- Sejak tahun 1975 kawasan hutan adat Marena berada dalam penguasaan Dinas Kehutanan dan ditanami Pinus. Dulunya warga ikut menanam, namun kemudian tidak diperkenankan menebang dengan ancaman hukuman.
- Pengelolaan hutan di Marena selama ini memang memiliki mekanisme adat tersendiri. Meski sempat tak berfungsi karena penguasaan pihak kehutanan. Hukum ini terutama berlaku di kawasan hutan lindung.
- Dihidupkannya kembali aturan adat efektif dalam menjaga eksistensi hutan lindung Marena. Apalagi pasca penetapan sebagai masyarakat adat ataupun hutan adat, mereka semakin percaya diri dalam mengelola hutan dengan aturan adat mereka sendiri.
- Pemerintah Daerah Enrekang akan terus memberikan dukungan kepada masyarakat adat Marena dan lainnya, termasuk dalam hal pengembangan ekonomi mereka melalui berbagai program pembangunan yang relevan.
Setelah selesai memarkir kendaraan roda empat, Peter Kadang bersiap untuk berjalan kaki. Perjalanan memang harus dilanjutkan dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Jalan setapak itu tampak mendaki dan berkelok.
Hari itu, dia menemani saya untuk memasuki kawasan Hutan Adat Marena yang ada di Desa Pekalobean, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Jaraknya sekitar 40 km dari ibukota kabupaten.
Sepanjang kawasan hutan tampak hamparan hutan pinus. Tanaman itu ditanam pada tahun 1975, dalam rangka proyek reboisasi pemerintah.
“Dulu orang Kehutanan suruh kami tanam pinus. [Waktu itu] belum ada aturannya, pokoknya disuruh tanam saja. Setelah pohonnya besar masyarakat bingung mau diapakan,” sebut Peter.
Apalagi lanjutnya, setelah itu muncul pengawasan. Tak boleh ada yang tebang pohon karena itu milik Kehutanan. Jika ada yang melanggar, ancamannya pidana.
Namun, di sela-sela tegakan pinus, warga masih diperbolehkan tanam kopi dan kayu lokal.
Di lokasi yang lebih tinggi dari hutan reboisasi, terdapat hutan lindung yang dikeramatkan warga. Namanya Perangiang, artinya “yang didengar”. Tempat ini diyakini warga memiliki banyak situs purbakala, termasuk sebuah sumur yang dikeramatkan.
Hanya saja, meski disebut hutan lindung, kawasan tersebut sebenarnya hamparan tanah yang dipenuhi bebatuan, gua-gua, dengan sedikit saja tegakan pohon kecil di atasnya.
“Pergi ke sana, kalau tanpa izin pemangku adat orang bisa hilang. Pernah ada yang hilang 3 hari, padahal dia tak pergi kemana-mana.”
Peter sendiri satu dari Pemangku Adat Marena bergelar Sianene, artinya yang dituakan. Ada empat Sianene dalam struktur adat Marena, dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda.
“Marena mencakup lima kampung. Di bagian bawah Landotete, ke atas lagi ada Lembong, lalu Dale. Di bawah hutan ada Paropo dan Batu Rape. Lima kampung itu digabung semua menjadi Marena.”
Peter paham betul batas-batas wilayah adat. Sebagian ditandai dengan batas batu, gunung dan sungai.
Data dari hasil pemetaan partisipatif AMAN Massenrempulu yang diverifikasi Tim Adhoc Pengakuan Masyarakat Adat Pemerintah Daerah Enrekang, luas wilayah adat Marena yang diakui 676,32 hektar.
Peroleh Pengakuan Negara
Meski selama ini, warga Marena masih dapat menanam kopi di sela pohon pinus, tetap saja mereka merasa waswas. Baru-baru ini saja mereka dapat lega, -tepatnya 14 Februari 2018, saat tanah mereka dapat pengakuan dari pemerintah.
Selain Marena, SK pengakuan masyarakat adat dari Pemda Enrekang pun berlaku untuk komunitas lain, yaitu Baringin, Orong, Tangsa, Patongloan dan Pana.
Setelah pengakuan Pemda diperoleh, pengakuan berikut didapat dari Pemerintah Pusat. Bahkan SK Hutan Adat Marena diserahkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Negara, tanggal 20 September 2018.
Tak hanya itu, Pemangku Adat Marena pun terpilih sebagai satu dari sembilan tokoh yang mendapat penghargaan. Sebabnya mereka berhasil mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan yang telah diberikan izin perhutan sosial.
Menurut Peter, pengelolaan hutan di Marena selama ini mengacu pada mekanisme adat yang disebut Pamali. Ini mencakup tiga aturan.
Pertama, jika ada warga yang mengambil kayu di kawasan hutan lindung tanpa izin pemangku adat, dia akan diusir keluar dari kampung bersama kayu yang diambilnya. Hukuman ini adalah yang terberat.
Kedua, jika terdapat warga yang membabat hutan untuk kepentingan apa pun tanpa seizin adat, dia tak boleh menggunakan sumber air untuk semua lahan pertaniannya. Ini termasuk hukuman menengah.
Ketiga, jika terdapat warga yang membakar pohon atau tanaman apa pun di kawasan hutan lindung, dia wajib memotong seekor kerbau tedong pujuk, -kerbau hitam berukuran besar. Kerbau ini akan dipotong secara adat dan kemudian dimakan bersama oleh seluruh warga.
“Ini yang disebut mengkada melo, artinya itu yang sudah dibakar bisa tumbuh kembali. Ini hukuman paling ringan.”
Untuk kayu lokal yang berada di sekitar pinus, kini bisa digunakan warga untuk keperluan membangun rumah. Hanya saja mereka diwajibkan menanam pohon lain sebagai pengganti.
“Semuanya harus lewat adat. Misalnya bagaimana kalau ada kayu tumbang. Apa bisa diambil begitu saja. Itu bisa saja, tetapi harus lewat musyawarah adat. Kalau menebang itu yang tidak bisa. Aturannya, kalau mau tebang harus nanam dulu.”
Pasca mendapat penetapan pengakuan sebagai sebagai masyarakat hukum adat, warga semakin percaya diri dalam mengelola hutan dengan aturan adat.
Rencana Kelola Lahan
Terkait penetapan hutan adat, warga mendapat kembali hak kelola hutan reboisasi yang selama ini dikelola oleh Dinas Kehutanan. Sekaligus, komunitas adat juga mendapat hak kontrak kerjasama bagi hasil pengelolaan hutan pinus seluas 100 hektar dari sebuah perusahaan swasta.
Dalam kerja sama tersebut, pihak adat mendapat bagian Rp800/kg getah pinus sadapan. Dalam sebulan hasil sadapan 6 ton lebih, yang berarti mereka memperoleh Rp5 juta dari uang bagi hasil.
“Dari yang Rp800 dibagi lagi. Rp500 untuk adat, Rp300 untuk Pemerintah Desa. Untuk bagian adat dimusyawarahkan kembali. Bisa untuk membangun kampung atau membantu warga yang membutuhkan.”
Pasca penetapan, warga berencana mengelola lahan-lahan yang selama ini tidak produktif. Luasnya sekitar 5 hektar. Lahan ini rencananya akan ditanami durian, pala, dan kopi.
Untuk kelola lahan ini, warga memperoleh komitmen bantuan dari pihak Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah (BPSKL) Sulawesi sebesar Rp50 juta. Bantuan ini akan mereka gunakan untuk membeli bibit tanaman.
Meskipun telah menjadi Hutan Adat, Peter menyebut pemerintah tetap melakukan pengawasan melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten. Dia bilang ini tak jadi masalah, karena tujuannya untuk mempertahankan kelestarian hutan.
“Hal yang dibahas, misalnya aturan penyadapan [getah pinus]. Siapa tahu ada yang menyalahi aturan dari KPH. Kalau tekanan dari kehutanan sudah tak ada lagi,” sambungnya.
Wakil Bupati Enrekang, Asman, menyambut baik capaian Hutan Adat Komunitas Adat Marena.
Dia bilang sejak lahirnya Perda Nomor 1/2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Enrekang, proses pengakuan masyarakat adat terus dilakukan. Hasil positif katanya banyak dicapai, termasuk peningkatan ekonomi masyarakat.
“Sekarang sudah ada 6 komunitas yang diakui. Dua di antarannya telah mendapat pengakuan Hutan Adat, yaitu Marena dan Orong. Semoga yang empat komunitas lagi segera menyusul pengakuannya,” tuturnya.