- Dua individu beruang madu [Helarctos malayanus] terkena jerat yang dipasang pemburu babi di hutan Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, 11 Juni 2019
- Satu individu beruang usia 2-3 tahun, harus diamputasi kakinya akibat luka dari jerat babi tersebut
- Perburuan beruang atau satwa lain dengan alasan memburu babi sering terjadi di Aceh, untuk memudahkan pemburu keluar masuk hutan
- Beruang madu merupakan satwa liar dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018
Dua individu beruang madu [Helarctos malayanus] terkena jerat yang dipasang pemburu babi di pinggiran hutan Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, pada 11 Juni 2019. Masyarakat setempat mendapati satwa dilindungi itu dengan kaki terluka.
Personil Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh dibantu personil Balai Taman Nasional Gunung Leuser, tim Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat berhasil menyelamatkan satu individu beruang keeseokan harinya.
Sementara, satu individu lagi terpaksa dibawa ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Baca: Pembalakan Liar Masih Ancaman Utama Hutan Leuser
Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, dua beruang jantan terebut, masing-masing berusia 15 tahun dan 2-3 tahun. “Yang jantan besar karena tidak terluka parah, setelah jerat dilepaskan dari kakinya, langsung dilepaskan ke hutan. Untuk yang kecil, harus dirawat dahulu,” terangnya.
Sapto mengatakan, pada 14 Juni 2019, kaki belakang anak beruang tersebut diamputasi. Dalam perkembangannya, belum bisa dipastikan apakah bisa dilepaskan ke hutan atau tidak. “Kami lihat dulu kondisinya, apakah dapat hidup dan mencari makan dengan cacat seperti itu. Kakinya diamputasi hampir ke lutut,” ujarnya, Sabtu [15/6/2019].
Sapto menambahkan, kasus beruang yang terluka akibat jerat babi sudah terjadi beberapa kali di Aceh. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada populasi keseluruhan. “Sebelumnya, terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Kakinya juga diamputasi karena jerat babi,” ujarnya.
Sabri, warga Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya mengatakan, daerahnya memang sering didatangi pemburu babi asal Nias, Sumatera Utara. Masyarakat tidak mempermasalahkan, karena babi memang dianggap hama oleh masyarakat.
“Mereka beberapa kali datang ke sini untuk menangkap babi, tapi saat ini kami tidak tahu keberadaan mereka. Warga beberapa kali sudah mengingatkan agar para pemburu tidak memasang jerat sembarangan,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 13 April 2019, personil Reskrim Polres Aceh Barat, Aceh, menangkap lima masyarakat yang memperjualbelikan beruang madu. Mereka diciduk di Desa Leuhan, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.
Kasat Reskrim Polres Aceh Barat, Iptu Muhammad Irsal mengatakan, beruang madu hasil perburuan ilegal itu hendak dijual ke penampung asal Sumatera Utara. “Dari pengakuan lima tersangka, penampung itu bekerja sebagai pemburu babi,” jelasnya.
Perburuan
Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser [FKL], T. Fahlevi mengatakan, perburuan beruang atau satwa lain dengan alasan memburu babi sering terjadi di Aceh. Memburu babi dipakai sebagai alasan agar mudah keluar masuk hutan.
“Tapi umumnya, mereka akan mengambil apapun satwa yang terperangkap dalam jerat yang mereka pasang. Ada rusa, beruang, bahkan harimau,” ujarnya.
Fahlevi menyebutkan, perburuan merupakan masalah utama kejahatan satwa liar dilindungi di Aceh. Pemburu, hingga penampung atau pembeli satwa-satwa dilindungi, harus ditangkap.
“Jika pembeli utama tidak ditangkap, maka perburuan akan terus terjadi dan satwa dilindungi akan terancam di hutan. Umumnya, perburuan terjadi ketika ada permintaan di pasar gelap,” tuturnya.
Artis yang juga aktivis lingkungan, Melanie Subono, saat diwawancarai Mongabay Indonesia di Lampung pada 1 Mei 2019, mengatakan pendapat yang sama. Menurut Melanie, untuk menghentikan perburuan satwa dilindungi di hutan Indonesia, yang harus dilakukan adalah menangkap pembeli yang menginginkan satwa liar itu. Jika tidak, perburuan akan terus terjadi.
“Pembeli utama satwa-satwa dilindungi mulai gading gajah, cula badak, kulit harimau, bahkan satwa hidup seperti orangutan dan beruang adalah orang-orang kaya. Mereka harus ditangkap, ketika pembeli tidak ada, perburuan pasti akan berhenti,” paparnya.
Beruang madu merupakan satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Berdasarkan CITES [Convention on International Trade in Endangered Species], beruang madu dimasukkan dalam Appendix-1 sejak 1979 yang berarti tidak diperbolehkan diburu. Sejak 1994, statusnya dikategorikan Rentan [Vulnerable/VU] yang menunjukkan statusnya menghadapi tiga langkah menuju kepunahan di alam liar.