Timah yang Membuat Wajah Bangka Tidak Bahagia

 

  • Pulau Bangka yang luasnya 2,95 juta hektar merupakan pulau terbesar di Provinsi Bangka Belitung yang memiliki 470 pulau. Sejak abad ke-18, pulau ini sudah ditambang timah
  • Sejak awal 2000-an mulai ada aktivitas timah inkonvensional [TI]. Kegiatan TI bukan hanya berlangsung di daratan juga di lepas pantai, sehingga memberi dampak kerusakan pada hutan dan laut
  • Luasan hutan di Bangka-Belitung 657.510 hektar, sekitar 55 persen dalam kondisi kritis. Diperkirakan ini disebabkan aktivitas TI yang hingga tahun 2013 tercatat 18.000 unit, luasan lahan yang digunakan sekitar sembilan juta meter persegi.
  • Saat ini ada beberapa usaha melestarikan hutan dan mangrove di Bangka, seperti hutan mangrove dan pelawan di Bangka Tengah

 

Pulau Bangka, sebuah pulau yang terletak di tenggara Pulau Sumatera atau tepatnya di sebelah timur Sumatera Selatan, luasnya sekitar 2,95 juta hektar. Sejak abad ke-18, pulau yang terdiri dari rawa-rawa, dataran rendah hingga perbukitan ini, menjadi pusat eksplorasi timah. Bangka juga dikenal dengan hasil lada putih. Dari berbagai aktivitas tersebut, masih adakah hutan yang tersisa?

Sepekan perayaan Hari Raya Idul Fitri 2019, Mongabay Indonesia melakukan perjalanan ke Bangka, pulau terbesar di Bangka-Belitung. Provinsi yang memiliki 470 pulau, sekitar 50 pulau berpenghuni.

Selama mengunjungi sejumlah objek wisata pantai di Kabupaten Bangka, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan, yang berada di sebelah barat pulau tersebut, saya sulit sekali menemukan hutan primer. Semua kawasan hutan menjadi perkebunan, baik karet, lada, sawit, dan tanaman lainnya. Sebagian menjadi semak, kolam, atau hamparan pasir yang kemungkinan besar dampak dari pertambangan pasir timah.

Baca: Sihir Ajaib Gerhana Matahari Total di Kapal Ekspedisi 2016

 

Sampah plastik yang terlihat berserakan di pantai. Tampak seorang anak tengah bermain. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Air laut juga terlihat keruh, tidak biru cerah dan hijau bening, yang kemungkinan besar akibat penambangan pasir timah di lepas pantai. Misalnya, di Pantai Matras. Selain itu sampah plastik terhampar mengotori hampir semua pantai yang menjadi objek wisata. Bahkan, Pantai Tanjung Kerasak di Bangka Selatan, yang dikunjungi ribuan orang saat peristiwa Gerhana Matahari Total, 9 Maret 2016 lalu, selain sampah plastik dan gelas berserakan di pantai, juga tidak ditemukan bak atau tempat pembuangan sampah.

“Kalau kami terpaksa membakarnya setelah selesai berkunjung ke sini,” kata Ikhlas, warga Pangkal Pinang.

 

Sampah plastik yang tampak melatari laut indah di Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hutan kritis

Erzaldi H Rosman Djohan, Gubernur Bangka-Belitung, dua tahun lalu mengatakan dari 657.510 hektar luasan hutan di Bangka-Belitung, sekitar 55 persen mengalami kerusakan atau kondisinya kritis. Menurut dia, kerusakan kawasan hutan dapat berdampak pada keseimbangan ekosistem.

Erzaldi juga mengingatkan agar mangrove dijaga, baik di Bangka dan Belitung juga pada ratusan pulau lainnya di provinsi tersebut. Mangrove berfungsi melindungi gelombang pasang, tsunami dan ancaman lainnya.

 

Kolam eks tambang yang terlihat jelas di Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No.798/Menhut-II/2012 tertanggal 27 Desember 2012, luasan hutan Bangka Belitung dibagi berdasarkan fungsinya. Kawasan Suaka Alam [KSA] dan Kawasan Pelestarian Alam [KPA] seluas 35.454 hektar; Hutan Lindung seluas 185.531 hektar, hutan produksi tetap [HP] seluas 432.884 hektar, serta kawasan hutan yang dapat dikonversi [HPK] seluas 693 hektar.

Kawasan hutan itu dikelola Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] yakni KPHL Belitung Unit X, KPHP Jebu Bembang Antan Unit II, KPHP Bubus Panca Unit II, serta KPHP Bangka Selatan.

 

Pantai Rebo yang indah harus dirawat dari sampah dan kerusakan lingkungan lainnya. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Bangka terancam tenggelam

“Berbagai kerusakan hutan di Bangka sebagian besar akibat penambangan pasir timah liar atau biasa disebut timah inkonvensional [TI] sejak awal 2000-an, serta perkebunan sawit di masa sebelumnya,” kata Mualimin Pardi Dahlan,” Pjs Direktur Walhi Bangka-Belitung, Kamis [13/06/2019]. “Kawasan mangrove juga banyak mengalami kerusakan,” lanjutnya.

“Intinya, aktivitas penambangan timah di Bangka bukan hanya merusak hutan, mangrove, juga laut. Pemerintah pusat harus bersikap terhadap persoalan ini. Jika dibiarkan, Pulau Bangka akan mengalami bencana besar, terancam tenggelam. Tahun 2016, dampaknya sudah dirasakan masyarakat Bangka, berbagai wilayah mengalami banjir hingga setinggi dua meter. Itu dampak dari kerusakan tersebut,” katanya.

 

Pohon mangrove yang penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Doni, warga Bangka Selatan, kepada Mongabay Indonesia, juga mencemaskan hal tersebut. “Banjir 2016 lalu, merupakan bukti Bangka sudah rusak, baik hutan maupun mangrove. Banyak sungai meluap hingga merusak jembatan dan menenggelamkan rumah penduduk,” katanya.

“Saya berharap pemerintah segera menghentikan aktivitas TI dan merehabilitasi lahan-lahan yang rusak tersebut,” lanjutnya.

 

Pohon asam kandis. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari informasi yang didapatkan Mongabay Indonesia, para penambang TI bukan hanya masyarakat lokal juga pendatang dari Tulungselapan, Cengal, dan Pangkalan Lampan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan.

Berapa luas lahan yang dikelola TI di wilayah daratan Bangka?

Dr. Ibrahim dari Universitas Bangka-Belitung dalam bukunya “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila [2013]” memperkirakan sekitar 18.000 unit usaha penambangan timah TI atau rakyat beroperasi di Bangka. Luasan setiap unit diperkirakan sekitar 500 meter persegi. Dari penjelasan Ibrahim tersebut, diperkirakan sembilan juta meter persegi lahan di Bangka sudah ditambang TI.

PT. Timah, sebagai sebuah perusahaan tambang yang utamanya di pertambangan timah memiliki izin usaha pertambangan [IUP] Timah seluas 512.369 hektar di darat dan lepas pantai Kepulauan Bangka, Belitung, dan Kundur. Kegiatan eksplorasi lebih dari 50 tahun ini, masih pengembangan ekplorasi guna memperbesar jumlah sumber daya yang dimiliki.

 

Pohon-pohon pelawan yang tumbuh di Hutan Pelawan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Wisata mangrove dan hutan pelawan

Ternyata ada juga upaya menjaga mangrove dan hutan. Misalnya, wisata hutan mangrove di Sungai Munjang, Desa Kurau Barat, Kabupaten Bangka Tengah. Hutan mangrove yang luasnya sekitar 213 hektar ini dijadikan objek wisata sejak Juli 2017.

Beragam jenis mangrove ditemukan di sini, seperti nipah [Nypa fruticans], waru laut [Hibiscus tiliaceus], bintan [Cerbera manghas], nyirih [Xylocarpus granatum], perepat lanang [Scyphiphora hydrophyllacea], bakau tampusing [Brugueira sexangula], bakau minyak [Rhizophora apiculata], peterpat [Sonneratia alba], bakau tengar [Ceriops decandra], serta biduri [Calotropis gigantean].

Di sini juga ada beragam jenis burung, ular, serta ikan air tawar dan payau seperti gabus, toman, kakap dan sembilang.

Yang cukup menarik juga adalah keberadaan Hutan Pelawan di Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah. Hutan yang didominasi tanaman endemik Bangka-Belitung yakni pohon pelawan [Tristaniopsis merquensis].

Jika kulit pohonnya terkelupas, batang dan kulitnya berwarna merah. Pohon ini banyak digunakan warga sebagai tiang penyangga tanaman lada, serta bunga pohon ini juga disukai lebah yang menghasilkan madu yang rasanya pahit. Kulit pohon yang terkelupas dan jatuh ke tanah, akan ditumbuhi jamur yang rasanya lezat dan harganya cukup tinggi.

Pada malam hari, di hutan yang luasnya sekitar 260 hektar ini juga ditemukan mentilin [Tarsius bancanus].

Ketika mengunjungi hutan di Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, ternyata masih ditemukan juga sejumlah pohon berusia puluhan hingga ratusan tahun. Termasuk pohon yang bukan endemik Bangka, seperti pohon asam kandis yang berasal dari India. “Di dalam rimba masih ditemukan pohon ramin yang usianya ratusan tahun. Rimba itu masih terjaga karena dikenal anker,” kata Doni.

 

Pohon pelawan merah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tidak ada gajah dan harimau

Tidak ada gajah atau harimau di Bangka, seperti di Pulau Sumatera umumnya. Padahal di seberang pulau ini, tepatnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, merupakan habitat gajah sumatera dan beberapa tahun lalu masih terdapat harimau. Satwa pemuncak di Bangka adalah beruang madu dan buaya.

Tidak seperti di Pulau Sumatera, beberapa nama wilayah, dusun, atau desa, tidak ada yang menyebutkan kata “gajah” atau “harimau”. Nama harimau hanya digunakan untuk menyebutkan “anggrek harimau” yang banyak ditemukan di hutan Bangka.

“Tidak ada cerita mengenai gajah dan harimau. Mungkin dulu ada harimau dan gajah di sini, tapi sudah punah. Mungkin, di masa Kesultanan Palembang, ketika pulau ini mulai dilakukan eksplorasi timah,” kata Bandi, warga Bangka Tengah.

Kemungkinan adanya gajah di Pulau Bangka masa lalu secara teori cukuplah mungkin. Sebab, pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya membuat Prasasti Kota Kapur, yang berisi kutukan terhadap mereka yang tidak setia dan melawan Raja Sriwijaya. Seperti diketahui bala tentara Sriwijaya menggunakan gajah sebagai alat transportasi.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,