- Petambak garam di Lamongan, Jawa Timur mengeluhkan penurunan harga jual garam karena produksinya terganggu disebabkan kondisi cuaca juga tidak bisa diprediksi, seperti hujan saat musim kemarau.
- Kondisi cuaca tidak bisa diprediksi karena terdampak perubahan iklim akibat pemanasan global.
- Penurunan harga garam juga dipengaruhi faktor panen raya dan masuknya garam impor. Serta pengaruh kualitas kadar NaCI (natrium klorida) tidak sesuai dengan standar mutu garam konsumsi dan garam industri
- Kondisi tersebut agar menjadi perhatian Pemerintah karena sudah diatur dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
Terik matahari tidak menghalangi aktifitas Zainal untuk memanen garam di lahan tambak garam garapannya di Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tangannya terlihat lihai saat memindahkan hasil garam dari geomembran ke kereta sorong.
Geomembran adalah alat yang terbuat dari plastik, digunakan sejumlah petani di daerah itu untuk alas saat proses pembuatan garam, sudah lima tahun ini mereka menggunakannya. Garam hasil panen itu kemudian ia bawa ke tempat penampungan dengan menggunakan kereta sorong.
Dia mengaku, beralih menggunakan alat pengangkut panen sudah dilakukannya dalam dua tahun ini. Awalnya, dia memakai keranjang yang terbuat dari bambu “ini sudah lebih ringan, kalau dulu berat untuk mengangkut hasil garam. Menjadi petani garam itu susah susah senang,” ujarnya disela-sela aktifitas menyekop hasil garam itu pada, Kamis (01/08/2019).
Susah senangnya bertani garam, kata bapak dua anak ini, tergantung kondisi cuaca dan harga jual garam hasil produksi dari petani bisa bagus. Jika kondisi cuaca mendukung, dalam semusim dia bisa panen 50-60 ton di lahan yang di garap, dengan panjang 70 meter dan lebar 20 meter itu.
Sementara, untuk harga garam yang bagus menurutnya yang normal yaitu Rp1000/kilogram. Tahun lalu, harga garam bisa mencapai Rp2000/kilogram, untuk tahun ini harganya turun menjadi Rp700/kilogram.
baca : Negara Harus Hentikan Kekacauan Tata Kelola Garam Nasional
baca juga : Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?
Cuaca tidak Bisa Di Prediksi
Zainal lalu bercerita, bertani garam yang dirasakan tahun ini tidak seperti tahun lalu. Selain harga jual garam hasil panen dari petani menurun, kondisi cuaca juga tidak bisa di prediksi. Saat ini, cuaca bisa berubah dalam sewaktu-waktu.
Dalam jurnal “Iklim Semakin Tidak Menentu Dari Pemanasan Global Menuju Perubahan Iklim” yang diterbitkan atas kerjasama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dijelaskan cuaca yang tidak menentu itu dikarenakan adanya perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global, yaitu kenaikan suhu rata-rata di sebagian besar permukaan bumi yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer bumi.
Bukti perubahan iklim yang ditimbulkan yaitu terjadinya perubahan suhu muka laut, pergeseran musim jawa. Kemudian, curah hujan yang berubah. Sementara itu, dampak yang di timbulkan meliputi sektor pertanian, infrastruktur, kesehatan, transportasi, sumber daya air, dan perikanan.
“Di bulan Juni kemarin ini tiba-tiba ada hujan deras, padahal musim kemarau, semua tambak jadi tenggelam,” kata Zainal, sambil mengusap keringat dengan bajunya.
Akibatnya, semua tambak yang berada di dekat Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo di pesisir Utara Lamongan itu seperti laut, beruntung di kanan kirinya masih ada kali yang bisa berfungsi. Sehingga air hujan yang menggenang itu bisa kembali surut. Tetapi, tidak bisa terhindarkan, garam yang mau di panen itu pun raib bersama aliran air hujan. Dia merasa gagal panen, tidak bisa memanfaatkan lahan yang digarapnya selama dua minggu, dan mengalami kerugian jutaan rupiah.
perlu dibaca : Kenapa Harus Impor Garam Lagi?
Tidak hanya Zainal, gagal panen karena cuaca yang tidak menentu itu juga dirasakan oleh Husnul Anam. Lelaki paruh baya ini juga menceritakan, setelah lahan tambak garam yang digarapnya itu terguyur hujan lebat. Dia baru bisa membenahinya kembali membutuhkan waktu dua minggu, menunggu lahan sampai kering. Karena proses pembuatan garam secara tradisional yang memanfaatkan air laut dan uap sinar matahari tersebut, dibutuhkan lahan tambak yang kering terlebih dahulu. “Setelah itu baru proses penggarapan dengan membuat galengan dan meratakan tanah,” ungkapnya.
Sementara itu, Masro’in petani garam lainya juga tidak menyangka hujan lebat datang di musim kemarau. Hanya saja dia merasa mujur, karena waktu kejadian itu lahan miliknya belum ada garam yang siap untuk dipanen. Jadi, tidak mengalami banyak kerugian. Namun, bapak empat anak ini juga merasa keberatan, sama seperti petani garam yang lain. Karena di waktu panen, harga jual hasil panen ke tengkulak saat ini menurun. Tidak seperti tahun yang lalu, di saat panen raya harga garam masih bisa stabil. Bahkan cenderung naik hingga Rp2000/kilogram.
“Penurunan harga selain karena faktor panen raya, mungkin juga karena banyaknya garam dari luar negeri masuk ke Indonesia,” Kata Masro’in, mengira-ngira.
baca juga : Garam Rakyat Didorong Penuhi Standar Internasional, Bagaimana Caranya?
Kualitas Garam
Merosotnya harga garam saat panen ditingkat petani tidak hanya dirasakan oleh para petani di Pesisir Lamongan, di beberapa tempat juga merasakan hal yang sama. Penurunan harga bisa mencapai 50 persen, bahkan ada yang lebih rendah lagi.
Agung Kuswandono, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim), dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, pada Jumat (12/07/2019), seperti dikutip dari tirto.id, mengatakan, rendahnya harga garam ditingkat petani itu disebabkan oleh kualitas kadar NaCI (natrium klorida) tidak sesuai dengan standar mutu garam, kurang dari 94 persen.
Dia menambahkan, kualitas garam untuk dapat diserap oleh perusahaan BUMN yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran garam, PT Garam (Persero). Memiliki syarat untuk kualitas garam, salah satunya yaitu minimum dengan kadar 94,7 persen NaCI atau level K1. Untuk industri garam multinasional, bahkan disebutkan mempunyai syarat kadar NaCI mencapai 99,9 persen.
“Hal itu yang menyebabkan harga di tingkat petani anjlok,” katanya. Untuk itu, pihaknya memiliki keinginan untuk mendorong dan mengedukasi para petani tambak supaya tidak hanya memproduksi garam. Melainkan juga memperhatikan kualitas kadar garam.
Selain itu, Kemenko Maritim mengusulkan untuk mencegah anjloknya harga garam, diberlakukan kembali Peraturan Presiden (Perpres) No.71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok Barang Penting. Agar dapat mengontrol harga garam, karena adanya acuan Harga Pokok Produksi (HPP) yang bisa melindungi petani garam.
menarik dibaca : Kisah Lasiyem, Petani Garam Terakhir Bledug Kuwu
Rizky Gelar Pangestu, akademisi Universitas Katolik Parahyangan Bandung dalam jurnalnya menjelaskan, pemenuhan kebutuhan garam nasional memang sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah, karena sampai sekarang ini pemenuhan kebutuhan garam nasional belum dapat dilakukan secara swasembada.
Untuk garam konsumsi dan garam industri terdapat spesifikasi yang harus dipenuhi agar bisa dikategorikan sebagai garam konsumsi dan garam industri. Dia menilai, hal itu bisa menyebabkan distorsi yang kerap terjadi di kalangan pordusen lokal maupun petani garam yang diakibatkan oleh pembagian garam konsumsi dan garam industri.
Di Jurnalnya berjudul Perlindungan Hukum terhadap Petambak Garam Rakyat Dikaitkan dengan berlakunya PP No.9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor untuk Komoditas Perikanan dan Pegaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri itu, Rizky berangggapan, saat ini petani garam lokal masih belum bisa memenuhi kualitas garam yang dibutuhkan industri.
Belum lagi polemik antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Perindustrian (Kemenprin) terkait rekomendasi jumlah impor garam industri menambah warna permasalahan dalam penyediaan garam industri. Dari permasalahan ini, menurut Rizky, dari segi produksi garam di Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga impor menjadi salah satu solusi memenuhi garam industri.
menarik dibaca : Melestarikan Garam Tradisional, Bisa Mengurangi Risiko Mikroplastik
Selain kualitas garam yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan, lanjutnya, tantangan untuk para petani garam adalah harga garam yang tidak bersahabat. Hal itu, dapat dilihat dari kekhawatiran mereka terhadap impor garam yang dilakukan oleh pemerintah, “Dikhawatirkan dapat menutup produksi garam mereka karena produksi mereka tidak terserap oleh pasar,” jelasnya.
Dari kekhawatiran itu, dia berharap, menjadi perhatian Pemerintah untuk melindungi petambak garam dan hasil produksinya, agar dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, alur distribusi, sarana dan prasarana penunjang panen, serta akses informasi seluas-luasnya merupakan komponen penting dalam tata niaga garam di Indonesia. Lanjutnya, peraturan terkait dengan perlindungan terhadap petambak garam sudah diatur secara eksplisit dalam peraturan Undang-Undang, namun pada pelaksanaanya dinilai masih belum dapat diwujudkan dengan baik, meskipun sudah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui program Pengembangan Usaha Rakyat (PUGAR).
Dia menyarankan, hal itu harus dilakukan lebih aktif, dan juga cepat untuk menunjang kegiatan produksi garam rakyat demi mewujudkan swasembada garam yang dicita-citakan. Harapanya, peran serta petambak garam perlu ditonjolkan lagi dalam program-program Pemerintah untuk mempertahankan eksistensi mereka di bidang perniagaan garam rakyat di Indonesia.