- Pemerintah Indonesia, bersiap mengembalikan 11 kontainer sampah impor dari Batam.
- Hasil uji sampah di Batam, dua kontainer terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya bercampur cacahan plastik bekas. Limbah B3 ditemukan atas uji laboratorium oleh Bea Cukai dan telah kena segel.
- Sebelumnya, 11 kontainer sampah dikembalikan ke negara asal, Amerika Serikat. Lima kontainer dari Surabaya terdapat imporasi limbah non B3, yakni kertas. Kontainer itu tercampur sampah domestik, seperti pampers, sepatu, kayu, bekas kemasan oli dan bahan kimia.
- Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, menunjukkan, peningkatan impor sampah plastik Indonesia 141% (283.152 ton), angka ini puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir, di mana pada 2013 sekitar 124.433 ton.
Pemerintah Indonesia, bakal mengembalikan lagi belasan kontainer sampah dan limbah bahan beracun berbahaya ilegal yang mendarat di Batam ke negara asal. Sebelumnya, lima kontainer sampah kembali ke negara asal, Amerika Serikat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terus berkoordinasi antar lintas kementerian dan lembaga dalam proses pengembalian sampah-sampah ini.
Ada 11 kontainer sampah di Batam, siap ekspor kembali. Dua kontainer terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya bercampur cacahan plastik bekas. Adapun, limbah B3 itu ditemukan atas uji laboratorium oleh Bea Cukai dan telah kena segel.
”Sampah masuk ke Indonesia itu, ada plastik, pasti tak legal karena ada ketentuan (melarang impor sampah) itu. Kita akan re-exspor,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pekan lalu di Jakarta.
Ada empat sampel hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Bea Cukai, yakni, limbah mengandung timbal, arsenik dan zink (sampel pertama dan kedua), pengotor iron compound dan aluminium compound (sampel ketiga), dan pengotor iron compound serta sulfur compound (sampel keempat).
Baca juga: Kisah Wisata Limbah B3 di Desa Lakardowo
Lima kontainer dari Surabaya terdapat imporasi limbah non B3, yakni kertas. Kontainer itu tercampur sampah domestik, seperti pampers, sepatu, kayu, bekas kemasan oli dan bahan kimia.
Pada 14 Juni 2019, KLHK dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan, pengembalian lima kontainer milik PT AS akan kembali ke Amerika Serikat. Berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan izin yang dimiliki sebagai importir produsen limbah non-B3 berupa scrap kertas dari Kementerian Perdagangan, tak terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya (B3), dan tak tercampur sampah.
Identifikasi awal, kontainer tertahan dan menimbulkan kecurigaan Ditjen Bea dan Cukai, hingga kala masuk ke pelabuhan dialihkan ke jalur merah, artinya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Baca juga: 60% Sumur Lakardowo Diduga Tercemar Limbah B3
Saat pemeriksaan besama KLHK, lima kontainer itu ditemukan impuritas atau limbah lain, atau sampah, antara lain, sepatu, kayu, pampers, kain, kemasan makanan dan minuman dan sejumlah keran plastik dalam jumlah cukup besar.
Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Hubungan Masyarkat KLHK, Senin (17/6/19) mengatakan, terjadi pelanggaran UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, sedangkan pengaturan pelarangan limbah B3 masuk diatur melalui UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya mengatakan, pengembalian kontainer ini ke negara asal karena melanggar ketentuan. Pada kasus di Batam, melanggar PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbaya dan Beracun dan Konvensi Basel. Sedangkan, kasus di Surabaya, impor sampah melanggar UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Proses pengembalian sampah plastik mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun dan hasil keputusan Konvensi Basel.
”Dalam hal ini KLHK harus bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, Kementerian Luar Negeri dan harus notifikasi ke negara yang mengimpor untuk menerima,” katanya.
Pada 2016, Indonesia sudah memiliki pengalaman memulangkan 40 kontainer sampah. Vivien bilang, impor limbah plastik merupakan bahan sudah dicacah dan siap dipakai. Ketika masuk Indonesia, perusahaan yang menerima harus memiliki industri pengolahan, di mana porsi bahan material daur ulang maksimal 50% dari bahan impor. Sisanya, dari bahan lokal. Adapun, impor sampah ini harus dalam keadaan cacahan dan siap olah dengan residu minim.
Selesai tahun ini
Untuk mengantisipasi atau langkah pencegahan sampah impor masuk tak sesuai aturan, KLHK mengusulkan revisi Permendag Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 soal klasifikasi HS code (kode perdagangan komoditas) yang mencantumkan kata ‘dan lain-lain’.
Kata ‘dan lain-lain’ itu, kata Siti, dinilai jadi celah bagi impor sampah bercampur dengan jenis lain atau bahan yang sulit didaur ulang.
Dalam aturan permendag itu, impor sampah boleh dengan syarat tak boleh menyisakan residua tau tercampur dengan bahan yang tak bisa didaur ulang.
”Saya sudah menyurati Menteri Perdagangan untuk memberikan masukan agar Permendag Nomor 31/2016 direvisi. Yang pasti, sampah dalam arti limbah yang tidak bisa diolah itu tidak boleh diimpor. Itu sesuai dengan UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah,” kata Siti. Target selesai revisi aturan tahun ini.
Sebelumnya, Fajri Fadillah, peneliti Indonesian Center for Environmental Law menyebutkan, baik UU 18/2008 maupun Permendag 31/2016 sudah cukup kuat dalam mengontrol impor limbah. Meski begitu, implementasi harus diawasi.
”Pemerintah perlu mengevaluasi kembali perusahaan yang memiliki izin impor plastik dan paper scrap, apakah sudah sesuai perizinan, dan apakah praktik yang mereka lakukan tidak mencemari lingkungan,” katanya.
Pada 2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia 141% (283.152 ton), angka ini puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir, di mana pada 2013 sekitar 124.433 ton.
Peningkatan impor sampah plastik, katanya, tak dibarengi angka ekspor. Malah pada 2018, ekspor turun 48% (98.450 ton). Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah masih ada di Indonesia, di luar beban pengelolaan sampah domestik.
Kasus yang ditemukan di Gresik, Jawa Timur, serpihan plastik bercampur kertas tak bisa didaur ulang. Seharusnya, pemerintah mengusut tindakan impor sampah bahkan, mencabut persetujuan impor importir produsen kertas itu.