- Reklamasi belum usai, masalah kepemilikan pulau untuk privat kini mengemuka di Kepulauan Seribu. Problem tersebut bahkan diketahui sudah berlangsung jauh sebelum reklamasi ada. Dampak dari penguasaan pulau untuk privat, adalah kehidupan nelayan dan warga terganggu
- Bentuk gangguan yang sudah dirasakan oleh warga dan nelayan, adalah semakin terbatasnya akses ruang hidup untuk mereka, terutama sumber daya kelautan dan perikanan yang selama ini menjadi tumpuan untuk mata pencaharian utama
- Walau warga dan nelayan merasakan dampak negatif dari penguasaan pulau untuk privat, namun Pemerintah Indonesia sepertinya tidak merasa demikian. Justru, penguasaan pulau akan menjadi jalan untuk memudahkan pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN)
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memecahkan persoalan tersebut dengan melakukan reorientasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) melalui perencanaan dalam rancangan peraturan daerah rencana zonasi WP3K yang sudah disusun sejak 2014
Polemik reklamasi di Teluk Jakarta yang hingga saat ini tak kunjung usai, ternyata bukan masalah pertama yang muncul di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara administrasi masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sejak lama, di kawasan yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu itu, sudah terjadi polemik berupa penguasaan pulau menjadi milik pribadi.
Penguasaan pulau yang dilakukan oleh kelompok atau perseorangan, terus menjadi pantauan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Dalam catatan mereka, sampai saat ini terdapat 86 pulau-pulau kecil yang kepemilikannya oleh perseorangan atau kelompok. Semua pulau-pulau tersebut, mengancam nelayan dan masyarakat pesisir yang mendiami pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, akhir pekan lalu, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, kepemilikan pulau-pulau kecil oleh kelompok usaha ataupun perseorangan adalah tragedi bagi warga sekitar. Kepemilikan tersebut, walaupun bersifat hanya hak guna usaha (HGU) atau hak guna pakai (HGP), secara perlahan sudah menyengsarakan masyarakat pesisir di sana.
“Kapan nelayan Indonesia bisa sejahtera jika wilayahnya saja tidak mereka kuasai?” ungkap dia.
baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?
Menurut Susan, warga di Kepulaluan Seribu seharusnya bisa mengakses pulau-pulau yang sudah dikuasasi tersebut. Akan tetapi, akses tersebut tak kunjung didapat, meskipun proses pra peradilan sudah memenangkan gugatan warga atas kuasa pengelolaan pulau-pulau di sana. Bahkan, kondisi tersebut juga tak membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka akses.
Dari data yang dihimpun KIARA, Susan menyebutkan bahwa kepemilikan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu berdampak sangat serius bagi keberlangsungan hidup lebih dari 3.375 orang nelayan di wilayah tersebut. Mereka semua, adalah pemilik 1.380 unit kapal ikan yang 1.194 unit di antaranya adalah kapal berukuran 0-5 gros ton (GT). Sementara, sisanya atau 186 kapal adalah yang berukuran 5-10 GT.
“Dengan kata lain, seluruh nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan nelayan tradisional,” tegasnya.
Dampak negatif yang sudah dirasakan nelayan tersebut, kata Susan, seharusnya bisa dihentikan dengan cepat. Mengingat, nelayan adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan. Sumber utama dan satu-satunya itu, kemudian tak bisa diakses lagi, karena para investor kemudian menyerbu pulau-pulau privat untuk dijadikan tempat usaha.
“Investor melakukan proteksi terhadap pulau dan perairan di sekitarnya atas nama keamanan. Padahal, kawasan tersebut adalah wilayah tangkapan nelayan sejak lama,” tuturnya.
baca : Dinilai Tak Bersalah, Tiga Nelayan Pulau Pari Diminta Segera Dibebaskan dari Hukuman
Akses Nelayan
Susan kemudian mencontohkan nelayan yang tinggal di pulau Pari saat ini sudah tidak bisa melintas dan mengakses sumber daya kelautan dan perikanan yang ada di sekitar pulau Tengah. Padahal, sebelum pulau tersebut dimiliki pengusaha Hengky Setiawan, nelayan bebas mengaksesnya hingga sampai ke dalam pulau.
Mengingat sudah menjadi pulau privat dengan melibatkan pengamanan yang ekstra ketat, Susan mengatakan, nelayan dan warga di sekitar pulau-pulau tersebut semakin mendapat tekanan untuk tidak mendekati wilayah pulau tersebut. Jika itu terjadi, maka kriminalisasi akan dialami para nelayan dan warga yang kebetulan sedang melintas di sekitar pulau melalui wilayah perairan di sekitarnya.
“Padahal, namanya nelayan, ada kalanya mereka harus berlindung dari ombak, badai, atau cuaca buruk. Jadi, pulau apa saja akan menjadi tempat berlindung bagi mereka. Jika ternyata itu adalah pulau privat, maka kriminalisasi akan diterima mereka karena sudah mendekati pulau,” papar dia.
Selain kepemilikan pulau menjadi privat, Susan menambahkan, ancaman yang kini dihadapi warga dan nelayan di Kepulauan Seribu, juga dengan penetapan gugusan pulau di kawasan tersebut sebagai kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) oleh Pemerintah Indonesia. Penetapan tersebut, akan membuat pulau-pulau diserbu investor dan melaksanakan pembangunan di dalamnya.
“Kondisi pulau- pulau yang telah diprivatisasi ini dianggap menjadi prakondisi yang baik untuk kelancaran proyek KSPN ini,” sebut dia.
Terus memburuknya akses bagi warga dan nelayan terhadap sumber ekonomi mereka, menurut Susan, berdampak pada kesejahteraan mereka di kemudian hari. Akibatnya, Kabupaten Kepulauan Seribu tercatat sebagai wilayah termiskin di kawasan Jabodetabek berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017. Fakta tersebut, diperkuat dengan menyebutkan ada 3.000 orang yang hidup dalam kondisi miskin di sana.
baca juga : Pulau Pramuka, Bukan Objek Wisata Menyelam Semata
Agar persoalan di atas tidak terus berlarut, Susan mengatakan, Pemprov DKI Jakarta wajib reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Reorientasi tersebut bisa dilakukan melalui rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang rancangan peraturan daerahnya tengah disusun oleh DPRD DKI Jakarta sejak 2014.
“Itu menjadi mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Inilah yang harus menjadi jangkar utama perumusan RZWP3K,” tegas dia.
Tetapi, di mata Susan, reorientasi yang seharusnya dilakukan Pemprov DKI, yang terjadi justru sebaliknya. Raperda RZWP3K yang tengah disusun sekarang ini, ditengarai menjadi agenda terselubung untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu.
Pulau Privat
Dengan kata lain, kata Susan, pengaturan ruang laut melalui RZWP3K justru akan mengesahkan kepemilikan pulau privat yang selama ini justru merugikan kehidupan nelayan. Di dalam raperda RZWP3K, kawasan untuk permukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang sema sekali. Selain itu, kawasan perikanan tangkap, hanya dialokasikan di beberapa titik, yaitu perairan kepulauan Seribu Utara, perairan kepulauan Seribu Barat, sebelah barat pulau Pari, dan pulau Putri bagian Timur.
“Adapun kawasan lainnya diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata, konservasi, dan zona lainnya,” sebutnya.
menarik dibaca : Pulau Pari, Gairah Wisata Baru di Kepulauan Seribu
Meski terkesan tidak teratur, Susan menegaskan, saat ini Indonesia sudah memiliki perangkat hukum sangat spesifik untuk mengatur persoalan di atas. Peraturan itu, adalah Undang-Undang No.27/2007 dan revisinya UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kemudian, putusan MK No.3/2010, dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Menurut Susan, jika menggunakan tiga perangkat hukum di atas, maka rancangan naskah RZWP3K yang dilakukan DKI Jakarta sejak 2014 sudah pasti tidak sesuai atau bertentangan. Untuk itu, langkah yang harus dilakukan oleh Pemprov DKI adalah segera melakukan evaluasi total dan melakukan pembahasan naskah akademik dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menyatakan bahwa pembangunan yang ada di Kabupaten Kepulauan Seribu sekarang, memang semakin tidak terarah. Pembangunan yang ada sekarang, seperti diperuntukkan bagi para pengusaha, baik kelompok maupun perseorangan saja.
“Padahal, di sana ada ekosistem padang lamun, pesisir, dan juga ekosistem terumbu karang. Semuanya harus dijaga, karena itu akan memengaruhi kondisi alam dan ekosistem secara keseluruhan di Kepulauan Seribu,” ucapnya.
Salah satu warga pulau Pari, Sulaiman, menyatakan bahwa dia dan teman-teman sesama nelayan saat ini memang sudah semakin sulit untuk mengakses sumber daya laut yang ada di sekitar pulau-pulau privat. Salah satunya, adalah pulau Tengah yang dulu merupakan pulau tak berpenghuni dan menjadi pusat wilayah tangkapan bagi nelayan dari pulau Pari.
“Sekarang, kalau melintas di perairan sekitar pulau Tengah saja, kita sudah dikejar-kejar petugas keamanan di sana. Kita seperti orang asing di tanah orang,” tutur dia.
Sulaiman berharap, penguasaan pulau yang sudah berlangsung sejak lama di sekitar tempat tinggalnya, bisa segera diakhiri dan dikembalikan seperti semula. Harapan tersebut, diakuinya juga menjadi harapan warga dan nelayan yang ada di pulau Pari, dan secara umum di Kepulauan Seribu. Dengan demikian, akses untuk menangkap ikan bisa lebih bebas lagi.