- Pemerintah mulai memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, salah satu lewat penetapan wilayah adat. Sayangnya, masih jauh dari harapan. Angka penetapan hutan adat masih minim.
- Di Sumatera Utara, baru masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, yang mendapatkan surat keputusan pencadangan hutan adat.
- AMAN bilang, seharusnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membuat terobosan baru agar konflik antara masyarakat adat dengan pengusaha yang masih terus terjadi dan tetap memanas bisa teratasi.
- Di Sumatera Utara, setidaknya ada 13 komunitas adat perlu mendapatkan pencadangan hutan adat sembari menunggu perda terbit.
Negara mulai memberikan pengakuan hak masyarakat adat, seperti lewat penetapan wilayah maupun hutan adat meskipun begitu terbilang sangat minim. Dalam periode pertama pemerintahan Joko Widodo dan Jusul Kalla, masih kurang dari 30.000 hektar, penetapan hutan adat. Konflik lahan dan sumber daya alam juga masih tinggi.
“Kriminalisasi terhadap masyarakat adat mempertahankan wilayah adat terus terjadi, tak dapat dihindari. Pengakuan hutan adat belum maksimal. Ini yang terjadi lima tahun terakhir. Harapannya, kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin, ada perubahan, ” kata Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dalam diskusi yang diselenggarakan Mongabay di Medan, Sumatera Utara, belum lama ini.
Pada 2014-2019, komitmen politik Jokowi-JK dengan Nawacita-nya, akan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. Dalam rencana pembangunan jangka menengah pun, target hutan untuk rakyat 12 juta hektar. Untuk hutan adat, katanya, baru sekitar 28.000-an hektar terpenuhi.
Padahal, katanya, AMAN sudah mengusulkan indikasi hutan adat seluruh nusantara.
Di Sumut, baru masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, yang mendapatkan surat keputusan pencadangan hutan adat.
Pemerintah kabupaten juga sudah menerbitkan peraturan daerah soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta. Di daerah lain, seputaran Danau Toba, belum ada.
Untuk mengajukan hak ulayat, katanya, masyarakat adat kesulitan dalam memenuhi persyaratan harus melalui produk hukum daerah.
Dalam pembuatan perda, katanya, harus gunakan biaya sangat mahal, politik rumit dan komitmen kepala daerah sangat rendah.
“Jadi, kendala dihadapi masyarakat adat mendapatkan haknya menguasai hutan adat peninggalan leluhur mereka,” katanya.
Dia bilang, seharusnya Menteri LHK membuat terobosan baru hingga konflik antara masyarakat adat dengan pengusaha yang masih terus terjadi dan tetap memanas bisa teratasi.
Ketika terjadi perlawanan, katanya, pengusaha memakai oknum aparat kepolisian pakai senjata api laras panjang berujung bentrokan, berakhir kriminalisasi dan dipenjara.
Dia contohkan, konflik antara masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang selalu bersembunyi di balik izin.
Guna meredam dan mengurai persoalan serta menghentikan konflik, dia berharap, menteri LHK bisa mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan surat keputusan pencadangan hutan adat sembari menunggu perda terbit.
Ada 13 wilayah adat, kata Roganda, yang saat ini alami konflik padahal sudah mengajukan pengelolaan hutan adat. Ketigabelas wilayah itu ada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Sipahuta, dengan empat komunitas adat, yaitu, Hutanapa, Nagasaribu, Tornauli, dan Hutaginjang.
Lalu, di Humbang Hasundutan (Humbahas), ada komunitas adat Parlilitan dan Aek Nung, Pardamanan. Di Toba Samosir (Tobasa) ada komunitas adat Matio Ngatubikka, dan Bius Sigapiton. Kemudian di Kabupaten Simalungun, ada dua komunitas adat yaitu Lamtoras Sihaporas, dan Dolok Parmonangan.
“Kami harapkan, mereka segera mendapatkan SK pencadangan sembari menunggu perda dibuat. Ini bermakna, segera mempercepat perda diterbitkan,” katanya.
Saat ini, katanya, masyarakat adat di Sihaporas, Tornauli, Matio, masih mengalami kriminalisasi. Ketika mereka pergi ke kebun, perushaaan melaporkan ke polisi. Padahal, katanya, masyarakat hanya berkebun, mengambil kayu bakar untuk memasak di dapur. Mereka dianggap merambah hutan negara.
“Jadi, mereka dianggap merambah hutan negara yang dikuasai TPL. Kriminalisasi terjadi, ada yang masuk daftar pencarian orang. Ini yang kami tuntut agar jadi perhatian pemerintahan Jokowi, ” kata Roganda.
Catatan AMAN Tano Batak, setidaknya ada 50 orang lebih masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan hutan adat mereka. Mereka menolak hutan berubah jadi perkebunan dan lain-lain. Mereka, katanya, dianggap pencuri di tanah sendiri.
“Kami khawatir kriminalisasi masyarakat adat ini bakal terus meningkat, seiring perusahaan seperti TPL gencar menguasai hutan adat. Masyarakat adat tidak akan mungkin diam membiarkan hutan hancur.”
Zakaria Yoseph Tien, Staf Seksi Tenurial dan Hutan Adat, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera juga pemegang sertifikasi asesor konflik, mengatakan, peta indikatif perhutanan sosial menyangkut empat skema, yaitu hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan kehutanan.
Sejak 2018 sampai Januari 2019, di regio Sumatera untuk hutan desa ada 239 dengan 173.242 keluarga dan luasan 389.121,83 hektar.
Capaian hutan kemasyarakatan ada 536, berjumlah 95.496 keluarga dengan luasan lahan 363.278,05 hektar. Untuk hutan rakyat 153.845,27 hektar, Kemitraan Kehutanan ada 168 desa, dengan luasan 90.572,46 hektar meliputi 5.057 keluarga.
“Itu capaian perhutanan sosial untuk 2018. Ini fluktuatif bisa bertambah karena data masih sampai Januari 2019,” katanya.
Riyanda Purba, Kepala Divisi Riset dan Publikasi Hutan Rakyat Institute (HaRI) mengatakan, dalam satu dekade terakhir, alih fungsi kawasan hutan kerap terjadi. Angka deforestasi terus mengalami peningkatan di sepanjang 2009-2015.
Data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2017, menyebutkan, deforestasi Indonesia pada 2014-2015 seluas 1,09 juta hektar. Paling masif, terjadi di Pulau Sumatera, sebesar 519.000 hektar atau 47,5% dari total deforestasu Indonesia, diikuti Kalimantan 34,3%.
“Perlakuan atas hutan terjadi demi kepentingan bisnis dan investasi sektor perkebunan, industri kehutanan, maupun pertambangan. Masyarakat adat dan lokal yang selama ini berinteraksi langsung dengan hutan jadi korban dan terpinggirkan, ” katanya.
Berdasarkan deklarasi hak-hak masyarakat adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous Peoples), diadopsi majelis umum PBB pada 13 September 2007, memegaskan, hubungan antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisional, termasuk tanah adat. Tanah, sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal.
Salah satu standar minimal perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM masyarakat adat, yaitu, masyarakat adat memiliki hak kolektif, antara lain, hak menetukan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, hak identitas budaya dan kekayaan intelektual. Juga, hak atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC), hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka sendiri.
Jadi jelas, katanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk bebas menyatakan menerima atau menolak sebuah rencana pembangunan dalam wilayah mereka. “Atas dasar informasi lengkap yang disampaikan atau diperoleh masyarakat adat sejak rencana itu dicetuskan.”
Berarti, katanya, setiap yang akan menyelenggarakan proyek pembangunan dalam wilayah adat, wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya tentang seluruh aspek proyek itu termasuk dampak baik dan buruk.
“Masyarakat adat mempunyai hak mendapatkan waktu cukup mendiskusikan semua informasi. Berhak mendapatkan nasihat atau bantuan dari pihak-pihak yang mereka inginkan.”
Kondisi ini penting, katanya, mengingat perbedaan sistem nilai, cara pikir dan pandangan hidup antara mereka dengan pihak luar.
Selain itu, katanya, ada beberapa perjanjian internasional (kovenan) yakni kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya, yang disetujui pada 1966. Juga kovenan internasional tentang hak sipil dan politik yang disetujui pada 1966.
Konflik
Berdasarkan catatan HaRI, kata Riyanda, ada 48 komunitas adat sampai saat ini masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI).
Di sekitaran Danau Toba, terdapat 23 komunitas adat masih berkonflik dengan perusahaan kayu TPL. HaRI mencatat, konflik itu berada di wilayah-wilayah adat dengan luas 35.616, 43 hektar.
Sedangkan, empat komunitas adat lain di sekitaran Danau Toba, berkonflik dengan sektor kehutanan, dan perkebunan.
Menurut dia, proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tak terlepas dari kehutanan, baik yang dikelola langsung negara atau swasta.
Klaim negara, terutama kehutanan telah dimulai sejak kelahiran UU Kehutanan pada 1967, kemudian mengklaim 70% dari daratan Indonesia adalah kawasan hutan.
Perizinan pun mulai keluar. “Alhasil, masyarakat adat jadi korban dari investasi.
Keterangan foto utama: Dirman Rajagukguk, Ketua Adat Tungko Nisolu, Desa Parsoburan Barat, Toba,didakwa melakukan perusakan hutan sebenarnya merupakan hutan adat mereka sendiri dikuasai PT. TPL. Foto: Ayat S Karokro/Mongabay Indonesia