- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bikin aturan baru pada 2019, yang membuka peluang konsesi atau usaha yang ada di gambut fungsi lindung bisa terus jalan sampai masa izin berakhir.
- Walhi menilai, Permen 10/2019 bertentangan dengan semangat pemulihan pada PP Nomor 57/2016. Aturan yang mengistimewakan dan memberi celah kepada korporasi segera dicabut.
- Kebijakan ini dinilai membahayakan upaya restorasi gambut bahkan, ancaman banjir kala musim hujan dan kekeringan saat kemarau.
- Permen LHK 10/2019 ini mengatur metodologi bagaimana cara menghitung puncak kubah gambut. BRG berharap, pengelolaan ekosistem gambut yang melibatkan banyak pemangku kepentingan dapat dibahas bersama secara transparan karena melibatkan pemilik izin konsesi, pengelola kebun, pemerintah dan warga.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Judul aturan tampak bagus, senyatanya, regulasi ini dinilai tak sejalan dengan peraturan gambut yang ada, malah berpotensi memperburuk keadaan.
Pada 2 April 2019, aturan ini mulai berlaku. Secara garis besar, regulasi ini jadi acuan bagi pengelola konsesi hutan tanaman industri (HTI) di gambut dalam menentukan puncak kubah gambut dan pemulihan.
Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Puncak kubah gambut, dalam aturan itu, didefenisikan sebagai areal kubah gambut dalam lebih dari tiga meter yang mempunyai topografi paling tinggi dari wilayah sekitar berbasis neraca air dengan memperhatikan prinsip keseimbangan air.
Meski demikian, dalam aturan itu terdapat pasal yang menyebutkan lahan gambut yang masuk dalam fungsi lindung masih bisa dimanfaatkan dengan memperhatikan fungsi hidrologis.
Pada Pasal 8, terkait areal di luar puncak kubah gambut, baik di fungsi lindung dan budidaya ekosistem gambut dapat dimanfaatkan sampai izin berakhir dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut. Antara lain, pembangunan sekat kanal dengan limpasan (spillway), penetapan titik penaatan tinggi muka air tanah dan titik stasiun curah hujan, pemantauan dan pelaporan tinggi muka air tanah dan curah hujan, dan cara lain sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Padahal, dalam aturan sebelumnya, Permen LHK Nomot 17/2017 tentang Pembangunan HTI, menyebutkan, areal konsesi yang sudah ditanami dan termasuk dalam fungsi lindung ekosistem gambut, tak boleh dimanfaatkan. Kalau sudah terlanjur ditanam, akan mendapatkan kesempatan satu daur saja.
Namun, pada Oktober 2017, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan peninjauan kembali (judicial review) Permen LHK Nomor 17/2017 yang digugat Dewan Pimpinan Daerah Riau-Konfederasi Pekerja Seluruh Indonesia (DPD Riau-K SPSI). Berkat putusan MA itulah, aturan terbaru ini lahir.
”Nggak ada istilah lebih kendor. Itu mungkin interpretasi, hal-hal prinsip tetap ada. Tidak akan ada yang kendor dan pengawasan jalan terus,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kompromi?
Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, Ekosistem Esensial Walhi menyebutkan, Permen 10/2019 bertentangan dengan semangat pemulihan pada PP Nomor 57/2016. Walhi berharap, pasal yang mengistimewakan dengan memberi celah kepada korporasi segera dicabut.
Regulasi ini, katanya, memiliki pasal-pasal istimewa kepada korporasi terutama pembolehan perusahaan memanfaatkan konsesi yang berada dalam fungsi lindung, seperti tercantum dalam Pasal 8.
”Ini memberikan pemutihan bagi keterlanjutan izin-izin yang beroperasi di area gambut yang berfungsi lindung,” katanya.
Tak hanya itu, kata Wahyu, celah lain terdapat pada Pasal 4 dan Pasal 7. Pasal 4 ayat 2 c menyebutkan, puncak kubah gambut yang terdapat dalam usaha perkebunan dilarang budidaya setelah jangka waktu izin usaha berakhir. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan tanaman industri setelah pemanenen (lima sampai tujuh tahun).
Pada Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, terdapat lebih dari satu puncak kubah gambut dalam satu KHG, puncak kubah gambut yang telah dimanfaatkan dapat dimanfaatkan dengan menggantikan fungsi hidrologis gambut dari puncak kubah gambut lain.
”Itu mengingkari semangat PP Nomor 57/2016 Pasal 9 ayat 4 yang memasukkan gambut dalam lebih dari tiga meter atau lebih sebagai fungsi lindung,” katanya seraya bilang, puncak kubah gambut dalam KHG dipastikan memiliki kedalaman lebih dari tiga meter.
Menurut Wahyu, KHG merupakan satu kesatuan utuh dalam sebuah ekosistem gambut. Kalau puncak gambut dimanfaatkan, katanya, ada kemungkinan restorasi dan pemulihan tak akan berhasil.
”Jika puncak gambut dimanfaatkan, KHG kemungkinan akan kering saat kemarau dan air meluap saat hujan.” Kondisi ini, sudah terjadi di Kalimantan, Ogan Komering Illir dan Riau.
Bahas bersama dan transparan
Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut mengatakan, Permen LHK 10/2019 ini mengatur metodologi bagaimana cara menghitung puncak kubah gambut. Pengelolaan ekosistem gambut yang melibatkan banyak pemangku kepentingan ini pun diharapkan dapat dibahas bersama secara transparan karena melibatkan pemilik izin konsesi, pengelola kebun, pemerintah dan warga.
”Yang paling harus dihindari itu dalam penentuan itu hanya ada perusahaan dan pihak tertentu yang buka peluang (negosiasi).” Penentuan puncak gambut ini pun masih dalam perdebatan, apalagi ada pasal aturan yang mengatakan seolah-olah boleh dibuka.
Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengatakan, permen ini jadi payung hukum dalam memberikan akses perhutanan sosial. ”Aturannya sedang kami siapkan,” katanya.
Adapun, 238.000 hektar calon perhutanan sosial di gambut yang sudah siap dan diberikan surat keputusan saat regulasi selesai. Luasan ini tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua.
Sementara itu, upaya restorasi idealnya perlu peta KHG dengan skala 1:50.000. Sayangnya, belum semua wilayah terpetakan. Hingga kini, BRG memiliki 28 peta KHG dari 104 KHG pada area kerja restorasi seluas 2,4 juta hektar.
Ke depan, katanya, pemetaan segera dikebut dengan metodologi yang baru yang dihasilkan melalui Peat Prize 2019 yang distandardisasi Badan Informasi Geospasial. “Lebih murah dan cepat, dibandingkan 28 peta KHG sebelumnya yang menggunakan teknologi Lidar dengan biaya mahal.”
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Kala musim kemarau, gambut alami kekeringan dan memicu kebakaran. Bencana seperti ini bisa berulang kala gambut fungsi lindung rusak. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia