- Seekor harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] jantan diamputasi kakinya oleh Tim Medis BKSDA Bengkulu – Lampung akibat jerat kawat seling yang dipasang pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat.
- Operasi pemotongan empat jari dan telapak kaki kanan depan itu berlangsung 4 jam 15 menit, di Lembaga Konservasi Lembah Hijau, Lampung, pada Jumat, 5 Juli 2019.
- Ancaman terhadap eksistensi harimau sumatera sebagai satwa langka dan endemik di Pulau Sumatera cukup tinggi. Penyempitan habitat dan perburuan merupakan faktor utama penyebabnya.
- Program pemantauan harimau sumatera di kawasan konservasi, Sumatran Wide Tiger Survey periode 2018-2019 telah dilakukan di seluruh kantong populasi harimau di dalam kawasan konservasi maupun di luar. Tujuannya, mendata persebaran harimau sumatera beserta satwa mangsanya.
Seekor harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] jantan diamputasi kakinya oleh Tim Medis BKSDA Bengkulu – Lampung, yang tergabung dalam Tim Reaksi Cepat dari Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [BBTNBBS] dan Tim Wildlife Rescue Unit (WRU), Jumat [05/7/2019].
Dari informasi yang dikumpulkan Mongabay, kaki kanan depan harimau itu membusuk, sedangkan bagian perutnya terluka. Kedua luka itu akibat jerat kawat seling di kawasan hutan TNBBS, tepatnya di Kabupaten Lampung Barat.
“Operasi pemotongan empat jari dan telapak kaki berlangsung 4 jam 15 menit, dari sore sampai malam,” berdasarkan keterangan tertulis BKSDA Bengkulu – Lampung, melalui akun Instagram, Sabtu [06/7/2019].
Satwa dilindungi ini ditemukan oleh Tim Survei Kamera Jebak Harimau Sumatera TNBBS dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program [WCS- IP] saat patroli pada Selasa, 2 Juli 2019, tepat pukul 12.37 WIB.
Dari kesaksian tim survei yang diketuai Taufik Hidayat, ketika ditemukan, harimau itu masih agresif. Bahkan, suara raungannya terdengar jelas.
Baca: Riset Evaluasi Efektivitas Konservasi Harimau Sumatera Libatkan Berbagai Pihak
Setelah mengetahui lokasinya, tim memilih menjauh dari lokasi, segera melaporkan kejadian ke pihak Balai Besar TNBBS. Alasannya, apabila tim mendekat akan membuat harimau panik, lukanya akan semakin dalam.
Proses evakuasi dilakukan pada Rabu, 3 Juli 2019. Tepat pukul 13.26 WIB, Tim WRU tiba di lokasi penjeratan harimau, lalu tim ini mempersiapkan peralatan bius dan kandang angkut. Proses penyelamatan pertama yang dilakukan adalah pembiusan dan tindakan medis untuk mengobati luka. Lalu dibawa ke Lembaga Konservasi Lembah Hijau, Lampung, untuk perawatan intensif.
Dua hari setelah itu, operasi amputasi dilakukan oleh dua dokter hewan, yakni Erni Suyanti dan Sugeng Dwi Hastono. Alasan amputasi adalah menghindari menjalarnya infeksi.
Baca: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi
Ancaman tinggi
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Agus Wahyudiyono, menyatakan bahwa ancaman terhadap eksistensi harimau sumatera sebagai satwa langka dan endemik di Pulau Sumatera cukup tinggi. “Kami telah menerapkan sistem patroli perlindungan kawasan sejak 2014, bersama para mitra NGO dari WCS-IP, YABI dan WWF serta Sumatran Tiger Project GEF-UNDP,” terangnya.
“Kejadian ini menandakan, ancaman terhadap kehidupan harimau sangat serius. Untuk itu, kami akan memperkuat sistem patroli perlindungan lebih intensif, menelusuri pemburu dan jaringan mana yang terlibat untuk segera ditindak” tegas dia.
Baca: Sekali Jerat, Ibu dan Dua Bayi Harimau Sumatera Tewas, Ini Foto-fotonya…
Di lain tempat, Kepala Balai BKSDA Bengkulu – Lampung, Donal Hutasoit, mengemukakan bahwa BKSDA telah mempunyai tim Wildlife Rescue Unit [WRU] yang terdiri dari Polisi Hutan [Polhut] dan dokter hewan yang bertugas menyelamatkan dan menangani konflik satwa liar. “Respon terhadap harimau yang terjerat harus dilakukan cepat, agar satwa tersebut dapat diselamatkan,” terangnya.
Selanjutnya, kata Donal, kucing besar ini dititipkan sementara di Lembaga Konservasi Lembah Hijau sampai kondisinya membaik dan siap dilepasliarkan kembali. Dia juga mengatakan, harimau sumatera merupakan satwa langka yang dilindungi undang undang di Indonesia. Statusnya Critically Endangered atau Kritis.
Harimau sumatera merupakan satu subspesies tersisa yang masih dimiliki Indonesia. Dua kerabat lainnya, harimau bali dan harimau jawa telah punah pada tahun 1940-an dan 1980-an.
Baca juga: Minim, Lembaga Konservasi yang Terakreditasi Baik
Mengapa konflik terus terjadi?
Landscape Manager WCS-IP Bukit Barisan, Firdaus mengatakan, penyebab utama konflik satwa liar seperti harimau dengan manusia karena penyempitan habitat yang terus terjadi hingga saat ini.
Dia mengatakan, hutan yang dialihfungsikan menjadi hak guna usaha [HGU] perkebunan, atau diberikan izin usaha pertambangan [IUP], perkebunan masyarakat, hingga terjadinya ancaman pengundulan hutan oleh pembalak liar, menyebabkan habitat harimau terganggu.
Tak hanya itu, perburuan yang dilakukan manusia menjadi ancaman kehidupan harimau. “Bila makanan harimau di hutan banyak diburu manusia, dia mau makan apa?” paparnya.
Ketika makanannya minim, lanjut Firdaus, harimau akan mencari mangsa berupa binatang ternak masyarakat di sekitar kawasan hutan dekat habitatnya. “Inilah yang menjebabkan konflik terjadi, akhirnya harimau diburu,” jelasnya.
Contry Director WCS-IP, Noviar Andayani mengatakan, untuk mencegah perburuan dan konflik, survei dan patroli rutin harus dijalankan. Upaya perlindungan dan pengawetan di kawasan konservasi bisa dilakukan melalui pemuktahiran data populasi harimau beserta satwa mangsanya, berdasarkan monitoring berkala.
Data patroli SMART BBTNBBS dan WCS menunjukkan, angka perburuan ilegal memang jadi ancaman serius di TNBBS. Dari priode 2003-2018, ada 320 temuan. Perburuan itu menggunakan jala kabut [25 temuan], jerat burung [37 temuan], jerat nilon [82 temuan], jerat rotan [18 temuan], jerat seling [69 temuan], jerat seling kecil [20 temuan] dan menggunakan stick [69 temuan].
Direktorat KKH KSDAE telah memiliki program pemantauan harimau sumatera di kawasan konservasi, periode 2018-2019. Kegiatan ini bekerja sama dengan Sumatran Wide Tiger Survey di seluruh kantong populasi harimau di dalam kawasan konservasi maupun di luar.
Rinciannya, tim survei sebanyak 74 tim [354 anggota] dari 30 lembaga diturunkan untuk menjelajahi 23 wilayah sebaran harimau seluas 12.9 juta hektar, yang 6.4 juta hektar merupakan habitat yang disurvei pada SWTS pertama.
Tercatat, 15 unit pelaksana teknis [UPT] KLHK, lebih 10 KPH, 21 LSM nasional dan internasional, dua universitas, dua perusahaan, dan 13 lembaga donor yang mendukung kegiatan ini.