- Angka kemiskinan di Sumatera Selatan sebesar 12,52 persen atau lebih tinggi dari kemiskinan nasional sebesar 9,82 persen. Ironinya, empat kabupaten yang kaya sumber daya alam dan hutan justru memiliki angka kemiskinan tertinggi di Sumsel: Musi Rawas Utara, Lahat, Musi Banyuasin [Muba], dan Ogan Komering Ilir [OKI]
- Pemerintah Kabupaten Muba menjelaskan, sekitar 200-250 ribu masyarakatnya hidup miskin karena berada di hutan. Mereka tidak dapat disentuh pembangunan karena dinilai ilegal. Perhutanan sosial diharapkan memberikan jaminan hukum dan perlindungan terhadap mereka sehingga membari peluang hidup lebih baik.
- Potensi perhutanan sosial dapat menekan angka kemiskinan di Sumatera Selatan yang cukup besar
- Pelaksanaan perhutanan sosial di Sumatear Selatan masih menghadapi berbagai kendala, mulai penentuan PIAPS[(Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial] hingga minimnya keterlibatan pemerintah kabupaten dan desa. Dibutuhkan kerja sama antarpihak
Baca: Forum Diskusi Mongabay: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Luasan
Dari 8.160.901 jiwa penduduk Sumatera Selatan, sekitar 12,52 persen adalah penduduk miskin. Empat kabupaten dengan peringkat kemiskinan tertinggi adalah Musi Rawas Utara [19,49], Lahat [16,81], Musi Banyuasin [16,75], dan Ogan Komering Ilir [15,75]. Ironinya, pada keempat kabupaten tersebut banyak aktivitas yang memanfaatkan lahan dan hutan, dilakukan berbagai perusahaan untuk menghasilkan migas, hutan tanaman industri [HTI], perkebunan sawit dan karet, serta tambang batubara. Mampukah skema perhutanan sosial menekan angka kemiskinan?
“Beberapa waktu lalu saya ditanya Gubernur Sumsel [Herman Deru, red]. Mengapa wong miskin masih tinggi di Musi Banyuasin? Saya langsung jawab semua karena hutan,” kata Beni Hernedi, Wakil Bupati Muba, saat diskusi yang digelar Mongabay Indonesia dengan tema “Mendorong Integrasi Perhutanan Sosial ke Dalam Rancangan Pembangunan Desa” di Rumah Sriksetra, Palembang, Minggu [26/5/2019] lalu.
Mengapa hutan? Sebab sebagian besar masyarakat Musi Banyuasin [Muba] yang menetap di kawasan hutan sulit mendapat sentuhan pembangunan atau bantuan pemerintah. “Mereka dinilai sebagai masyarakat ilegal karena menetap di hutan sehingga pembangunan atau bantuan negara tidak dapat diberikan. Jumlahnya kisaran 200-250 ribu jiwa,” kata Beni.
Beni berharap, skema perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah mampu menyelamatkan masyarakat Muba yang dinilai “ilegal” tersebut. Dengan begitu, mereka dapat menerima bantuan atau pembangunan, sehingga hidupnya lebih baik.
Sebagai informasi, Pemerintah Sumatera Selatan mencanangkan penurunan angka kemiskinan lima tahun ke depan sebesar satu digit. Angka ini lebih besar dari kemiskinan nasional sebesar 9,82 persen. Hal ini disampaikan Gubernur Sumsel Herman Deru saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sumsel 2018-2023, Januari 2019 lalu, sebagaimana dikutip dari Republika.
Baca: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 Ribu Hektar. Bagaimana Hutan Adat?

Achmad Taufik, Wakil Ketua Pokja Percepatan Perhutanan Sosial [PPS] Sumatera Selatan membenarkan jika skema perhutanan sosial bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, khususnya yang selama ini hidup di hutan.
“Dulu, mereka memang disebut perambah. Tapi regulasi coba mendorong rasa keadilan terhadap rakyat dalam memanfaatkan hutan. Selama ini hanya perusahaan besar yang leluasa memanfaatkan hutan, tidak diberikan kesempatan kepada masyarakat. Perhutanan sosial mendorong pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat yang sudah telanjur masuk ke hutan. Jika mereka terlibat dalam skema perhutanan sosial mereka memiliki akses pembangunan dan juga bantuan,” katanya.
Saat ini, kata Taufik, empat kabupaten yang angka kemiskinannya tertinggi di Sumsel, termasuk Kabupaten Muba, memang menjadi sasaran utama perhutanan sosial. “Di Muba sudah ada 40 ribu hektar yang dijadikan perhutanan sosial. Jika memang akan ditingkatkan Pemerintah Muba perlu melahirkan peraturan bupati yang memperlancar pengurusan perhutanan sosial. Termasuk, mendorong skema kemitraan konservasi, karena banyak warga Muba yang menetap di kawasan konservasi,” katanya.

Potensi perhutanan sosial
Meiardhy Mujianto dari Penabulu menyatakan, ketidakadilan akses hutan antara masyarakat dengan pelaku usaha di Sumatera Selatan cukup mencolok. Dari 3.466.901 hektar luasan hutan di Sumatera Selatan, berdasarkan SK Menhut No.866 Tahun 2014, sekitar 1.569.518 hektar dikelola perusahaan. Hanya 124.737,80 hektar dikelola masyarakat melalui skema perhutanan sosial.
“Masuk akal jika angka kemiskinan masih tinggi di Sumsel, khususnya masyarakat pedesaan yang hidup di kawasan hutan,” katanya.
Perhutanan sosial cukup berpotensi mengatasi atau menurunkan angka kemiskinan di Sumatera Selatan. Berdasarkan Peta Indikatif Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Revisi III, tersedia 262,633.03 hektar. Sementara izin perhutanan sosial hingga Mei 2019 baru 94 Unit SK dengan luasan 124.737,80 hektar, dimanfaatkan 14.719 kepala keluarga.
“Selain itu ada potensi lahan perhutanan sosial yang dimitrakan dengan perusahaan IUPHHK-HTI yang mendapatkan konsesi seluas 1.303,010 hektar. Berdasarkan peraturan, mereka wajib menjadikan 20 persen sebagai lahan kehidupan atau teruntuk masyarakat. Artinya, luasnya mencapai 260.600 hektar,” kata Mujianto.
“Berdasarkan penelitian Universitas Gadjah Mada [UGM] 2018, rata-rata pendapatan petani yang mengelola perhutanan sosial sebesar Rp28,3 juta per tahun. Ini angka yang signifikan bagi petani di Sumsel,” lanjutnya.
Produksi potensial di Sumatera Selatan selain madu, ikan, juga kebau rawa. “Tinggal bagaimana dukungan berbagai pihak, baik melalui pendampingan, regulasi, dan pengembangan pasar,” ujarnya.

Mengatasi berbagai kendala
Agus Irwanto Wibowo dari proyek KELOLA Sendang-ZSL menjelaskan berbagai persoalan terkait pelaksanaan perhutanan sosial di Sumatera Selatan. Pertama, penentuan PIAPS [Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial] belum mempertimbangkan kondisi eksisting lahan dan situasi sosial-ekonomi masyarakat yang ada. “Misalnya, area yang diberikan merupakan lahan kosong, padahal masyarakat mengharapkan area yang sudah mereka kelola atau sudah menjadi perkebunan atau pertanian.”
Kedua, masih berorientasi pada targetan luasan dan jumlah perizinan. Ketiga, jumlah pendamping belum sebanding dengan kebutuhan. Keempat, belum ada standarisasi pendampingan perhutsos. Kelima, anggaran fasilitasi masih minim sehingga kinerja Pokja PPS terbatas.
Keenam, adanya peluang jual beli lahan. Ketujuh, rencana usaha belum didasari analisa bussines plan yang memadai. Kedelapan, konektivitas dengan pasar masih rendah. Kesembilan, kontrol perlindungan sosial dan lingkungan belum ada panduan baku. Kesepuluh, keterlibatan pemerintah desa dan kabupaten minim.
“Berbagai persoalan ini harus diselesaikan bersama. Peranan pemerintah daerah dan pemangku wilayah sangat diharapkan. Dengan begitu, cita-cita mulia perhutanan sosial menyejahterakan masyarakat desa terwujud. Angka kemiskinan akan menurun seperti yang diharapkan Pemerintah Sumsel,” kata Agus.
Proyek KELOLA Sendang yang sejak awal membangun komunikasi antar-pihak dan kemitraan, juga mendorong perhutanan sosial berjalan baik atau optimal. Agar, berjalan seperti yang diharapkan Pemerintahan Jokowi-JK.