- Indonesia terus mengampanyekan penanganan penangkapan ikan ilegal. Salah satu upayanya, dengan penerbitan rekomendasi global penanganan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) dalam forum pertemuan internasional tingkat tinggi tentang IUUF di Jakarta, 22-23 April lalu
- Rekomendasi itu dirumuskan dalam dokumen Blue Papers yang terdiri dari dua bagian, yang menjelaskan secara spesifik tentang IUUF dan kejahatan perikanan lintas negara (transnational organized fisheries crime/TOFC)
- Bagi Indonesia, penanggulangan aktivitas IUUF yang beririsan dengan TOFC, memerlukan dukungan dan kerjasama seluruh negara di dunia. Terutama, negara-negara yang memiliki garis pantai
- Agar bisa terwujud, seluruh negara harus bisa memiliki kesepahaman tentang isu tersebut dan kemudian mengeluarkan kebijakan yang diakui secara internasional sebagai bagian dari hukum internasional
Pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal, masih menjadi salah satu fokus Pemerintah Indonesia saat ini. Upaya yang kini sedang diperjuangkan, adalah dengan mengeluarkan rekomendasi global penanganan praktik illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) yang terjadi di banyak negara di dunia.
Rekomendasi itu dirumuskan dalam dokumen Blue Papers yang dilahirkan dalam forum pertemuan internasional tingkat tinggi tentang IUUF atau The High Level Panel (HLP) Workshop International on IUU Fishing and Organized Crimes in the Fishing Industry di Jakarta, 22-23 April lalu. Forum yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, membahas tentang solusi untuk kesehatan dan kekayaan laut dalam hal kebijakan, tata kelola, teknologi, dan keuangan.
Menurut Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) Sjarief Widjaja, pembahasan rekomendasi penting dilakukan pada forum itu karena IUUF sudah menjadi kejahatan perikanan lintas negara (transnational organized fisheries crime/TOFC) yang mengancam dunia.
“Untuk itu, Indonesia mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk penanganan isu global tersebut,” ungkapnya, di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Rekomendasi yang dikeluarkan Indonesia untuk penanggulangan IUUF, mencakup penguatan tata kelola laut lepas. Namun, agar penanggulangan berjalan baik, Indonesia juga terus meninjau aksi nasional dan regional penanganan IUUF. Upaya itu harus didukung dengan peningkatan transparansi global.
Kerja sama global penanganan IUUF diperlukan, lanjut Sjarief, karena isu IUUF dan TOFC sudah menjadi isu kritis dan mendesak. Tetapi sisi yang lain, pemahaman banyak umum negara-negara di dunia terhadap isu TOFC dinilai masih belum bagus. Sehingga Indonesia menilai harus ada peningkatan pemahaman tentang isu tersebut.
baca : Ada Potensi Kerugian Negara Rp137 Miliar Dari Perikanan Ilegal Kapal Ikan
Dokumen Khusus
Pengembangan blue papers dari forum, menjadi panduan penanganan isu IUUF dengan TOFC, karena merangkum ilmu pengetahuan terbaru, mengintegrasikan pemikiran modern tentang solusi laut yang inovatif, fokus pada implikasi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial negara-negara berkembang.
Sjarief menjelaskan ada dua dokumen blue papers yang dibahas selama forum, yaitu Blue Papers 15 yang membahas tentang IUUF dan Blue Papers 16 yang membahas tentang TOFC. Kedua dokumen itu diharapkan bisa memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi dan rekomendasi upaya melawan IUUF dan TOFC secara global.
Untuk Blue Papers 15, dibahas tentang beberapa modus operandi praktik IUUF di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) maupun laut lepas. Kemudian, dibahas juga tentang kelemahan sistem yang tidak langsung akan mendukung praktik IUUF, dan solusi untuk membenahi pengelolaan laut agar terbebas dari praktik IUUF.
“Modus operandi tersebut termasuk transshipment at sea alias alih muat kapal di laut, penggunaan flags of convenience di laut lepas untuk menghindari pemantauan dan penegakan hukum, dan ports of convenience untuk menghindari inspeksi yang ketat,” ucap jelas Sjarief.
Blue Papers 15 juga membahas ancaman keamanan maritim, seperti tindak pidana penyelundupan secara ilegal, perdagangan orang, perbudakan, dan pembajakan. Namun, dia menilai kalau dokumen Blue Papers 15 masih terdapat beberapa kelemahan seperti tidak adanya mekanisme global untuk mengakses kepatuhan negara terhadap hukum internasional yang diakui.
Kemudian, masih ada juga kesenjangan antara kebijakan dengan penanganan perkara IUUF, masih rendahnya kesadaran dan perhatian terhadap upaya melawan IUUF yang dilakukan oleh artisanal fishing dan penangkapan dengan skala kecil. Oleh itu, negara berbendera (flag state) direkomendasikan untuk memberlakukan kebijakan pendaftaran tertutup, melakukan uji tuntas bagi pemegang izin baru, validasi digital sertifikat tangkap oleh flag state, dan memastikan kerangka hukum yang kuat.
Selain itu, Sjarief mengatakan, negara pantai (coastal state) juga diminta untuk bisa memperkuat penegakan hukum, meningkatkan kerja sama internasional, dan membentuk pengaturan pengelolaan perikanan domestik. Kemudian, harus juga memastikan negara melaksanakan port state measure agreement (PSMA) yang telah ditentukan.
“Negara pasar (market state) juga harus dukung upaya pemberantasan IUUF dengan penerapan skema digital untuk mendokumentasikan hasil tangkapan secara global,” tuturnya.
baca juga : Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan Jalan Keluar Terbaik bagi Indonesia
Lintas Negara
Secara umum, Sjarief memaparkan, pembenahan pengelolaan laut dunia bisa dilakukan melalui pembentukan norma dasar yang bisa diterima secara internasional, optimalisasi peran institusi/organisasi internasional, dan pembentukan jaringan permanen dalam penanganan kasus untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar negara dan antar institusi internasional yang ada.
Sementara, dokumen Blue Papers 16, Sjarief menyebutkan dibahas tentang kejahatan yang terjadi melintasi perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau jaringan yang bekerja dilebih dari satu negara. Kelompok itu bekerja merencanakan dan melakukan bisnis secara ilegal.
Tentang TFOC, Koordinator Satuan Tugas 115 Mas Achmad Santosa mengatakan, saat ini banyak pihak yang melakukan pencurian ikan, terlibat dalam aktivitas transnasional terorganisir. Misalnya, seperti pencucian uang, suap, penyelundupan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perpajakan, penyelundupan barang, dan bentuk kejahatan lainnya.
“Kejahatan perikanan berkembang menjadi kejahatan transnasional yang sangat serius dan terorganisir. Untuk itu diperlukan kerja sama internasional untuk memeranginya,” ungkapnya.
perlu dibaca : Penenggelaman Tidak Membuat Jera Kapal Asing Pencuri Ikan. Kenapa?
Menurut Mas Achmad Santosa, Indonesia menjadi salah satu negara yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus kejahatan perikanan lintas negara, seperti kasus FV Viking, Silver Sea 2, STS-50, Sunrise Glory, dan MV NIKA. Namun, walau berpengalaman, Indonesia selalu menghadapi tantangan besar saat harus membongkar jaringan kapal ilegal yaitu menemukan pemilik manfaat (beneficial owner).
Dengan kompleksitas operasi yang dilakukan untuk menemukan pemilik manfaat, Achmad menyebutkan, perlu kesepahaman antar pihak terkait di dalam dan luar negeri tentang TOFC. Sementara, di sisi lain, tantangan dari dalam negeri juga tak kalah besar, karena kerangka hukum nasional dinilai masih kurang dalam menjerat pelaku.
“Sampai ke luar yurisdiksi Negara itu masih menjadi hambatan,” tuturnya.
Menyadari tantangan tersebut, Achmad meminta seluruh negara untuk bisa bersatu dan mengembangkan pemahaman umum tentang TOFC pada industri perikanan. Juga kemudian memperkuat kemauan politik (political will) melawan aktivitas TOFC.
“Setiap negara dapat menyusun peraturan perundang-undangan nasional yang efektif dan membentuk lembaga penegakan hukum yang efektif. Saya pikir juga penting untuk menjalin kerja sama internasional yang efektif dengan INTERPOL dan lembaga relevan lainnya, misalnya UNODC (united nations office on drugs and crime) dan IOM (International Organization for Migration),” sambung dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada kesempatan pembukaan forum, mengatakan bahwa saat ini diperlukan kerja sama antar negara di dunia untuk bisa membuka data vessel monitoring system (VMS) sebagai wujud transparansi kegiatan perikanan. Hingga sekarang, upaya tersebut sudah diterapkan oleh enam negara.
“Selain itu, 16 negara telah mengakui IUUF sebagai TOFC. Namun, untuk menjadi sebagai resolusi PBB, Indonesia butuh dukungan minimal dari 70 negara anggota,” tegasnya.
Acara The High Level Panel (HLP) Workshop International on IUU Fishing and Organized Crimes in the Fishing Industry diikuti oleh 14 pemimpin negara dari seluruh dunia.
***
Keterangan foto utama : Penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia