Setiap budaya memiliki keunikan masing-masing, salah satunya Toraja. Nama suku yang hidup di bukit berpegunungan di Sulawesi Selatan yang memiliki ritual pemakaman yang paling terkenal. Meski acara ritual ini semakin berkurang kini, nilai sakralnya menunjukkan alam kosmos orang Toraja, memandang hubungan transendental relasi manusia dengan pencipta, menggambarkan konsep alam semesta, serta mengantarkan pada perpindahan alam dunia [pengantar redaksi]
Suara nyanyian serupa ratapan mengisi pekarangan kompleks Tongkonan Ratte Pa’tondon. Para lelaki yang melingkar itu menari tanpa musik. Mereka menyanyikan ratapan kesedihan sembari memadahkan riwayat hidup orang yang telah meninggal.
Tarian ini disebut Ma’badong, penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dengan dilaksanakannya Ma’badong, dimulailah rangkaian upacara Rambu Solo’ bagi Almarhum Yusuf Somba, seorang tokoh adat terkemuka di saat hidupnya.
Rambu Solo’ sendiri berarti pesta adat pemakaman masyarakat Toraja. Maknanya mengantarkan arwah ke tempat peristirahatannya. Bagi orang Toraja, kematian bukan suatu yang ditakuti, tetapi harus dirayakan, karena berarti mengantarkan seseorang ke alam barunya setelah selesai waktunya hidup di dunia.


Upacara ini terkenal megah dan memakan biaya yang sangat besar. Biasanya, keluarga penyelenggara harus menunggu kesiapan finansial untuk melangsungkan Rambu Solo’. Selama menunggu jenazah diawetkan terlebih dahulu dengan ramuan dedaunan khusus, -semacam ramuan formalin, lalu disimpan di rumah Tongkonan (rumah adat Toraja).
Keunikan dari adat Toraja adalah, sebelum Rambu Solo’, yang mati tidak disebut meninggal, tapi dianggap sebagai orang sakit. Bagi bangsawan kasta tertinggi (tana’bulaan), yang mati akan dibuatkan tau-tau, yaitu patung representasi dirinya. Tau-tau harus dibuat mirip dengan sang jenazah.


Di sekitar kompleks tongkonan, terdapat pondok-pondok bambu untuk tempat tinggal keluarga yang datang. Terdapat juga puluhan kerbau (tedong) dan hewan-hewan lain seperti rusa dan kuda yang akan dipotong pada upacara hari selanjutnya. Bagi bangsawan tinggi, sedikitnya 24 ekor kerbau harus dikorbankan sebagai syarat.
Pada Rambu Solo’ Alm. Yusuf Somba yang saya hadiri, akan dipotong lebih dari 40 ekor kerbau, yang semuanya disediakan oleh keluarga sanak saudaranya. Bukan sembarang kerbau, tapi variasi ukuran, bentuk tanduk, dan corak kerbau yang dipilih akan menunjukkan prestise dan derajat keluarga.
Seusai Ma’badong, makan siang dilangsungkan. Makanan yang disajikan adalah Pa’piong, yaitu daging babi yang dimasak dengan rempah-rempah dan dibakar di dalam bambu. Minuman yang disajikan adalah tuak sulingan sendiri dari palem yang disadap di pekarangan Tongkonan.


Rangkaian acara dilanjutkan dengan Mappalao, yaitu arak-arakan jenazah. Peti jenazah, tau-tau, dan erong (semacam keranda berbentuk perahu) diarak keliling kampung. Seluruh anggota keluarga berbaris di depan, memegangi secarik kain merah panjang yang diikatkan pada peti jenazah.
Arak-arakan berjalan diiringi tabuhan gong dan dipimpin oleh anak-anak yang membawa semacam umbul-umbul bambu. Kerbau-kerbau yang akan dikorbankan juga didandani dan berjalan di depan rombongan.
Setelah mengelilingi kampung, tibalah rombongan di arena Mappasilagatedong. Sesuai namanya, Mappasilagatedong adalah acara tontonan adu kerbau. Kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu satu sama lain, ditonton oleh warga kampung sekitar.
Seusai Mappasilagatedong, peti jenazah diarak kembali ke Tongkonan. Dengan ini, berakhirlah upacara Rambu Solo’ hari pertama.

* Agavia Kori, penikmat jalan-jalan, fotografi dan pengamat budaya Indonesia.