- Bagi masyarakat etnis Lio do kabupaten Ende, NTT, Mosalaki berkuasa atas tanah termasuk hutan. Hukum adat melarang masyarakat menebang pohon dan merusak hutan.
- Telah disepakati batas wilayah adat dengan kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK). Kedua belah pihak saling menghormati batas wilayah meskipun ada wilayah adat masuk dalam kawasan TNK.
- Soal rumah adat, masyarakat adat menuntut ruang untuk mengambil kayu dalam jumlah terbatas bagi pembuatan rumah adat, dalam kawasan TN Kelimutu yang sebelumnya masuk wilayah hutan adat.
- Pengelola TNK belum sepakat mengingat pepohonan yang ada dalam kawasan hutan harus dilindungi. Luas areal kawasan TNK pun sangat kecil.
Kehadiran Taman Nasional Kelimutu (TNK) yang berdiri tahun 1992, membawa perubahan besar terhadap dunia pariwisata di kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk di desa Roga, salah satu daerah penyangga kawasan TNK.
Desa Roga merupakan salah satu dari 7 desa di kecamatan Ndona Timur, Ende, sejak dahulu merupakan sebuah wilayah adat. Berdiam masyarakat adat etnis Lio, terutama di dusun Toba, yang berbatasan langsung dengan wilayah TNK dibawah kekuasaan seorang Mosalaki Ria Bewa.
Sebagai ketua adat, Mosalaki berkuasa atas tanah. Sementara masyarakat adat hanya bertugas mengelola dan menempati. Sesuai hukum adat, tanah tidak boleh dijual.
Masyarakat adat yang disebut Fai Walu Ana Kalo, sebagai penggarap tanah wajib membawa pemberian/hantaran saat pagelaran ritual adat. Beras, arak dan ayam dibawa untuk dimasak dan dimakan bersama semua anak suku dan Mosalaki.
“Kalau penggarap tidak membawanya maka akan dikenai sanksi. Besarnya sanksi akan ditentukan oleh Mosalaki bahkan bila terus melanggar maka tanah garapan akan diambil kembali,” sebut Thomas Nggao (52) seorang keturunan Mosalaki, Rabu (1/5/2019).
baca : Sengketa Lahan di Batas Kelimutu: Antara Hak Adat dan Kawasan Konservasi
Menjaga Hutan
Mosalaki dan Ria Bewa dalam komunitas adat Lio merupakan pemimpin yang diwariskan secara turun temurun. Keduanya berpengaruh besar atas kehidupan masyarakat.
Ria Bewa menjadi penguasa tertinggi atas wilayah tanah adat dan memimpin ritual adat seperti pembukaan kebun, menanam hingga panen.
Mikael Omi Mbulu (83), Ria Bewa kampung adat Toba desa Roga kepada Mongabay Indonesia menjelaskan tanah ulayat adatnya merupakan warisan dari 12 suku yang harus dijaga. Semua tanah tersebut diberikan dan digarap masyarakat adat, serta pantang diperjualbelikan.
“Tanah yang dibagikan untuk digarap tidak boleh diperjualbelikan, apalagi dibuat sertifikat tanah. Bila ketahuan melanggar, tanah tersebut akan kami ambil kembali,” tegasnya.
Hukum adat mengharuskan masyarakat menjaga hutan dan dilarang menebang pohon di kawasan hutan. Denda adat yang berat yaitu penyembelihan babi bahkan kerbau dengan ritual adat penyucian dijatuhkan bila ketahuan melanggar. Pohon untuk membangun rumah ditanam di areal kebun.
“Sebelum pemerintah melarang masyarakat menebang pohon dan merusak hutan, adat sudah melarangnya. Kami meminta agar areal sekitar TN Kelimutu harus dilestarikan, harus dihijaukan kembali,” pesannya.
Mikael meminta Pengelola TNK harus membagi anakan pohon untuk ditanam masyarakat sebagai pencegahan masyarakat menebang pohon di hutan.
baca juga : Yuk, Menengok Berbagai Pesona Keindahan Alam Kelimutu
Kayu untuk Rumah Adat
Wilayah tanah ulayat masyarakat adat dusun Toba desa Roga mencapai danau Kelimutu. Danau Tiwu Ata Mbupu masuk wilayah adat dusun Toba dan desa Pemo. Saat ritual adat Pati Ka, memberi makan leluhur di danau Kelimutu, Ria Bewa Toba pun diundang.
“Masyarakat adat pada prinsipnya tidak bertani di dalam kawasan hutan yang masuk wilayah TN Kelimutu. Kami tidak merusak kawasan hutan lindung karena ada aturan adatnya,” sebutnya.
Mikael sebagai Riba Bewa berberpesan agar pengelola TNK menjaga keharmonisan hubungan dengan masyarakat adat. Mikael meminta kompensasi dana bagi masyarakat adat yang setia menjaga hutan kawasan TNK.
Masyarakat adat, sebutnya, hanya meminta agar diperbolehkan menebang pohon di dalam kawasan TNK untuk pembangunan rumah adat. Hanya menebang beberapa pohon dan hanya dilakukan puluhan tahun sekali.
Kampung (Nua bahasa Lio) adat memiliki Kanga, sebuah pelataran yang berbentuk lingkaran, yang dikelilingi rumah-rumah pertemuan (Sa’o Nggua) selain rumah-rumah tinggal.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga yang meliputi wilayah Flores dan Lembata, Philipus Kami kepada Mongabay Indonesia, Jumat (24/5/2019) menjelaskan mereka telah menggelar konsolidasi pada 2-4 Mei 2019 bersama 23 komunitas masyarakat adat daerah penyangga TNK dengan Balai TNK.
menarik dibaca : Eloknya Puncak Kelimutu, Danau Kawah yang Terus Berubah Warna
Dalam konsolidasi, Philipus menyampaikan keinginan komunitas adat mengambil satu dua pohon untuk kayu pembangunan rumah adat, yang dilakukan pada 30 – 60 tahun sekali. Kayu itu tidak boleh diperjualbelikan.
“Komunitas adat tidak akan menebang kayu di wilayah komunitas adat lainnya untuk membangun rumah adat. Balai TNK tidak boleh melarangnya. Tapi harus ada kesepakatan setelah menebang harus ditanam lagi beberapa pohon,” sebutnya.
Ritual menebang kayu di hutan hingga membawanya ke kampung adat sampai membangun rumah adat pun menjadi atraksi budaya, yang bisa dijual sebagai sebuah wisata budaya.
Kayu Bisa Habis
Kepala Balai Besar TNK Agus Sitepu mengakui pembahasan pengambilan kayu untuk rumah adat dalam pertemuan tersebut. Pengambilan pohon memang dilarang dalam kawasan hutan TNK.
Kawasan hutan, kata Agus, bukan hanya di kawasan TNK saja. Kawasan hutan berupa hutan produksi yang dikelola Unit Pelaksana Teknik Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) jauh lebih luas. Pihaknya sudah mengkoordinasikan dengan UPT KPH terkait keinginan masyarakat adat.
“Tapi skemanya apa, hutan kemasyarakat atau hutan desa? Bayangkan di sekitar TNK ada 23 kampung adat dan semuanya menebang kayu di dalam kawasan TNK. Nanti kayunya habis,” ungkapnya.
Kawasan TNK, kata Agus, hanya seluas 5.000 hektar, sementara hutan produksi UPT KPH kabupaten Ende seluas 30.000 hektar lebih. Ada keinginan pengambilan kayu hanya di hutan tertentu, tetapi ada yang berpendapat bisa diambil di hutan manapun asal sesuai spesifikasi kayunya.
baca juga : Inilah Profil Desa Waturaka di Kelimutu, yang Kembangkan Wisata Lingkungan dan Budaya
Saat rapat bersama masyarakat adat, UPT KPH mempersilahkan pengambilan kayu untuk pembangunan rumah adat memanfaatkan hutan produksi, dalam bentuk hutan kemasyarakatan atau hutan tanaman rakyat.
“Sebenarnya pengambilan kayu tersebut ada potensi wisatanya. Tetapi kalau dalam jumlah banyak tentunya akan berbahaya sekali bagi fungsi kawasan TN Kelimutu,” sebutnya.
Sedangkan Philipus mengatakan, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi No.35/2012 tentang Hutan Adat, ada perubahan Peraturan Menteri KLHK yang melahirkan 5 skema Perhutanan Sosial, yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan. Ini yang harus disosialisasikan Dinas Kehutanan provinsi NTT dan Balai TNK agar masyarakat mengerti.
“Ini penting disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak ada lagi terjadi konflik antara masyarakat adat dengan Balai TN Kelimutu,” tegasnya.
Dia berharpa ada kesepakatan yang menguntungkan bersama antara 23 komunitas adat sekitar TNK, Balai TNK, UPT KPH Ende dan pemerintah agar budaya adat tetap lestari dan kawasan hutan TNK tetap terjaga.
***
Keterangan foto utama : Danau Tiwu Nuamuri Ko’ofai yang berwarna hijau. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia