- Konflik agraria terus terjadi. Komisi Hak Asai Manusia mengusulkan, perlu konsensus nasional dalam menyelesaian kasus-kasus agraria dengan mengedepankan prinsip HAM. Juga perlu ada kesepakatan soal indikator penyelesaian konflik agraria.
- Penyelesaian konflik agraria, urgen dan perlu sinergis lintas kementerian dan lembaga, dari pusat hingga daerah. Walhi mengingatkan, pemerintah perlu serius menangani konflik dan mencegah perluasan atau muncul konflik baru kala memberikan izin.
- Data KPA, dalam periode Jokowi-Jusuf Kalla, terekam 1.769 kasus agraria dengan menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi. Penyebab kekerasan, polisi, jasa keamanan swasta, satpol PP hingga militer.
- Komnas HAM menyebut, dari sebaran wilayah, beberapa daerah penyumbang konflik agraria tertinggi adalah Jakarta– didominasi sektor pertanahan terkait barang milik negara–, disusul Jawa Barat (infrastruktur), dan Kepulauan Riau (kehutanan dan infrastruktur). Lalu, Jawa Timur (lingkungan dan barang milik negara), Sumatera Utara (perkebunan) dan Kalimantan Timur mayoritas sektor pertambangan.
Konflik agraria masih terus terjadi tanpa ada terobosan berarti. Untuk penyelesaian konflik, pemerintah seakan berjalan sendiri-sendiri. Komisi Hak Asai Manusia menekankan, perlu konsensus nasional dalam menyelesaian kasus-kasus agraria dengan mengedepankan prinsip HAM.
Pada semester pertama 2019, Presiden Joko Widodo, terhitung sudah tiga kali membahas isu penyelesaian konflik agraria dalam rapat terbatas. Presiden tegas meminta, jajaran kabinet sampai pemerintah daerah menyelesaikan konflik agraria, termasuk yang ada di dalam hak guna usaha.
”Sayangnya, ketegasan Jokowi ini tidak ditindaklanjuti serius dan cepat,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), di Jakarta, baru-baru ini.
Data KPA, dalam periode Jokowi-Jusuf Kalla, terekam 1.769 kasus agraria dengan menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi. Penyebab kekerasan, katanya, polisi, jasa keamanan swasta, satpol PP hingga militer.
Penyelesaian konflik agraria, katanya, urgen dan perlu sinergis lintas kementerian dan lembaga, dari pusat hingga daerah. ”Perlu konsensus nasional dalam penyelesaian ini, karena tak cukup hanya presiden. Ada hambatan hukum dan politik tak hanya di ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga perlu dukungan lembaga negara,” katanya.
Reforma agraria pemerintah saat ini, katanya, hanya pembagian sertifikat tanah, yang pada dasarnya memang tugas dan fungsi Kementerian ATR/BPN. Redistribusi tanah pun berjalan lambat.
Amiruddin, Komisioner Komnas HAM mengatakan, ada 211 laporan kasus agraria dalam 2016-2018. Ia terbagi dalam, 90 kasus sektor petanahan terkait barang milik negara, 38 sektor perkebunan, 32 infrastruktur, 27 pertambangan dan 24 kasus kehutanan.
Berdasarkan sebaran wilayah, beberapa daerah penyumbang konflik agraria tertinggi adalah Jakarta– didominasi sektor pertanahan terkait barang milik negara–, disusul Jawa Barat (infrastruktur), dan Kepulauan Riau (kehutanan dan infrastruktur). Lalu, Jawa Timur (lingkungan dan barang milik negara), Sumatera Utara (perkebunan) dan Kalimantan Timur mayoritas sektor pertambangan.
Komnas HAM menyebutkan, penyebab sengketa dan konflik agraria antara lain, pertama, ketidakpastian dan diskriminasi hukum karena penanganan kasus sengketa di pengadilan lamban, proses legalisasi pertanahan terhambat di BPN, political will pemerintah/pemda dalam redistribusi atau ganti rugi lahan rendah.
Kedua, perampasan lahan sewenang-wenang antara lain oleh korporasi, pemerintah atau pemda, TNI/Polri. Ketiga, sengketa tapal batas, seperti konsesi, administrasi pemerintahan, wilayah adat/suku/etnis.
Keempat, tumpang tindih regulasi, tata ruang izin konsesi antara daerah dan pusat, skema tata ruang agraria tak sinkron, dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
”Masalah agraria ini seperti puncak es, tampak sedikit, di lapangan itu lebih luas.”
Masalah utama konflik agraria, katanya, ketimpangan kuasa lahan. Di lapangan, katanya, banyak terjadi pengambilan lahan masyarakat secara sepihak dan sewenang-wenang, serta tak transparan. Masyarakat gerah dan mulai bersikap mempertahankan hak lahan.
“Saat masyarakat mulai marah, yang dikerahkan (justru) polisi atau TNI, ujung-ujungnya muncul konflik polisi dan rakyat.”
Akhirnya, upaya tuntutan hak atas tanah berubah menjadi kekerasan aparat pada rakyat. “Sangat disayangkan tindakan aparat hukum melakukan kekerasan dalam menangani konflik.”
Selama ini, masalah agraria seringkali muncul saat pemerintah memberikan izin konsesi tanpa verifikasi lapangan. Tumpang tindih lahan terjadi bisa satu kampung bahkan satu desa masuk dalam konsesi.
“Perlu ada jaminan kepada masyarakat, jika sebelumnya mereka diintimidasi, kini bagaimana masalah ini akan diselesaikan. Kalau instansi terkait lepas tangan, presiden harus turun tangan. Masyarakat terpulihkan haknya.”
Amiruddin menyarankan, perlu ada kesepakatan soal indikator penyelesaian konflik agraria. ”Misal, ada pengembalian hak atas tanah. Atau misal, agar jelas obyeknya, perlu ada sertifikasi pelepasan konsesi dari BPN. Ada pemulihan situasi lahan.”
Komnas HAM, katanya, tak memiliki wewenang mengeksekusi penyelesaian kasus agraria di lapangan. Lembaga ini hanya merekomendasikan langkah penyelesaian yang harus memenuhi prinsip HAM.
Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional mengatakan, pemerintah perlu serius menangani konflik dan mencegah perluasan atau muncul konflik baru kala memberikan izin.
”Penyelesaian konflik agraria bukan hanya selesaikan (masalah) ruang (tanah masyarakat), juga harus dibarengi pengadaan daya dukung ruang yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat,” katanya.
Meski ada komitmen politik kuat dari pemerintah, katanya, terpenting bagaimana implementasi. Dia berharap, ada badan yang mengawasi penyelesaian konflik agraria. Selama ini, Komnas HAM mendapatkan laporan dari masyarakat, dan memberikan rekomendasi penyelesaian kepada pemerintah. Sayangnya, rekomendasi ini seringkali tak jadi bahan pertimbangan.
”Tidak hanya KLHK, kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, perlu ikut serta dalam upaya pemulihan hak rakyat. Tidak hanya ruang, tapi masalah status sosial.”
Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional, hingga kini KATR/BPN enggan membuka data HGU alias tak mau transparan dan jadi salah satu sumber masalah agraria.
Presiden, katanya, memerintahkan kementerian terkait menyelesaikan konflik agraria tetapi mengapresiasi KATR/BPN. Padahal, dalam Perpres 79/2017 mengenai Rencana Kerja Pemerintah 2018 dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, jelas tertera prioritas ATR/BPN menerbitkan paket regulasi penyelesaian konflik agraria. “Sampai sekarang peraturan menteri itu tidak diterbitkan,” katanya dalam kesempatan berbeda.
Dia menilai, upaya penyelesaian konflik agraria jadi bahasan tetapi belum membuahkan hasil signifikan. Kantor Staf Kepresidenan (KSP) misal, sudah membentuk Tim Percepatan Penanganan Konflik Agraria.
Tugasnya, mengakselerasi kementerian dan lembaga dalam menangani konflik-konflik agraria dan sumbr daya alam. Sayangnya, belum ada hasil signifikan juga.
Data konflik agraria dan sumber daya alam yang masuk KSP cukup banyak. Sampai 2018, tercatat ada 555 konflik seluas 627.430,042 hektar dan melibatkan 106.803 keluarga. Ia terdiri dari 306 kasus perkebunan (341.237,87 hektar), 163 kehutanan (246.746,73 hektar), 33 bangunan (2.259,936 hektar), infrastruktur 19 (2.288,536 hektar). Kemudian, transmigrasi 17 kasus (6.952 hektar) dan kasus lain ada 17 seluas 27.944,97 hektar. Luas konflik agraria yang didampingi Walhi di 20 provinsi tercatat 487.595,42 hektar melibatkan 58.094 jiwa.
“Negara dengan kewenangan dan kekuatan, harusnya upaya paksa. Jangan hanya jadi wacana. Kita dorong agar presiden memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria.”
TAP MPR Nomor 9/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, kata Boy, bisa jadi dasar hukum bagi presiden bertindak tegas dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria.
TAP MPR itu, katanya, sudah secara tegas menggambarkan tugas-tugas yang harus dilakukan pemerintah dan DPR dalam pembaruan agraria.
“Salah satunya, diperintahkan kepada presiden dan DPR untuk mengevaluasi berbagai regulasi yang menghambat pembaruan agraria dan sumber daya alam. Memerintahkan khusus kepada presiden untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu dalam pembaruan agraria dan sumber daya alam dengan mengedepankan keapstian hukum.”
Kalau berbicara hirarki perundang-undangan, katanya, TAP MPR ini berada di atas UU. “Harusnya Jokowi tinggal membuat aturan-aturan teknis.”
Selain itu, pemerintah harus mengevaluasi perizinan secara menyeluruh dan membentuk lembaga khusus penyelesaian berbagai konflik agraria berada langsung di bawah presiden.
“Jangan dilempar ke KSP atau kementerian terkait. Tetapi harus dipimpin langsung presiden. Cek, validasi, evaluasi. Kalau evaluasi bertahap, gak akan berhasil. Contohnya, Sofyan Djalil (Menteri ATR) dia diperintahkan membuat peraturan penyelesiaan konflik, sampai sekarang tidak dilaksanakan,” katanya, seraya bilang, KATR malah bikin nota kesepahaman dengan kepolisian dan kejaksaan padahal kalau lihat aktor konflik agraria banyak oknum kepolisian dan kejaksaan.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Politik Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, perintah presiden agar segera penyelesaian konflik agraria tertuang dalam kebijakan konkrit hingga bisa jadi pijakan dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria.
Dia bilang, tantangan penyelesaian konflik agraria memang besar meskipun sudah ada TAP MPR, tetapi tak jalan. TAP MPR, katanya, lahir dari sebuah kesadaran bahwa harus ada transisi politik dari rezim otoritarian dan sentralistrik dalam pengeloalan sumber daya alam ke sistem demokrasi dengan harapan menjawab persoalan lingkungan hidup.
Sayangnya, kebijakan pengelolaan sumber daya alam masih sektoral hingga jadi hambatan terbesar dalam menyelesaikan konflik agraria. Meskipun sudah ada komitmen kuat dari presiden, dalam implementasi tetap akan menghadapi benang kusut.
Keterangan foto utama: Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak terhadap para petani ini?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia