- Persaingan bisnis nener, bibit bandeng, di Kabupaten Gresik melibatkan hal-hal tidak masuk akal, seperti santet. Ada yang diserbu belasan monyet atau tokonya mendadak tidak terlihat oleh pelanggan
- Harga nener maupun bandeng cenderung naik turun tergantung musim sehingga usaha jual beli nener dan budidaya bandeng pun termasuk labil
- Sebagian besar petani tambak menyewa lahan dari pemilik dengan harga Rp6 juta – Rp10 juta/tahun/hektare. Di luar itu petani tambak juga masih mengeluarkan biaya untuk memperbaiki tambak dan merangsang pertumbuhan bandeng
- Sebagian besar petani tambak mengeluhkan hasil yang tidak seberapa atau bahkan merugi. Salah satunya saat menjelang hari raya, ketika kebutuhan makin banyak, harga bandeng di tambak mereka justru turun.
Kabupaten Gresik, Jawa Timur merupakan salah satu pusat produksi ikan bandeng (Chanos chanos) di Indonesia. Wilayah di kawasan timur laut Jawa ini menghasilkan ikan bandeng sekitar 39.545 ton per tahun. Adapun luas lahan tambak mencapai 32.000 hektare, sekitar 46 persen total luas tambak di Provinsi Jawa Timur.
Secara sosial, ikan bandeng di Gresik juga mendapat tersendiri. Tiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, warga akan menggelar Pasar Bandeng selama tiga hari. Selama Pasar Bandeng tidak hanya ada jual beli, tetapi juga kontes ikan bandeng. Ini menunjukkan bahwa ikan bandeng tak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga sosial.
Namun, sebuah riset oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa budi daya bandeng di Kabupaten Gresik justru tidak memerhatikan aspek keberlanjutan secara ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi.
Liputan berseri ini ingin melihat bagaimana sebenarnya praktik budi daya bandeng oleh nelayan di Gresik. Apakah sudah berkelanjutan atau justru mengalami ancaman?
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari empat tulisan serial tentang praktik perikanan bandeng di Gresik. Tulisan pertama bisa dibaca disini dan tulisan kedua disini.
***
Pasangan Sukarno dan Nurul Qomariyah mengalami betul idiom hidup bergerak seperti jungkat-jungkit. Kadang di atas, kadang di bawah. Naik turun. Usaha anakan ikan bandeng (nener) yang membuat mereka merasakannya.
Sukarno berasal dari Kabupaten Tolitoli, kawasan pesisir barat Sulawesi Tengah. Sejak kecil dia sudah biasa menangkap nener di laut terbuka. Pengalaman sebagai penangkap nener membawanya bertemu dengan istrinya, Nurul dari Gresik, Jatim.
Setelah sempat bekerja tiga tahun di Desa Gondol, Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali, dia mulai membuat pembenihan nener sendiri. Gondol merupakan desa di pesisir utara Bali bagian barat yang terkenal sebagai pusat pembenihan nener.
Pada 2004, lelaki berperawakan gempal ini pindah ke Kota Gresik. Alasannya, banyak pembeli nener di Gondol berasal dari Gresik. Dia pun memulai usahanya dengan membeli nener dari Gondol lalu dijual ke petani tambak di kabupaten yang terkenal sebagai daerah penghasil bandeng ini.
baca : Sejauh Mana Keberlanjutan Perikanan Bandeng di Gresik? [1]
Tiga tahun kemudian Sukarno pindah lagi. Dia mendekati pusat produksinya langsung, tambak-tambak bandeng di Manyar, kecamatan produsen bandeng di kabupaten ini selain Ujungpangkah dan Bungah. Bersama istrinya, mantan pekerja Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kabupaten Gresik, dia membuka usaha jual beli nener di pinggir jalan raya.
“Pelanggan yang minta kami pindah ke sini biar lebih dekat. Pelanggan kami memang sebagian besar dari sekitar sini. Mengare, Manyar, Ujungpangkah,” kata Sukarno.
Toko tempat jual beli nener milik Sukarno berada persis di pinggir jalan provinsi menghubungkan Gresik – Lamongan bagian utara. Nama usahanya menggunakan namanya sendiri, Jual Beli Nener Benur Sukarno. Tiap hari ribuan kendaraan melewati jalan yang membelah Kecamatan Manyar ini.
“Waktu itu tidak ada yang mikir untuk jual bibit (di sini). Kami yang memulai,” Nurul menimpali.
baca juga : Alih Lahan Ancam Keberlanjutan Perikanan Bandeng di Gresik [2]
Tanpa pesaing pada saat itu, usaha mereka berkembang pesat. Pelanggan datang membeli nener ke toko. Namun, pada saat sama, pedagang-pedagang lain pun bermunculan. Sekarang sudah ada tujuh pedagang serupa.
Persaingan ketat. Bahkan, menurut Nurul, kadang penuh muslihat dan hal-hal tak terlihat, santet. Bentuknya bermacam-macam. Salah satu yang mereka ingat adalah mendadak banyak monyet di toko mereka. Padahal, seumur-umur tidak ada monyet di sana. Ada pula kejadian aneh, pembeli tidak bisa melihat tempat mereka. Padahal jelas-jelas mereka sudah lewat bolak-balik di jalan raya di depan toko.
“Dia bilang toko-toko lain kelihatan, tetapi toko kami tidak,” kata Nurul.
Ketatnya persaingan bisnis nener dengan segala muslihat itu membuat usaha mereka jatuh bangun. Pernah empat bulan tidak bisa membayar utang dari bank yang mereka pinjam sebagai modal. Pada 2013-2014 mereka bahkan sempat pailit. Dua tahun terakhir, menurut Nurul, bisnis mereka mulai agak stabil setelah naik turun.
Toh, mereka merasa bahwa bisnis nener tetaplah bisnis yang rentan mengalami guncangan. “Jualan begini tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi pembelinya sekarang cerewet. Minta harga murah, tetapi nenernya harus dianterin,” kata Sukarno pada awal Juni lalu.
menarik dibaca : Ikan Bandeng Tanpa Duri. Bagaimana Rasanya?
Naik Turun
Pengusaha nener seperti Sukarno menjadi bagian penting dalam rantai nilai (value chain) bandeng di Gresik. Mereka turut menentukan keberlanjutan usaha bandeng para petani tambak di kabupaten ini.
Mereka membeli nener dari Gondol dalam bentuk paket. Sekali beli rata-rata 50 rean. Rean adalah satuan bibit bandeng. Tiap 1 rean berisi 5.000 ekor nener. Artinya, Sukarno rata-rata membeli nener sebanyak 250.000 ekor.
Umur nener itu tidak menentu, tetapi maksimal 20 hari. Begitu pula dengan pembelian dan harga. Ketika sedang sepi, tiap rean seharga Rp46.000. Kalau sedang ramai bisa hampir dua kali lipat, Rp80.000. Harga standar berkisar Rp60.000.
Saat kemarau, musim puncak budi daya bandeng, penjualan bisa sangat cepat. Dalam hitungan jam sudah habis. Nener datang pukul 7 pagi, dua jam kemudian sudah tidak bersisa. “Paling enak kalau musim ramai. Duitnya banyak. Kalau cuma beli (sepeda) motor begini, dua hari saja jualan sudah bisa,” ujar Sukarno sambil menunjuk sepeda motor bebek miliknya. Harganya sekitar Rp 15 juta.
Dari toko Sukarno, nener berpindah ke tambak-tambak milik penambak tradisional seperti Gholib dan Rohim. Keduanya pemilik lahan berbeda di kecamatan sama.
Gholib menyebarkan 1,5 rean nener di 3 hektare tambaknya dicampur dengan 20 rean benur udang vaname. Pada musim kemarau, nener itu lebih cepat besar. Alasannya, air lebih asin dibandingkan pada musim hujan. Dalam rentang waktu 2,5 sampai 3 bulan, bandeng pun sudah siap dipanen. Satu ekor bandeng setara kira-kira 200 gram sehingga tiap 1 kg berisi antara 4-5 ekor bandeng.
Pada musim hujan, hasilnya lebih kecil. Tiap 1 kg bisa berisi 6-7 ekor.
perlu dibaca : Membiayai Usaha Perikanan Berkelanjutan
Bapak tiga anak ini mengaku tidak melakukan banyak usaha selama budi daya. Hanya memperbaiki lahan tambak sebelum diairi dan sesekali memberikan pupuk untuk menjernihkan air. “Tidak usah diberi makan lagi. Kan sudah dapat langsung dari tambak,” kata Gholib.
Dari sisi hasil, dia mengaku juga tidak banyak. Malahan sering merugi. “Hasile ora sumbut karo gawene (hasilnya tidak sepadan dengan kerjaannya),” ujarnya dalam bahasa Jawa. Toh, dia tetap merasa bertambak bandeng dan udang adalah pekerjaan yang tetap jadi pilihannya.
Rohim, petani tambak di Desa Betoyoguci, Manyar lebih intensif dalam budi daya. Selain memakai dua pupuk untuk memperbaiki kualitas tambak dan menormalkan air, dia juga menggunakan pakan dan obat perangsang.
Biaya operasional itu masih ditambah sewa lahan sebesar Rp6 juta/tahun untuk tambak seluas 1,2 hektare yang dia kelola sejak dua tahun lalu. Mantan buruh pabrik ini tidak menghitung total biaya bulanan yang dia keluarkan. Namun, selama dua tahun usaha budidaya badeng dia mengaku belum bisa mendapatkan hasil bagus. Padahal, modal usahanya dia berutang dari bank Rp30 juta dengan menggadaikan sertifikat rumah.
“Iso diarani ijek sambat (bisa dikatakan masih sepadan),” ujarnya. Maksudnya, situasinya saat ini masih membuatnya mengeluh.
Tidak bagusnya pendapatan dari bandeng, menurut Rohim, karena harga memang naik turun tidak menentu. Dia mengaku ketika musim panen bisa menjual seharga Rp7.000/ekor. Saat musim bagus bisa jadi Rp17.000.
“Yang susah kalau mau hari raya begini. Kebutuhan banyak, tapi harga malah turun. Marai ngelu,” katanya. Dia mengaku pusing dua hari menjelang Lebaran lalu.
perlu dibaca : Ini Contoh Sukses Perikanan Berkelanjutan dari Nelayan Skala Kecil