- Pemerintah harus bersikap tegas dalam mengawal kasus dugaan korupsi yang melibatkan proyek reklamasi di Provinsi Kepulauan Riau. Ketegasan sangat diperlukan, karena saat ini terdapat 41 proyek reklamasi di seluruh Indonesia
- Selain Pemerintah Pusat, keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sangat penting. Lembaga anti rasuah tersebut harus bisa melakukan pemeriksaan ulang kepada semua proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan di seluruh provinsi
- Kasus yang terjadi di Kepri menjadi yang kedua setelah di DKI. Di kedua provinsi tersebut, proyek reklamasi melibatkan oknum yang diduga mendorong percepatan perizinan dan juga percepatan untuk pembahasan rancangan peraturan daerah rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K)
- Kasus di Kepri menjadi pelajaran bagi semua daerah yang sedang dan akan melaksanakan proyek reklamasi. Daerah jangan sampai melakukan praktik korupsi demi mempercepat proses perizinan untuk pelaksanaan reklamasi
Pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang saat ini tengah dilaksanakan oleh DPRD Kepulauan Riau, sebaiknya harus dihentikan segera. Itu menyusul ditemukannya dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur Kepri Nurdin Basirun. Tak hanya dihentikan, Raperda juga harus dibongkar untuk dibuat ulang.
Pendapat tersebut diungkapkan Direktur Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim kepada Mongabay, Jumat (12/7/2019). Menurut dia, Pemprov Kepri harus berani untuk membuat ulang naskah raperda, karena jika tetap memakai naskah yang lama, diduga ada kebijakan yang tidak tepat atau bahkan diselewengkan oleh Gubernur dan oknum pelaku dugaan korupsi lainnya.
Halim mengatakan, dengan tertangkapnya Gubernur Kepri, itu menunjukkan kalau pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) memang sarat akan praktik penyalahgunaan otoritas kebijakan atau korupsi politik. Kemudian, dengan tertangkapnya Gubernur Kepri oleh KPK, maka praktik korupsi di balik pemanfaatan P3K semakin jelas terlihat.
“Itu mempertegas adanya kesengajaan untuk mengabaikan kepentingan masyarakat pesisir lintas profesi,” ungkapnya.
Selain pandangan di atas, Halim menyebutkan, tertangkapnya Nurdin Basirun oleh KPK, juga menjadi peristiwa ulangan seperti yang sudah terjadi di Provinsi DKI Jakarta yang juga melibatkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Di kedua provinsi tersebut, ada oknum yang sama-sama memanfaatkan proyek reklamasi untuk mengeruk uang sebanyak mungkin.
Baik di Kepri atau DKI Jakarta, kata Halim, telah terjadi praktik percepatan penerbitan izin pulau, meskipun minus payung hukum karena peraturan daerah (Perda) RZWP3K masih belum selesai. Percepatan tersebut membuat kepentingan umum milik masyarakat pesisir dan nelayan yang ada di kawasan sekitar proyek reklamasi menjadi sengaja diabaikan.
Agar peristiwa di Kepri dan DKI tidak berulang di daerah lain, Halim meminta KPK untuk bisa melakukan audit forensik terhadap pelbagai izin lokasi dan izin pemanfaatan laut yang diterbitkan Pemerintah di tingkat kabupaten/kota/provinsi. Penerbitan semua izin tersebut, adalah untuk proyek reklamasi seperti yang terjadi di kedua provinsi di atas.
baca : KPK Cokok Gubernur Kepulauan Riau atas Dugaan Suap Izin Reklamasi
Evaluasi Proyek
Pandangan serupa juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurutnya, agar kasus reklamasi di Kepri tidak terulang lagi, KPK sebaiknya melakukan pemeriksaan terhadap seluruh proyek reklamasi di 40 lokasi yang ada di Indonesia. Bahkan, pada 2018 KIARA mencatat proyek reklamasi jumlahnya ada di 41 lokasi kawasan pesisir Indonesia.
“Ada banyak persoalan dalam proyek ini, mulai dari penyuapan, pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, penghilangan mata pencaharaian nelayan, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Dengan kewenangannya, KPK harus memeriksa seluruh proyek ini,” ucapnya.
Susan menerangkan, apa yang terjadi di Kepri sekarang menjadi pesan yang sarat makna bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia yang saat ini sedang dan akan melaksanakan proyek reklamasi di kawasan pesisir. Pemerintah daerah tidak boleh bermain-main dengan perizinan reklamasi yang saat ini dengan gampang diberikan kepada pengembang yang menjadi pelaksana reklamasi.
“Ini adalah pesan penting untuk seluruh kepala daerah supaya tidak mudah mengobral perizinan reklamasi,” tandasnya.
Diketahui, Nurdin Basirun tertangkap saat KPK melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan korupsi izin lokasi rencana megaproyek reklamasi Gurindam 12. Proyek tersebut, meski tidak masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RJPMD) Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2020, namun ternyata masuk kategori proyek besar karena memerlukan dana hingag Rp886 miliar.
Untuk membiayai proyek tersebut, Susan menyebut kalau Pemprov Kepri menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dikucurkan selama tiga tahun. Rinciannya, pada 2018 APBD Kepri mengucurkan anggaran sebesar Rp487,9 miliar, pada 2019 sebesar Rp179 miliar, dan untuk 2020 dianggarkan sebesar Rp220 miliar.
Susan mengungkapkan, dalam mengungkap kasus reklamasi di Kepri, KPK harus bisa mengusut tuntas praktik korupsi perizinan reklamasi di provinsi tersebut, mulai dari unsur pemerintah, pengembang, sekaligus sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pertambangan pasir di kawasan ini. Dengan kata lain, ada banyak pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dan KPK jangan membiarkan satu pihak pun sampai lolos.
“Semuanya mesti diberikan sanksi, mulai dari Gubernur sampai dengan perusahaan pengembang dan penambang pasir,” jelasnya.
Lebih jauh Susan mengatakan, sebelum KPK menangkap Gubernur, Pemprov Kepri diketahui sedang berusaha mendorong pengesahan Raperda RZWP3K untuk dibahas di rapat paripurna DPRD Kepri. Padahal, di dalam draf raperda, diketahui ada beberapa pihak yang mengajukan izin pemanfaatan lahan untuk proyek reklamasi dan berharap bisa diakomodir oleh Perda.
Adapun, sejumlah perusahaan yang selama ini terlibat dalam aktivitas reklamasi di Kepulauan Riau, yaitu PT Guna Karya Nusantara, PT Mitra Tama Daya Alam Bintan, PT Bukit Lintang Karimun, PT Kim Jaya Utama, PT Indospora Bumi Persada, PT Yuliana Jaya, PT Combol Bahari Perkasa, PT Merak Karimun Lestari, dan PT Sarana Trans Sejahtera. Semua perusahaan tersebut, kata Susan, wajib untuk diperiksa oleh KPK.
Rumah Nelayan
Selain menindak Gubernur, Susan menyebutkan, KPK juga harus mengambil sikap yang tegas kepada oknum yang juga ditangkap KPK, yaitu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Prov Kepri Edy Sofyan, dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Kepri Budi Hartono. Kedua orang tersebut, dinilai bisa menyusahkan masyarakat pesisir dan menjadi contoh potret yang buruk bagi Indonesia.
Bagi Susan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan turunannya seperti DKP selama ini menjadi rumah bagi nelayan dan perempuan nelayan Indonesia. Namun, dengan keterlibatan pejabat DKP Kepri dalam dugaan kasus korupsi proyek reklamasi, menjelaskan bahwa itu sudah menjadi preseden buruk bagi Indonesia. Itu sekaligus menjadi teguran bagi KKP agar bisa berlaku tegas dan berimbang.
“KKP sibuk menangkap pencuri ikan di laut Indonesia, pada saat bersamaan, kedaulatan kita juga dicuri dari dalam oleh oknum-oknum di dalam rumah kita sendiri. Laut dijual beli untuk kepentingan segelintir oknum, ini harusnya menjadi catatan bagi KKP khususnya,” sebutnya.
Susan mengingatkan, praktik reklamasi di Kepulauan Riau bukanlah hal baru. Sejak lama, sejumlah pihak di provinsi ini terlibat penjualan pasir untuk proyek reklamasi di Singapura. Sepanjang 24 tahun sejak 1978 hingga 2002, praktik pengerukan pasir telah menimbulkan banyak kerugian. Bukan saja aspek teritorial, tapi juga ekonomi, perdagangan dan lingkungan hidup.
“Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, kerugian yang dialami Indonesia mencapai 42,38 miliar dolar Singapura atau Rp237 triliun akibat penambangan pasir untuk reklamasi di Singapura,” pungkasnya.
Sebaran proyek reklamasi di Indonesia: