- Pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K dinilai merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang mendiami kawasan tersebut
- Perampasan ruang hidup masyarakat pesisir, membuat manfaat yang biasa didapat sebelumnya menjadi hilang. Sebut saja pemanfaatan untuk perikanan dan kelautan, ekosistem pesisir, dan juga hutan tropis yang ada di pulau-pulau kecil
- Sebanyak 7,87 juta jiwa diketahui masih menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan dan itu berarti mencakup 25,14 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Seluruh warga tersebut, selama ini memanfaatkan wilayah perairan dan pesisir untuk dijadikan mata pencaharian
- Dari 34 provinsi yang ada, sebanyak 18 provinsi sudah mengesahkan Perda RZWP3K dan 16 provinsi masih dalam tahap pembahasan draf naskah. Kehadiran perda tersebut, membuat provinsi bisa melegalkan aktivitas pembangunan di kawasan pesisir yang sebelumnya dinyatakan ilegal
Penerbitan peraturan daerah (Perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di semua provinsi, dinilai hanya akan mengebiri ruang hidup masyarakat pesisir di setiap pulau. Kebijakan tersebut, dinilai akan merugikan masyarakat pesisir yang sebagian besar hidupnya menggantungkan pada sumber daya alam di laut.
Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), desakan Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perda RZWP3K di semua provinsi, menjadi desakan yang salah kaprah. Mengingat, dengan adanya kebijakan tersebut, masyarakat justru akan terpasung segala kebebasannya dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, sebagai negara bahari, Indonesia diberikan kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa dan bisa ditemukan di semua kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan kawasan perairan dalam. Semua potensi itu, ditunjang dengan potensi perikanan tangkap yang juga tidak kalah besarnya.
“Indonesia juga memiliki sumber daya pesisir dan kelautan lain yang juga melimpah. Ini sudah ada sejak lama,” ungkap Susan di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Susan, Indonesia memiliki potensi dari hutan bakau seluas 2,6 juta hektare, hutan tropis di pulau-pulau kecil seluas 4,1 juta ha, potensi budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, dan tambak garam yang luasnya mencapai lebih dari 25 ribu ha. Semua potensi itu, bisa ditemukan di kawasan pesisir dengan mudah dan bisa dirasakan manfaatkan oleh masyarakat.
baca : Demi Keberlanjutan Pesisir, Setiap Provinsi Wajib Selesaikan Perda RZPW3K
Kehilangan Manfaat
Mengingat ada manfaat yang bisa didapat oleh masyarakat, Susan menyebut, seharusnya hal positif tersebut harus tetap bisa dinikmati setelah Perda RZWP3K diterbitkan dan diterapkan di masing-masing provinsi. Tetapi, pada kenyataanya, seluruh manfaat itu tidak bisa dinikmati meski Perda RZWP3K belum disahkan dan diterapkan.
“Seharusnya (Perda RZWP3K) memang memberi dampak positif. Dengan kekayaan sumber daya yang ada juga, masyarakat pesisir seharusnya menjadi aktor utama dalam pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelasnya menyinggung peran masyarakat pesisir yang mencakup di dalamnya adalah nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem, dan masyarakat adat pesisir.
Susan memaparkan, hingga hari ini saja, KIARA menemukan fakta ada lebih dari 7,87 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan atau mencakup 25,14 persen dari total penduduk miskin di Indonesia yang ada saat ini. Seluruh warga miskin tersebut, selama ini memanfaatkan wilayah perairan dan pesisir untuk dijadikan mata pencaharian.
Bagi Susan, fakta tersebut sangat ironis karena masyarakat pesisir masih sangat bergantung namun masih banyak yang belum sejahtera. Kondisi tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang, karena pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum memberikan ruang yang adil bagi masyarakat pesisir.
Sementara, Susan menambahkan, di saat yang sama, penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan ruang yang leluasa kepada investor untuk melakukan kepemilikan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Fakta tersebut, semakin menegaskan bahwa politik penataan ruang tidak diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun untuk sebesar-besar kemakmuran segelintir orang.
“Masyarakat bukan menjadi subjek pembangunan, tetapi hanya menjadi objek pembangunan,” tegasnya.
baca juga : Pentingnya Pengelolaan Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Menurut Susan, ketimpangan dalam penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil itu, pada kenyataannya justru mendapat dukungan dan dilegalkan oleh Negara melalui Perda RZWP3K di setiap provinsi. Hingga saat ini, tercatat sudah ada 18 provinsi yang mengesahkan perda tersebut dan sisanya atau 16 provinsi diketahui masih melakukan pembahasan draf naskah.
“Perda RZWP3K yang ada di seluruh provinsi di Indonesia, pada kenyataannya justru melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir. Perda tersebut memberikan fasilitas kepada investor untuk mendapatkan kemudahan dalam berinvestasi,” tuturnya.
Bentuk-bentuk perampasan ruang hidup masyarakat pesisir yang dilegalkan oleh Perda RZWP3K, kata Susan, bisa dilihat di Provinsi Lampung. Di sana, setelah perda disahkan dan diterapkan, proyek reklamasi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan mendapatkan legalitas. Padahal, di lokasi proyek itu, terdapat lebih dari 1.400 kepala keluarga yang bergantung pada aktivitas kawasan pesisir .
Tak hanya di Lampung, Susan menambahkan, perampasan ruang hidup masyarakat pesisir juga terjadi di Kalimantan Utara. Di sana, kehadiran perda memberikan ruang yang legal untuk penambangan pasir laut di perairan Kabupaten Bulungan, di mana di kawasan tersebut diketahui tinggal sebanyak 2.290 KK nelayan yang juga menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam di laut.
“Dengan demikian, Perda zonasi disahkan hanya untuk hanya untuk membungkus proyek perampasan ruang hidup. Dengan kata lain, ini adalah komodifikasi ruang hidup masyarakat pesisir,” tegasnya.
menarik dibaca : Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif?
Evaluasi RZWP3K
Dikarenakan ada perampasan ruang hidup masyarakat peisisir, Susan mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk segera menghentikan pembahasan perda RZWP3K di 16 provinsi tersisa dan mengevaluasi perda yang sudah disahkan dan diterapkan di 18 provinsi yang ada. Selain itu, KIARA juga mendesak agar Pemerintah menjamin kehidupan masyarakat pesisir sekaligus melindungi ruang hidupnya, sebagaimana diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/2010 tentang uji materiil UU NO.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki kepentingan untuk melindungi masyarakat pesisir yang telah mengelola dan melestarikan sumber daya perikanan selama ini. Jika ruang hidup mereka terus dirampas, maka masa depan masyarakat pesisir berada dalam keterancaman serius,” pungkasnya.
Selain memiliki Putusan MK No.3/2010, Indonesia telah menyepakati Dokumen Voluntary Guidelines For Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in The Context of Food Security And Poverty Eradication (VGSSSF) atau Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Konteks Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan.
Dokumen tersebut memandatkan seluruh negara, termasuk Indonesia, untuk menjamin hak pengelolaan perikanan skala kecil yang telah dipraktikkan oleh masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat pesisir. Bagi KIARA, keberadan dokumen tersebut sudah tegas bahwa masyarakat pesir harus dijamin ruang hidupnya secara penuh.
perlu dibaca : Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional?
Direktur Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) Rignolda Djamaluddin mengatakan, keberadaan Perda RZWP3K saat ini memang seperti menjadi media yang tepat dan aman untuk melegalkan proyek pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Walaupun, proyek tersebut nyata akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir di sekitar proyek tersebut.
Dia mencontohkan, Perda RZWP3K di Provinsi Sulawesi Utara ikut melegalkan proyek reklamasi di seluruh pantai di Kota Manado, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bitung dan konservasi yang mengusir nelayan di Taman Nasional Bunaken. Dengan kata lain, perda disahkan hanya untuk membungkus proyek perampasan ruang hidup nelayan yang telah ada.
“Pada saat yang sama, Perda ini memasukan beragam rencana baru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir,” sebutnya.
Sementara, Direktur Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Arman Manila menilai, akibat penetapan perda zonasi di 18 provinsi, kehidupan lebih dari empat juta nelayan tradisional di Indonesia terdampak menjadi buruk. Kemudian, lebih dari 700 komunitas masyarakat adat pesisir dengan berbagai kekayaan budayanya, tengah dan akan terus terancam.
“Tak sedikit komunitas masyarakat adat pesisir yang tak bisa menangkap ikan di laut mereka. Pesisir dan laut telah diprivatisasi dan diswastanisasi melalui Perda Zonasi ini,” ungkapnya.