- Pasar perdagangan hiu di Indonesia tidak pernah sepi dari permintaan. Hal itu membuat perburuan hiu tetap ada, disamping lemahnya perlindungan terhadap satwa laut ini.
- Produksi hiu di Indonesia kian meningkat sejak 1975 hingga 2011 dan puncak over-fishing terjadi di tahun 2000. Tahun 1987, produksi hiu sebesar 36.884 ton. Pada tahun 2000, meningkat sebesar 68.366 ton. Aktivitas itu kemudian berimbas pada penurunan populasi hiu.
- Populasi hiu di perairan Pulau Ambo semakin menurun, terbukti dengan tangkapan hiu yang makin berukuran kecil oleh nelayan.
- Untuk mencegah kepunahan, pemerintah semestinya menyusun langkah bijak untuk konservasi dan pengendalian, misalnya dengan menerapkan kuota tangkap dan atau pelarangan penangkapan.
- Tulisan ini merupakan tulisan ketiga dari empat tulisan tentang perdagangan hiu. Tulisan pertama bisa dibaca disini dan tulisan kedua disini
“Yang tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” sahut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam video ‘Says No To Illegal Wildlife Trade’.
“Namun, kalau yang dimakan ikan hiu dan pari manta, pasti juga saya tenggelamkan!” begitulah seruan seorang Susi, yang dulunya gemar menyantap sup hisit.
Pasar hiu tidak pernah sepi dari permintaan. Itu lah mengapa pemburuan hiu terus berlanjut ditengah lemahnya perlindungan terhadap hiu.
“Memang pasarnya ada, konsumennya ada, sehingga masyarakat mencari karena harganya ada. Kan tidak bisa juga dilarang, sementara nelayan butuh juga uang,” kata Pakar Sumber Daya Hayati (SDH) Laut Universitas Hasanuddin (Unhas), Ahmad Bahar.
Pasar itu makin menua, tak terhitung lagi berapa hiu mati terbantai demi peningkat libido. Meski begitu, Ahmad merasa dilematis bila perdagangan ini ditutup, sebab nasib nelayan kecil jadi taruhan.
Karenanya, Ahmad bilang, demi perikanan berkelanjutan, pemerintah sebagai pengendali kebijakan mestinya menyusun langkah bijak, disamping mengupayakan konservasi.
“Misalnya kuota tangkap, jadi untuk daerah-daerah tertentu boleh lah kalau misalkan (potensinya) banyak. Jadi keseimbangan secara ekosistem harus dijaga, dan keseimbangan ekonomi juga harus dijaga,” menurutnya.
baca : Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)
Produksi hiu di Indonesia kian pesat sejak tahun 1975. Peneliti LIPI, Farmadi dan Dharmadi pernah mengatakan hal itu.
Mereka bilang, tangkapan hiu sejak kala itu hingga 2011 terus menunjukkan tren kenaikan secara fluktuatif dan puncak over-fishing terjadi di tahun 2000.
Tahun 1987, produksi perikanan hiu di Indonesia sebesar 36.884 ton, kemudian pada tahun 2000, meningkat nyaris dua kali lipat, sebesar 68.366 ton. Aktivitas itu kemudian berimbas pada penurunan populasi hiu.
“Salah satu faktor yang mengindikasikan terjadinya penurunan populasi hiu dapat diketahui dari hasil tangkapan per upaya (CPUE) yang dapat menggambarkan kondisi eksploitasi sumberdaya perikanan yang sesungguhnya,” demikian yang disebut keduanya dalam “Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia” (2013).
Dalam daftar merah IUCN, 27 jenis hiu dinyatakan beresiko terancam punah, 26 jenis lainnya rawan punah, sembilan jenis dianggap langka, dan satu jenis dinyatakan terancam punah.
baca juga : Rantai Dagang Hiu: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup (2)
Tahun 2018, Organisasi Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) mencatat, Indonesia memproduksi lebih 110.000 ton beberapa tahun belakangan.
Di benua Asia, Indonesia tidak sendiri sebagai pemasok produk olahan hiu. Ada 17 negara dan 2 daerah bagian negara Cina, seperti Hongkong SAR dan Provinsi Taiwan juga.
Tak hanya itu, selama 1 dekade (2000-2010) Jaringan Pemantau Perdagangan Margasatwa Liar (TRAFFIC) menyebut, Indonesia menjadi salah satu ladang genosida hiu terbesar di dunia. Sedang sebagai pengimpor produk hiu, Taiwan dicatat FAO berada di urutan puncak.
Di Wilayah Indonesia Timur, produk hiu sebanyak 189.102 kg dilalulintaskan dari tahun 2015 hingga 2018. BPSPL Makassar merinci; 72.047 kg sirip hiu, produk olahan (minyak) 37,365 kg, daging beku 79,690 kg, dan 1.041 ekor hiu dan pari hidup dari berbagai jenis non-apendiks.
“Dari tahun 2015-2018, BPSPL Makassar sudah mengeluarkan sebanyak 375 surat rekomendasi hiu dan pari untuk dilalulintaskan oleh 49 perusahaan maupun perseorangan,” kata Kepala BPSPL Makassar Andry Indryasworo.
“Untuk Sulawesi Selatan ada 20 perusahaan maupun perseorangan yang sudah teregistrasi dalam losarihapi.id (situs e-rekomendasi milik BPSPL Makassar),” tambah dia.
perlu baca : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?
Belakangan di Pulau Ambo, para nelayan menurut Hamdana mulai kerap mendapati hiu ukuran kecil. Bila hidup, nelayan akan melepasnya, tetapi tidak jika sudah mati.
“Kalau mereka dapat langsung (di-)lepas,” kata Hamdana.
Apa yang diungkapkan Hamdana, bukan semata fenomena di mata Ahmad. Dia bilang, itu pertanda bila kondisi populasi hiu di perairan tersebut sudah menipis.
“Saya sudah tandai kalau sudah mengalami over-fishing. Tandanya itu, kita kalau menangkapnya sudah yang kecil-kecil, bukan lagi ukuran besar. Jadi tanda-tanda mengarah ke itu, sudah ada. Sudah sangat mengkhawatirkan,” ujar Ahmad.
Karena itu, Ahmad menilai, pemburuan hiu mesti dikendalikan dengan cermat, seperti pembatasan ukuran hiu yang ditangkap.
“Ah! ukuran tangkap, jangan yang kecil-kecil. Itu tidak bisa ditangkap. Kalau sampai yang kecil-kecil diambil, disamping merugikan ekosistem dan tidak recovery, maka tidak ada harapan kedepan,” katanya.
menarik dibaca : Diantara Pasar dan Jaminan Kebijakan: Mencermati Ancaman Eksistensi Hiu dan Pari di Indonesia
Namun, Ahmad merasa, upaya konservasi tanpa data valid soal populasi hiu akan berjalan pincang. Validasi data ini diperlukan untuk melihat seberapa jauh penangkapan terhadap hiu dan pengaruhnya terhadap populasi.
“Cuma data kita tidak ada. Data ekologi kita belum lengkap,” kata Ahmad.
“Jadi kembali ke assessment dengan pendekatan secara aspek biologis, kehidupannya bagaimana, telurnya bagaimana, survival rate-nya berapa, kalau itu ketahuan semuanya. Maka ketemu semua berapa kuotanya yang ada di sini,” tambahnya.
Di sela pemburuan besar terhadap hiu, saat ini KKP hanya melindungi satu spesies hiu secara penuh, yakni Hiu Paus (Rhincodon Typus) lewat Keputusan Menteri KKP RI No.18/Kepmen-Kp/2013.
Selain hiu paus, lewat surat Edaran Direktur KKHL No.2078/PRL.5/X/2017 pemerintah juga berupaya melindungi hiu koboi, martil dan tikus. Di surat itu menitahkan pelarangan ekspor, dan tak boleh lagi ditangkap.
Kalau pun tiga spesies tadi tertangkap, nelayan diminta untuk melepasnya dan dilaporkan jika ditemukan mati, sesuai Permen KP No.30/2012 jo Permen KP No.26/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI.
Sementara itu, hiu lanjaman hingga sekarang belum dilindungi secara nasional. Beberapa waktu lalu, LIPI menyodorkan dokumen Non-Detrimental Findings (NDF) sebagai acuan mitigasi pengelolaan terhadap hiu lanjaman.
“Perlindungan khusus tentunya kami follow data dari Scientific Authority, yaitu LIPI,” kata Direktur Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Brahmantya Satyamurti Poerwadi.
baca : Menjaga Hiu Lanjaman dari Ancaman Kepunahan
Dalam dokumen itu, tingkat kematian hiu lanjaman akibat penangkapan masuk dalam kategori tinggi. Sementara nilai jualnya yang mahal di pasaran mendulang ancaman dari sisi perdagangan.
Sebagai rekomendasi. Data perikanan melalui pendataan hasil tangkapan hingga ke tingkat spesies juga masuk dalam dokumen NDF.
Koordinator Kebijakan Kelautan Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS) Ita Sualia, juga senada dengan Ahmad soal pentingnya validasi data demi perlindungan hiu.
Dia bilang, data itu berguna untuk menentukan spesies mana saja yang sebenarnya terancam punah, ukuran ikan yang didaratkan, dan menentukan alat tangkap nelayan.
“Penting banget. Sehingga dari data-data ini dapat diketahui trend produksi dari tahun ke tahun untuk menduga populasi (hiu) di laut,” terang Ita.
Ita menilai, lewat data itu pula pemerintah dapat menentukan lokasi potensial untuk penangkapan dan memudahkan monitoring kuota tangkap.
Sementara terkait tangkapan Linus yang mulai didominasi ukuran kecil, dapat ditaktisi dengan setim ulang pada alat tangkap.
“Ukuran hiu yang tertangkap apakah semakin mengecil sehingga perlu pengaturan alat tangkap, misalnya ukuran mata pancing long line, dan pada kedalaman berapa, ikan dewasa cenderung pada kolom air yang lebih dalam,” ujar dia.
Selain itu, dalam NDF, selektivitas alat tangkap mesti diatur, untuk mengurangi penangkapan secara bycath. Meski demikian, setim ulang alat tangkap menurut Ahmad bakal sulit, “harus diuji dulu, distudi dulu,” katanya.
“Mungkin kalau kedalamannya bisa. Tapi saya belum bisa pastikan, harus diuji coba dan saya pikir itu sangat berpengaruh dengan kedalaman perairan,” sela dia.
Ketimbang itu, Ahmad lebih memilih menutup aktivitas penangkapan sebentar waktu, sambil membiarkan penyembuhan populasi di daerah tertentu.
“Untuk recovery. Itu boleh ditangkap tapi yang ukuran besar. Tapi itu (modifikasi alat tangkap) bisa dilakukan kalau yang menangkap adalah nelayan by target, tapi kalau nelayan umum kan tidak bisa,” katanya.
Brahmantya mengaku, pengendalian pemanfaatan ikan apendiks CITES, hanya tinggal menunggu mandat dari Mahkamah Agung (MA) lewat Permen KP No.26/2018.
Lewat Permen itu, pengaturan kuota tangkap akan dilakukan. Kuota tangkap yang direkomendasikan LIPI khusus hiu lanjaman adalah 80.000 ekor, sedang, hiu martil jenis Lewini 1.875 ekor dan Mokarran 195 ekor.
“Tentunya kami juga akan berhati-hati dalam mengelola kuota tersebut. Mohon dukungan semua pihak,” kata dia.
Nantinya, ia berharap, pelaporan realisasi kuota dan data penangkapan dapat membaik, dengan menempatkan enumerator di sejumlah lokasi pendaratan hiu.
“Kuota tanpa monitoring yang baik tidak akan menjamin sumber daya yang lestari Mas,” kata dia.
Namun, sejauh ini WCS kata Ita, menemukan kendala sehubungan dengan monitoring perdagangan dan realisasi kuota hiu, seperti nihilnya dokumen asal-usul (traceabilty product).
“Padahal dokumen traceabilty ini dapat membantu untuk mengontrol realisasi kuota. Misalnya Provinsi Maluku sudah berapa ekor yang ditangkap dari alam,” kata dia.
Meski demikian, Ita menganggap, upaya perlindungan pemerintah saat ini sudah progresif, terutama terhadap hiu Apendiks.
“(Termasuk) KKP sedang mengembangkan petunjuk teknis traceabilty,” ujarnya.
Nantinya, Brahmantya berharap, bila kuota tangkap hiu lanjaman sudah berlaku, komitmen semua pihak dalam rantai dagang diperlukan untuk mentaati kuota. “Kita harus pastikan hiu di laut tetap lestari. Karena itu karunia Tuhan untuk bangsa ini,” ujarnya.
“(Ke depan) tata kelolanya Insyaallah kita perbaiki,” harap dia.
Berdasarkan hasil prosiding hiu dan pari kedua tahun 2018, penegakan hukum terhadap isu ini dinilai belum optimal.
Makanya, di tahun 2019, Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berkomitmen akan melakukan pengawasan ketat demi kelestarian hiu maupun pari di perairan Indonesia.
Plt Dirjen PSDKP, Agus Suherman bilang, selain pengawasan, pihaknya akan melakukan pencegahan pemanfaatan ilegal dengan mensosialisasikan aturan main ke masyarakat nelayan.
“Upaya pencegahan dan pembinaan kepada nelayan atau masyakarat kecil akan dikedepankan, agar pemanfaatan ilegal yang dapat berdampak negatif terhadap kelestarian hiu dan pari dapat dihindari,” katanya.
Namun disisi lain, aparat penegak hukum kerap kali berulah. Misal yang dialami Linus. Satu waktu ia pernah diancam oknum polisi Polres Majene, karena menganggap penangkapan hiu adalah ilegal. Padahal, Linus mengaku tahu yang mana hiu dilindungi, dan tidak boleh ditangkap.
Soal itu, Agus mengaku, pihaknya akan terus meningkatkan pengetahuan hiu manakah yang dilindungi atau tidak terhadap unit penegak hukum lainnya, di samping, penguatan koordinasi lapangan.
Sejauh ini, kampanye gakkum pemanfaatan hiu, ia nilai telah membaik, baik secara teknis identifikasi hiu yang dilindungi, hingga penggunan teknologi mutakhir yang mendeteksi jaringan pelaku pemanfaatan illegal.
“Upaya lain melalui kampanye melalui media sosial dan sosialiasi melalui forum aparat penegak hukum juga akan terus dilaksanakan,” katanya.
Berdasarkan UU Perikanan, ancaman bagi pelanggar pemanfaatan jenis ikan dilindungi adalah denda Rp250 juta, atau kepada pelaku yang memasukan, mengeluarkan, mendistribusikannya diancam pidana kurungan maksimal 6 tahun dan denda Rp1,5 miliar.
***
*Agus Mawan, jurnalis Sulselekspres.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia