- Sedikitnya, 24 kapal nelayan ukuran besar dan kecil di Pangkalan Susu, Langkat, membawa berbagai spanduk bertuliskan penolakan penggunaan energi kotor batubara.
- Dari hulu ke hilir, biaya kesehatan, lingkungan dan sosial dari pertambangan batubara, tak jadi bahan perhitungan, yang akhirnya semua ditanggung rakyat.
- Desakan kepada pemerintah untuk perbaikan tata kelola energi dan ketenagalistrikan yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik. Penegakan hukum terhadap kasus yang menyebabkan kerusakan lingkungan dampak PLTU batubara.
- Nelayan dan petani, menyerukan, pemerintah serius menyetop pembangunan PLTU batubara, dan beralih ke energi terbarukan yang melimpah di negeri ini.
Ratusan nelayan dan petani pesisir pantai timur Sumatera, dan kelompok masyarakat sipil Sumatera Utara, Sabtu (22/6/19) aksi damai menolak pembangkit listrik bahan bakar batubara di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Aksi para nelayan dan petani di Langkat ini tergolong unik. Mereka menggelar aksi di Perairan Teluk Aru, berdekatan dengan PLTU Batubara Pangkalan Susu. Sedikitnya, 24 kapal nelayan ukuran besar dan kecil membawa berbagai spanduk bertuliskan penolakan penggunaan energi kotor batubara.
Sepanduk ukuran 9 x 7,5 meter terbentang di tengah laut menghadap PLTU batubara Pangkalan Susu.
Di spanduk terlihat tulisan penolakan, dan mendesak pemerintah menghentikan penggunaan energi fosil pembunuh dan perusak lingkungan bernama batubara. Serta segera mengganti dengan energi terbarukan yang bersih, ramah lingkungan. Mereka juga mendorong pemerintah transisi energi berkeadilan, dan melepaskan ketergantungan sistem energi serta ketenagalistrikan batubara.
Wak Labu, seniman Langkat, dalam aksi membacakan sepenggal puisi mengenai kengerian batubara kala manusia maupun mahluk hidup terpapar.
Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari, organisasi yang memotori aksi penolakan penggunaan batubara kepada Mongabay, menuntut, pemerintah segera menutup PLTU Pangkalan Susu.
“Kesempatan ini dipandang sebagai aksi global untuk mengembalikan bumi jadi tempat yang layak bagi seluruh mahluk hidup,” kata Mimi, sapaan akrabnya.
Riset Universitas Harvard bersama Greenpeace menyebutkan, PLTU batubara diperkirakan menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahun. Dengan rencana pembangunan PLTU batubara baru, angka kematian ini bisa mencapai 28.300 orang setiap tahun.
Dari hulu ke hilir, biaya kesehatan, lingkungan dan sosial dari pertambangan batubara, tak jadi bahan perhitungan, yang akhirnya semua ditanggung rakyat.
Sepanjang kuartal I 2019, penyaluran batubara ke PLTU, sekitar 23 juta ton. Jumlah itu, setara 23,95 % dari target penyaluran batubara ke PLTU sepanjang tahun ini.
“Indonesia perlu langkah serius menghentikan penggunaan energi batubara, dan beralih ke energi terbarukan,” kata Mimi.
Dia bilang, di Langkat, Sumut, PLTU batubara Pangkalan Susu, berkapasitas 2 x 200 megawatt, menyebabkan penggundulan hutan bakau meluas, erosi tanah, kehilangan sumber air, polusi udara dan menghasilkan jutaan ton limbah.
Dalam aksi ini, ada beberapa poin tuntutan, antara lain, menyerukan pemerintah menutup PLTU batubara Pangkalan Susu, dan meninggalkan energi batubara, dan beralih ke terbarukan.
Indonesia, katanya, memiliki sumber energi terbarukan melimpah. Dalam rencana usaha pemenuhan tenaga listrik (RUPTL) 2016-2025, dipaparkan potensi energi terbarukan Indonesia, antara lain tenaga air mencapai 75.000 MWe, tenaga surya 4,80 kWh per meter persegi per hari, tenaga angin 3-6 meter per detik, dan kelautan 49 GWe, biomassa 49.810 MWe.
Mereka juga mendesak , perbaikan tata kelola energi dan ketenagalistrikan yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik. Penegakan hukum terhadap kasus yang menyebabkan kerusakan lingkungan dampak PLTU batubara.
Muhammad Alinafiah Matondang, Kepala Divisi Sumberdaya Alam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengatakan, kesehatan sampai ekonomi warga terganggu akibat PLTU batubara.
Pemerintah, katanya, harus bertindak cepat mengembalikan hak-hak masyarakat. Jangan sampai, katanya, pemerintah mementingkan pengusaha, investasi dan kepada industri daripada mempertahankan hak-hak masyarakat.
Berdasarkan pemantauan mereka, PLTU batubara ini berefek domino terhadap pelanggaran hak azasi manusia.
Dia jabarkan, misal, sisi kesehatan, masyarakat tak mendapatkan hak untuk hidup layak, kesehatan terganggu, ekonomi juga berdampak bagi masyarakat terdampak energi tak ramah lingkungan ini.
Dampak buruk
Diana, Direktur Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia mengatakan, sehagian masyarakat di dekat PLTU Pangkalan Susu, sebagai nelayan, sebagian lagi petani.
Pengelola PLTU, seharusnya memperhatikan lingkungan sekitar usaha mereka, agar petani dan nelayan bisa bekerja dan tak terganggu operasi pembangkit.
Berdasarkan laporan dari masyarakat, abu batubara diduga menyebabkan petani gagal panen. Hama merusak tanaman petani. Petani pun acap kali gagal panen.
Kamaruddin, Ketua Kelompok Tani Rawai I Pangkalan Susu Langkat, mengatakan, sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi panen mereka anjlok. Bermacam penyakit tanaman, katanya, belakangan muncul.
Penyakit cekek leher, walang sangit, lembing berbentuk kura-kura hitam, katanya, menyerang padi, kelapa, dan tanaman pisang. Obat-obatan mahal sekalipun, katanya, tak mampu membunuh penyakit dan hama d tanaman mereka.
Belum lagi debu-debu batubara yang beterbangan ke pemukiman maupun tanaman warga. Mereka melihat abu menyelimuti Desa Pulau 9 berjarak 700 meter juga Desa Beras Basah, Payah Kampak, Sungai Siur, dan Pintu Air.
Selain itu, asap pembakaran dari cerobong pembangkit, menyebar ke pelosok Langkat. Dia pun mendesak, pemerintah menutup PLTU batubara dan ganti ke energi terbarukan.
Keterangan foto utama: Para nelayan mendatangi PLTU batubara Pangkalan Susu, Langkat, protes berbagai dampak buruk yang mereka alami setalah adat PLTU. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia