- Bertambahnya penduduk di perkotaan berdampak pada peningkatan volume sampah
- Rata-rata masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan menghasilkan 0.5 kilogram sampah setiap hari
- Mongabay Indonesia menghimpun data produksi sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung yang mencapai 3.950 ton per hari. Sementara yang bisa diangkut, hanya 2.750 ton per hari. Tak heran jika Sungai Citarum yang merupakan muara dari wilayah tersebut ibarat pembuangan akhir sampah terpanjang
- Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendapat bantuan dana sebesar USD 100 juta atau sekisar Rp1,4 triliun dari Bank Dunia untuk menyelesaikan persoalan sampah di Sungai Citarum
Belasan pemuda memungut sampah di Alun-alun Kota Bandung, Jawa Barat, Senin pagi. Generasi milenial yang tergabung dari berbagai komunitas peduli lingkungan itu sukses mengumpulkan belasan karung sampah.
“Saya tidak bisa membayangkan 5 atau 10 tahun ke depan dengan kondisi sampah saat ini. Bisa-bisa kita hidup di atas tumpukan sampah,” gerutu Tubagus Zaenal Arifin, pegiat lingkungan yang ikut pungut sampah.
Tubagus tidak setuju bila hanya mengeksplorasi ketidakseriusan pemerintah dalam hal mengelola sampah. Atau, menuntut siapa sebetulnya yang bertanggung jawab atas persoalan sampah yang kian pelik. Sebab, dampaknya berimbas kepada siapa saja.
Baca: Bandung yang Masih Berkutat dengan Sampah, Sampai Kapan?
Berawal dari kegusaran, akhirnya ia aktif di komunitas Uncle T-Bob, gerakan underground kecil-kecilan. “Melalui kegiatan ini, kami mengajak masyarakat sekaligus membudidayakan tidak buang sampah sembarangan. Sederhana. Sampah tidak ramah ketika tidak dijamah,” ujarnya.
Sudah empat tahun, gerakan ini berjalan. Akan tetapi, Tubagus mengakui, pungut sampah masih sebatas partisan. Sebab, hanya dilakukan pasca-hari raya lebaran atau hari libur.
Padahal, kata dia, setiap waktu volume sampah mengalami peningkatan di area publik. “Kemarin, dalam waktu satu jam setengah, kami mengumpulkan 100 trash bag atau setara setengah ton.”
Tubagus mafhum, gerakan pungut sampah miliki kekurangan. “Sampah plastik tak hanya bagaimana cara membuangnya tetapi juga bijak mengolahnya.”
Baca: Kajian Ilmiah Pencemaran Citarum Dibutuhkan, Sebagai Acuan Pemulihan Sungai
Produksi sampah
Berdasarkan catatan Greeneration Foundation, lembaga non-pemeritah yang konsen pada permasalahan sampah, rata-rata masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan, memproduksi 0.5 kilogram sampah per hari. Artinya, peningkatan populasi pada sebuah kota atau kawasan akan berbanding lurus dengan volume sampah yang dihasilkan.
Produktivitas sampah di Kota Bandung, misalnya, dengan populasi penduduk 2,7 juta jiwa, sampah yang dihasilkan dikisaran 1.500 – 1.800 ton dalam hitungan hari.
Data Perusahaan Daerah [PD] Kebersihan Kota Bandung menyebut, dari jumlah itu hanya 300 ton per hari yang bisa diolah di bank sampah menjadi bahan kerajinan, kompos, bahan bakar gas, dan listrik.
Dari angka produktivitas sampah yang dihasilkan, hanya 1.200 ton sampah yang bisa diangkut ke tempat pembuangan akhir [TPA]. Sisanya, berada di tempat pembuangan sementara [TPS] dan berserakan di sudut kota ataupun hanyut ke sungai.
Baca: Dimulai, Program Pengurangan Sampah di Laut dari Sungai. Seperti Apa?
Mongabay Indonesia menghimpun data produksi sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung yang mencapai 3.950 ton per hari. Sementara yang bisa diangkut, hanya 2.750 ton per hari. Tak heran, jika Sungai Citarum yang merupakan muara wilayah tersebut ibarat pembuangan akhir sampah terpanjang.
PD Kebersihan Kota Bandung sendiri mengganggarkan setiap satu tahun biaya pengelolaan sampah sebesar Rp170 miliar. Biaya itu termasuk transportasi, penyewaan lahan, hingga pengolahan sampah.
PD Kebersihan Kota Bandung juga mengkampanyekan program Kang Pisman atau Kurang, Pisahkan, dan Manfaatkan. Program ini merupakan upaya memilah dan menjadikan sampah memiliki nilai ekonomis.
Awal 2019, PD Kebersihan menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan pengolahan sampah PT. Waste For Change Alam Indonesia. Tujuannya, mengoptimalkan peran bank sampah guna mengurangi dari sumbernya.
Baca juga: Setelah Surabaya, Pemerintah akan Kembalikan Sampah di Batam ke Negara Asal
Apakah cara ini efektif?
Mongabay Indonesia mewawancari Direktur Perkumpulan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi [YPBB] David Sutasurya. Dia mengatakan, misi pemerintah menyoal pengelolaan sampah telah mengubah paradigma dari kumpul, angkut, buang menjadi terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Paradigma tersebut perlu diapresiasi. Namun, merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, katanya, diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah serta dukungan peran masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaannya. Sehingga, pengelolaan berjalan proporsional, efektif, dan efisien.
Akan tetapi sejauh ini, David menilai, pemerintah pusat hingga daerah belum semuanya memahami aturan tersebut. Banyak langkah yang dilakukan tak merujuk aturan. Bahkan, dalam menentukan program yang ditarget, minim terukur.
Perihal kebijakan pengelolaan sampah juga diatur Pepres No 18 Tahun 2016 tentang percepatan pembangkit listrik berbasis sampah di 7 kota di Indonesia termasuk Bandung. Pepres percepatan waste to energy [WTE] ini belum juga terealisasi.
Menurut David, problemnya adalah adanya kejomplangan antara tatanan aturan yang seharusnya dihadirkan terlebih dulu dengan program yang dimuculkan. Misalnya, program WTE, idealnya perlu membuat dokumen strategi nasional yang sampai saat ini belum beres. “Padahal bisa dirancang dalam 2-3 tahun, sampai dilakukan eksekusi program,” jelasnya.
Utang demi sampah
Baru-baru ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendapat bantuan dana sebesar USD 100 juta atau sekisar Rp1,4 triliun dari Bank Dunia untuk menyelesaikan persoalan sampah di Sungai Citarum.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dalam siaran pers mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan melalukan presentasi terkait penggunaan dana pinjaman itu kepada pemerintah pusat dan Bank Dunia.
Menurut Ridwan Kamil, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan pemerintah kota/kabupaten yang dilewati Sungai Citarum. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk edukasi, menyiapkan infrastruktur wilayah, lokasi pemilihan sampah, serta menyiapkan teknologi daur ulang sampah menjadi energi.
“[Dana itu] digunakan untuk membenahi manajemen sampah, mengatur zona-zona daur ulang sampah, dan lain-lain,” katanya.
Sebelumnya, Pemprov Jawa Barat mewakili Satgas Citarum sudah mengajukan dana pembenahan sungai sebesar Rp605 miliar kepada pemerintah pusat awal 2019. Dana itu mencakup keperluan operasional satgas berikut biaya pembelian teknologi insinerator di sepanjang Sungai Citarum.
Sebagai catatan, bantuan dana dari Bank Dunia menambah jumlah utang luar negeri Indonesia atas nama Sungai Citarum, yang tidak sedikit. Pertanyaannya, dengan tambahan utang, akankah Sungai Citarum membaik? Demikian pula dengan pengelolaan sampah, apakah perlu dana yang besar?