Tambang Timah Apung dan Kecemasan Masyarakat Sebagin Menghadapinya

 

  • Desa Sebagin yang menjadi lokasi pembangunan jembatan Sumatera-Bangka di Pulau Bangka, merupakan desa dengan masyarakat multikultural. Selain sebagai nelayan, mereka juga bertani, berkebun, dan berdagang. Namun saat ini hanya puluhan kepala keluarga saja yang masih mencari ikan di laut.
  • Sebagian warga Desa Sebagin menerima secara baik rencana pembangunan jembatan Sumatera-Bangka yang akan dimulai 2020. Mereka justru mencemaskan jembatan itu membuat banyak pendatang menambang timah di laut, yang dampaknya sudah dirasakan warga Desa Sebagin saat mencari ikan di laut.
  • Pemerintah dihaparkan menyiapkan masyarakat Desa Sebagin menghadapi perubahan lingkungan setelah hadirnya jembatan, sehingga mereka tidak tersingkir atau berkonflik dengan pendatang.
  • Di masa lalu, Sebagin merupakan desa yang ramai dikunjungi pedagang, khususnya dari China, untuk membeli lada dan timah.

 

Baca sebelumnya:

Pembangunan Jembatan Sumatera-Bangka, Bagaimana Dampak Ekologi dan Sosial Budaya?

**

 

Lokasi jembatan Sumatera-Bangka di Pulau Bangka tetap berada di Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Tapi bukan di Desa Permis melainkan di Desa Sebagin. Masyarakat menerima pembangunan jembatan, namun mereka cemas bila jembatan tersebut mendorong hadirnya pendatang menjadi penambang timah di laut. Atau dikenal tambang inkonvensional apung.

Desa Sebagin dipilih karena wilayah baratnya merupakan daratan tedekat dengan Pulau Sumatera. Tepatnya, di Tanjung Tapa, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang dibatasi Selat Bangka. Menurut rencana, pembangunan jembatan Sumatera-Bangka sepanjang 15,2 kilometer dimulai pada 2020.

 

Belasan kapal melakukan penambangan timah di bibir pantai Desa Sebagin, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Titik awal jembatan kemungkinan di Tanjung Berani, tiga kilometer dari desa, karena daratannya paling menjorok ke laut. Jarak ke Sumatera Selatan, tepatnya ke Tanjung Tapa juga dekat, sekitar 13 kilometer,” kata Darno, Kepala Desa Sebagin, Kamis [15/8/2019].

Penetapan Desa Sebagin sebagai lokasi jembatan di Pulau Bangka sebelumnya dinyatakan Justiar Noer, Bupati Bangka Selatan, seperti dikutip klikbabel.com. Dijelaskan Justiar, pembebasan jalan tembusan dari lokasi jembatan berjalan lancar. Saat ini, tengah dipersiapkan pembangunan jalan lingkar barat Bangka. Dari Desa Sebagin-Batubetumpang-Pulaubesar-Rias hingga ke Sadai sejauh 128 kilometer.

 

Seorang nelayan menaikan hasil tangkapannya yang disambut anak perempuannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Cemaskan tambang apung

Secara umum, masyarakat Desa Sebagin multikultural. Artinya selain sebagai nelayan, mereka juga berkebun dan bertani. Tapi saat ini dari 300 kepala keluarga, tersisa 46 kepala keluarga yang tetap mencari ikan di laut. Sisanya petani lada, berkebun karet dan sawit, penambang timah, mengusahakan sarang walet, pedagang, atau wirasawasta.

“Ya, memang ada masyarakat desa sini yang menambang. Tapi sekarang kebanyakan dari luar daerah. Itu pun aktivitasnya di laut. Kami tidak akan menambang di darat, sebab nenek moyang kami malarang,” kata Reno, warga Desa Sebagin, yang 10 tahun menjadi penambang timah di sejumlah wilayah Bangka dan Belitung.

Berdasarkan pengamatan Mongabay Indonesia, terlihat aktivitas penambangan timah di laut atau tambang inkonvensional apung, tidak jauh dari bibir pantai Desa Sebagin.

“Kalau jembatan dibangun kami juga mendukung. Akses Bangka-Sumsel dan sebaliknya akan lebih mudah. Tapi tambang apung menyebabkan penghasilan ikan kami menurun tiga tahun terakhir. Kami cemas, adanya jembatan mengundang penambang apung dari luar,” kata Abdul Aziz, nelayan Desa Sebagin.

 

Setelah melaut, nelayan langsung melakukan transaksi di pinggir pantai. Misalnya, hasil kerang laut ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebelum 2016, setiap melaut, dia mendapatkan penghasilan kotor kisaran Rp1-2 juta per hari. Kini sekitar 500-700 ribu per hari, setelah dipotong biaya BBM.

“Sekarang ada belasan unit tambang apung dekat bibir pantai. Akibatnya air menjadi keruh, ikan hilang. Padahal, semua nelayan di sini melaut tidak jauh dari bibir pantai, karena hanya menggunakan mesin kapasitas 10 GT,” lanjut Abdul Aziz.

 

Nelayan mencemaskan dampak pembangunan jembatan Sumatera-Bangka yaitu menghadirkan penambang timah di laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Robi Binur, nelayan lainnya mengatakan, pembangunan jembatan akan membuat akses ke Sumatera Selatan lebih mudah. Perekonomian Desa Sebagin juga akan lebih hidup. Hanya, yang ditakutkan adalah dampak pendatang mencari timah di laut. “Nelayan seperti kami yang jadi korban. Kami berharap pemerintah turut memikirkannya.”

Dr. Ibrahim, pakar ilmu sosial dan politik Universitas Bangka Belitung mengatakan, hadirnya jembatan Sumatera-Bangka merupakan dinamika baru yang potensial untuk perekonomian masyarakat. “Jalur jembatan tidak signifikan menganggu perairan. Hanya, tambang apung memang memberi dampak negatif bagi nelayan,” katanya.

 

Seorang ibu di Desa Sebagin tengah menyiang ikan hasil tangkapan suaminya yang merupakan nelayan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat harus siap

Darno, Kepala Desa Sebagian, mengatakan dampak paralel dibangunnya jembatan penghubung Sumatera-Bangka adalah akan dibuatnya jalan lingkar yang melewati Kecamatan Pulau Besar, Kabupaten Bangka Selatan, ke Kota Toboali.

“Desa ini kian terbuka, tidak seperti sebelumnya yang sulit diakses melalui darat,” katanya.

Sekarang sedang dalam proses pembangunan, dibantu aparat TNI, dengan begitu akses masyarakat ke Toboali akan lebih mudah. Hanya memakan waktu satu jam. “Sedangkan jalan menuju Bangka Tengah, akan dilakukan pelebaran jalan utama Desa Sebagin, melewati Desa Permis,” kata Darno.

 

Seorang warga mencangkul sawah di Desa Sebagin. Saat kemarau, sawah ditananami palawija. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Fransdinata, seorang guru di Desa Sebagin menuturkan, satu hal yang harus dipikirkan apakah masyarakat Desa Sebagin siap dengan perubahan yang terjadi.

“Peran pemerintah sangat diperlukan, pemberdayaan masyarakat menjadi penting, seperti mendorong lahirnya ekonomi kreatif bagi masyarakat sekitar. Akan ada pembangunan infrastruktur dan hadirnya pendatang yang mengubah lingkungan desa, sehingga profesi seperti nelayan dan petani tidak lagi relevan. Masyarakat Desa Sebagin harus bisa bersaing, agar tidak tersingkir atau berkonflik dengan pendatang,” katanya.

 

Rumah tua di Desa Sebagin. Warga harus siap dengan perubahan yang terjadi dengan adanya pembangunan jembatan Sumatera-Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jalur perdagangan

Ditetapkannya Desa Sebagin sebagai lokasi jembatan Sumatera-Bangka, bukan hal mengejutkan bagi warga. “Dahulu, Sebagin lokasi transaksi pedagang China dengan masyarakat Bangka, terkait timah dan lada. Bahkan, sebagian besar warga keturunan suku bangsa di Asia dan Nusantara,” kata Darno.

“Ini dikarenakan lokasi desa yang strategis menjadi alasanpedagang dari luar Pulau Bangka datang. Jaraknya dekat daratan Sumatera. Kami juga mempunyai kekayaan alam bervariasi, mulai lada, tambang timah, hingga hasil laut,” lanjut Darno yang merupakan generasi keempat dari Gegading Muntil, salah satu pendiri Desa Sebagin.

 

Inilah lokasi tiang jembatan Sumatera-Bangka di Tanjung Berani, Desa Sebagin, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pesisir Desa Sebagin merupakan habitat buaya muara, sehingga sering ada kasus nelayan tewas diserang buaya. Misalnya, pada 26 Agustus 2018, Usin bin Mogni [58], warga Desa Permis tewas diserang buaya, tak jauh dari pesisir Desa Sebagin.

“Banyak korban berasal dari luar desa. Sejauh ini, belum ada warga setempat yang menjadi korban,” kata Darno.

 

Inilah jalan yang dibangun sebagai penghubung Jembatan Sumatera-Bangka menuju Toboali, Ibu Kota Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tradisi yang masih bertahan di Desa Sebagin adalah sedekah bumi. “Waktu pelaksanaan tidak tentu, bisa awal atau akhir tahun. Tergantung keputusan tetua desa. Biasanya, warga berkumpul di tengah jalan raya, membawa ketupat kemudian melemparkan satu dengan lain. Kegiatan ini bentuk syukur atas hasil bumi yang diperoleh,” paparnya.

 

*Nopri IsmiMahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,