tubang berarti semua harta warisan dikuasai sepihak oleh anak perempuan tertua. Anggota keluarga lain boleh mengelola aset yang ada. Pewarislah yang mengatur agar harta warisan tidak dijual, atau diubah menjadi kegunaan lain.
“Itu yang membuat perempuan memiliki tanggung jawab besar atas kehidupan keluarga,” ucapnya
Tasriani aktif di Kelompok Tani Tebat Mampur, ia juga menjadi pengajar PAUD untuk anak-anak. Atas keaktifannya, dia pernah difasilitasi untuk ikut sebuah kunjungan belajar ke Vietnam untuk belajar handling produk perkebunan kopi rakyat.
Dalam buku Etnoekologi Komunikasi, Orang Semende Memandang Alam, Yenrizal Tarmizi penulisnya, menyebut tradisi tunggu tubang adalah simbol ketahanan pangan dan lingkungan.
Tunggu tubang dapat dimaknai sebagai penjaga kelestarian alam. Perempuan yang pegang kendali atas sawah, rumah dan tebat, agar tidak diperjualbelikan. Harapannya, lewat tangan perempuan hasil pangan bakal terjamin dan lingkungan alam pun dapat terjaga.
Dengan demikian, perempuan tidak hanya mengerjakan aspek domestik rumah tangga. Mereka pun turut turun bersawah dan berkebun kopi bersama laki-laki.
Dampak Hutan Desa
Sejak tahun 2014, Pemerintah menetapkan Hutan Desa Muara Danau lewat SK Menteri Kehutanan No.622/Menhut-II/2014. Hal ini amat jelas membuat senang para istri dan ibu di desa.
“Sejak dua tahun terakhir tak ada lagi laki-laki yang membuka hutan di Bukitbarisan. Semua kerja di perhutanan sosial. [Bisa hasil] asal kita rawat dengan benar,” ucap Tasriani.
Baca juga: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 ribu hektar. Bagaimana Hutan Adat?
Model hutan desa sendiri mengizinkan warga untuk memadukan antara tegakan kayu hutan dengan tanaman produktif warga seperti kopi. Mereka pun menanami tanaman buah seperti durian dan petai.
Dampaknya laki-laki pun jadi tidak perlu merantau. Walhasil, pekerjaan berkebun dan bersawah dapat dilakukan oleh laki-laki. Beban pekerjaan perempuan menjadi sedikit berkurang.
“Senang nian setelah adanya hutan desa, lanang (laki-laki) sudah jarang merantau ke tempat lain, mereka mengurus kebun dan sawah saja di sini. Beban kami jadi berkurang,” tutur Nuraini, petani perempuan di Desa Muara Danau.
“Saya setuju hutan desa. Kaum laki-laki tidak lagi merambah hutan di tempat lain buat berkebun kopi,” lanjutnya.
Memajukan Ekonomi perempuan
Untuk mendorong lebih lanjut ekonomi warga dan perempuan, Tasriani menyebut banyak hasil pertanian dan perkebunan yang dapat dikembangkan ke depan.
“Di sini banyak buah durian, tapi baru dijual buahnya. Padahal bisa ada nilai tambah kalau dijual sebagai tempoyak (daging buah durian yang difermentasi) atau lempok, atau dodol buah durian. Buah durian Semende sangat enak dan sangat dikenal,” katanya.
“Perempuan di sini baru buat tempoyak atau lempok untuk konsumsi keluarga. Belum dijual. Mereka tidak tahu bagaimana pemasaran dan pengemasannya.”
Juga Desa Muara Danau tuturnya bagus untuk usaha perikanan darat. Namun belum berkembang, karena belum tahu pemasaran dan cara buatnya.
“Karena sulit dijual akhirnya dimakan sendiri atau dibagikan kepada keluarga. Padahal ikan dapat dijadikan ikan sale atau ikan asap. Tapi kami belum paham membuat ikan sale.”
Dari potensi tersebut, dia berharap adanya pelatihan dan bantuan teknologi sederhana dalam pengemasan produk tempoyak, lempok maupun ikan sale atau asap. Baik dari pemerintah maupun lembaga yang peduli dengan nasib petani.
“Kalau ada ilmunya (pengetahuan), dan tahu pasar, percayalah perempuan di sini akan bekerja secara baik dan produktif,” timpal Nuraini.
Foto utama: Membawa hasil bumi dari kebun, sejak adanya hutan desa, laki-laki Semende tidak perlu lagi merantau dan membuka hutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Video: Menjaga Amanah Leluhur di Semende