- Indonesia jadi sasaran ‘tempat’ sampah dari negara-negara maju. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pun mendesak, pemerintah menghentikan sementara pemberian izin impor bahan baku daur ulang kertas dan plastik sambil menunggu revisi peraturan selesai.
- Banyak ditemukan bahan baku daur ulang masuk ke Indonesia, tidak sesuai perizinan impor, seperti tercampur sampah rumah tangga, bahkan sampai limbah beracun dan berbahaya.
- Pemerintah, harus serius menangani limbah plastik impor baik pengawasan maupun penegakan hukum terhadap pihak yang mendapatkan persetujuan impor.
- Dalam UU Nomor 18/2008, disebutkan, Pasal 39 ayat 1 dan 2, terkait sanksi bagi pelanggaran ketentuan larangan memasukkan sampah ke Indonesia. Sanksi itu, pertama, jika melibatkan sampah rumah tangga dan atau sampah sejenis rumah tangga, kena pidana penjara 3-9 tahun, denda Rp100 juta-Rp3 miliar. Kalau melibatkan sampah spesifik, ancaman penjara lebih berat, yaitu, pidana 4-12 tahun, denda Rp200 juta-Rp5 miliar.
Sampah-sampah impor banyak membanjiri negeri ini. Belasan kontainer sampah impor antara lain di Batam dan Surabaya, harus jadi pelajaran penting bagi Pemerintah Indonesia. Impor sampah untuk bahan baku daur ulang kertas yang dengan plastik perlu jadi kajian pemerintah. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pun mendesak, pemerintah menghentikan sementara pemberian izin impor bahan baku daur ulang kertas dan plastik sambil menunggu revisi peraturan selesai.
”Rekomendasi kita lebih baik moratorium dahulu untuk impor-impor bermasalah ini sambil menunggu revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016,” kata Margaretha Quina, Kepala Divisi Pencemaran Lingkungan Lembaga Kajian Hukum Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta.
Baca juga : Kenapa Rencana Impor Sampah Plastik Harus Dilarang?
Dia bilang, masih banyak celah dalam aturan yang memungkinkan peluang usaha bagi para eksportir mengimpor sampah ke Indonesia. Banyak ditemukan bahan baku daur ulang masuk ke Indonesia, tidak sesuai perizinan impor, seperti tercampur sampah rumah tangga, bahkan sampai limbah beracun dan berbahaya.
Quina mengatakan, pemerintah perlu mempertegas definisi limbah dan sampah yang bisa diperdagangkan lebih jelas dan rinci. Selain itu, juga membuat kategorisasi limbah dan sampah berdasarkan amanat Konvensi Basel, yang disetujui para anggota pada awal April 2019.
”(Aturan Permendag) ini masih jadi ruang abu-abu, ruang diskresi karena belum ada penjabaran tegas dan detail,” katanya.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan– Ditjen Bea dan Cukai, sedang merumuskan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3.
Baca juga: Setelah Surabaya, Pemerintah akan Kembalikan Sampah di Batam ke Negara Asal
Pada bagian lampiran terdapat penjelasan kode perdagangan (HS Code) “lain-lain” dan “mix/campuran.” HS Code sangat memiliki banyak penerjemahan. Harapannya, melalui revisi ini dilakukan dengan mendetailkan HS Code agar pendefinisian tidak membingungkan.
Selain itu, kompleksitas peraturan yang menangani impor plastik itu juga ada di beberapa regulasi, seperti UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selama ini, katanya, pengaturan impor sampah melalui persetujuan impor, disesuaikan kebutuhan dan dilarang memindahtangankan. ”Jika terbukti ada pemalsuan data di aplikasi (pesetujuan impor), seharusnya perusahaan tidak qualified mendapatkan PI (persetujuan impor-red) kembali.”
Pemerintah, katanya, harus serius menangani limbah plastik impor termasuk penegakan hukum. ”Pemerintah harus ketat pengawasan dan penegakan hukum importir terhadap PI dan turut membongkar modus ini,” kata Quina.
Dalam UU Nomor 18/2008, disebutkan, Pasal 39 ayat 1 dan 2, terkait sanksi bagi pelanggaran ketentuan larangan memasukkan sampah ke Indonesia. Sanksi itu, pertama, jika melibatkan sampah rumah tangga dan atau sampah sejenis rumah tangga, kena pidana penjara 3-9 tahun, denda Rp100 juta-Rp3 miliar. Kalau melibatkan sampah spesifik, ancaman penjara lebih berat, yaitu, pidana 4-12 tahun, denda Rp200 juta-Rp5 miliar.
Negara eksportir harus tanggung jawab
Prigi Arisandi, Direktur Ecoton menyebutkan, impor sampah ke Indonesia, tak seluruhnya mampu diolah. Jadi, sampah yang tersisa biasa dibakar atau ditumpuk begitu saja dan menimbulkan pencemaran maupun kerusakan lingkungan.
”Yang kami pantau, perusahaan-perusahaan hampir semua menyalahgunakan izin impor dan mencemari lingkungan dengan memindahkan masalah ke orang biasa,” katanya.
Industri daur ulang kertas yang jadi importir pun menyalurkan sampah-sampah campuran, paling banyak berupa plastik kepada masyarakat sekitar. Sampah plastik yang tak bisa terolah di pabrik kertas, biasa dijual kepada masyarakat Rp1,2 juta per ton. Warga memilah dan menjual kembali untuk daur ulang, dengan keuntungan bisa sangat tinggi. Antusiasime warga pun meningkat.
Berdasarkan data himpunan Ecoton, 3.000 item sampah dari 11 pabrik kertas di Jawa Timur, yang rutin impor sampah, paling banyak dari Amerika Serikat. Kemudian Canada dan United Kingdom. Adapun 11 perusahaan itu, antara lain, PT Pakerin (Mojokerto), PT Suparma Tbk (Surabaya), PT Eratama Megasurya (Mojokerto), PT Mekabox Internasional (Mojokerto), dan PT Adiprima Suraprinta (Gresik). Lalu, PT Mount Dream Indonesia (Gresik), PT Surabaya Mekabox (Gresik), PT Tjiwi Kimia Tbk (Sidoarjo), PT Jaya Kertas (Nganjuk), PT Ekamas Fortuna (Malang), PT Surya Pamenang (Kediri).
Meski demikian, persoalan lingkungan jadi hal mengkhawatirkan bagi Prigi. Sampah-sampah impor itu, katanya, mengandung mikro plastik yang mampu mencemari lingkungan. Bahkan, Ecoton sudah menemukan di Sidoarjo, ada mikro plastik di dalam udang yang biasa jadi konsumsi masyarakat.
”Para pelaku industri bilang, mereka sudah pernah complain namun susah dan campuran sampah-sampah itu merugikan mereka karena itu bukan kebutuhan dan menambah biaya pembersihan.”
Dia berharap, negara eksportir perlu bertanggung jawab atas permasalahan sampah impor di Indonesia.
Yuyun Ismawati, dari Bali Fokus menyebutkan, pada 1988-2016, Tiongkok, menyerap sekitar 45,1% sampah plastik dunia. Setelah Tiongkok melarang impor sampah plastik pada 2018. Sejak itu, Indonesia jadi destinasi kedua.
“Sampah dari Amerika, kita nomor dua setelah India. Dari UK, Indonesia nomor dua setelah Malaysia, dan kedua terbesar impor sampah dari Australia setelah Vietnam.”
Tahun 2018, ada 410.000 ton sampah plastik masuk Indonesia, meski Indonesia, hanya menyatakan menerima sampah plastik 324.000 ton. ”Jumlah sampah plastik diimpor ke Indonesia meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Ini dampak dari Tiongkok, Malaysia, Filipina, Vietnam tak menerima impor sampah plastik,” katanya.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menyayangkan, belasan kontainer lolos dengan membawa limbah rumah tangga dari negara maju. Padahal, Indonesia masih berupaya memperbaiki pengelolaan sampah dalam negeri.
Dia bilang, sampah impor memiliki nilai ekonomi lebih tinggi karena relatif sudah bersih dan melalui proses pemilahan.
”Pemerintah harus mencabut izin impor pelaku usaha yang terbukti melakukan kegiatan ilegal dan pencemaran lingkungan,” kata Yaya, panggilan akrabnya.
Dia mendesak, aparat penegakan hukum menyelidiki surveyor yang bertugas mengecek barang di pelabuhan. Mereka, katanya, yang merekomendasikan sampah ekspor dari negara asal dan masuk ke negara impor.
Biaya yangitimbul pun besar dalam upaya mendaur ulang sampah. Prigi mencontohkan, pengolahan sampah di Amerika Serikat, mencapai US$90 per satu bongkah besar sampah plastik. Di Indonesia, harga hanya US$30 per bongkah besar sampah plastik.
”Ini negara maju kalau recycle plastik pasti mahal dan membuat pencemaran. Mereka enggak mau. Biaya pengolahan mahal, jadi lebih murah dikirim ke negara lain, Indonesia salah satunya,” kata Yaya.
Pemerintah juga harus segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor, hingga dapat bernilai ekonomis. “Pemerintah pusat maupun daerah harus segera mengeluarkan aturan menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai untuk mengurangi produksi sampah plastik.”
Prigi menambahkan, beberapa negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan limbah plastik global dengan pembatasan impor. Pada Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahan dan menargetkan pelarangan impor pada 2021. Negara lain seperti Thailand, juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik. Selain itu, Vietnam sudah tak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sisa, reja, skrap plastik, kertas serta logam.
Indonesia, katanya, mengimpor sekitar 124.000 ton limbah plastik pada 2013. Pada 2018, naik jadi 283.000 ton. Volume transaksi ini merupakan titik tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UN Comtrade. Data BPS menunjukkan, peningkatan impor 141%, namun angka ekspor turun 48% atau sekitar 98.500 ton.
Keterangan foto utama: Sampah kertas dan plastik impor menumpuk di depan rumah warga. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia