- Kelompok Noken Nanggol, dengan mayoritas anggota perempuan ini setiap hari menyusuri Kali Maro, untuk mencari jaring atau jala ikan bekas yang dibuang nelayan.
- Sampah jaring-jaring nelayan ini biasa tersangkut dan jadi ‘rumah’ bagi sampah plastik, serta bergelantungan di mangrove.
- Para perempuan mengambil jaring bekas ini, lalu dicuci, kemudian dikemas sebelum dikirim ke pembeli.
- Alat transportasi mengumpulkan jaring bekas, mereka hanya punya satu motor tua. Kelompok ini berharap, bisa punya dana beli mobil agar jangkauan luas dan bisa mengangkut lebih banyak jaring bekas.
Noken Nanggol, begitu nama kelompok usaha yang digawangi Amurudin Tamala Yolmen ini. Kelompok ini punya usaha unik, yakni, mengumpulkan sampah-sampah jaring, mencuci dan menjualnya. Noken Nanggol, diambil dari nama Suku Marind, berarti berusaha kelompok bersama.
Beberapa orang menyambut dengan senyum ramah kala saya mengunjungi rumah itu, baru-baru ini. Mereka merupakan anggota kelompok dan satu keluarga sekitar 20 orang, ditambah beberapa perempuan Suku Asmat.
Kelompok yang didominasi perempuan ini mencari bekas jaring yang banyak tergelantungan di mangrove di sepanjang Kali Maro, Merauke.
Yolmen bercerita, terkadang pencari udang dan ikan di pesisir muara ini membuang jaring hingga tersangkut sana sini, termasuk di mangrove. Sampah plastik pun biasa menumpuk di jaring ini. Bahkan, buat membersihkan sampah kadang perlu menebang mangrove terlebih dahulu.
Dia pun khawatir dan meminta warga tak menebang mangrove. Dia dan kelompoknya pun rajin mengumpulkan sampah jaring demi tak membuat masalah lebih jauh.
Setelah jaring bekas mereka kumpulkan, lalu dicuci untuk membersihkan lumpur dan lumut. Kemudian, ada Yayasan Atsef Lestari, membantu mengatur dengan mencari pembeli.
Setelah jaring bekas bersih, lalu mereka kemas dengan mesin sederhana. Jaring-jaring ada yang membeli untuk ekspor ke Eropa, seperti Slovenia, Belanda, dan Inggris.
“Rupanya, permintaan jaring bekas ini cukup tinggi di sana,” kata Yolmen.
Jaring bekas ini, katanya, untuk bahan pembuatan keset dan sepatu bola kaki, matras dengan kualitas tinggi.
Kelompok ini, awalnya hanya bermodalkan air untuk mencuci, sikat pakaian, gunting agak besar. Setelah ada Yayasan Atsef Lestari, mulai bantu mesin sederhana untuk mengemas jala bekas agar mudah dalam pengangkutan.
Kapal kecil dan besar banyak tambat di muara kali di
Kelurahan Kamahedoga ini. Wilayah seluas 491, 35 hektar ini sekarang pecah lagi karena penduduk bertambah jadi 1.519 orang dengan rincian, 765 laki-laki dan 754 perempuan.
Mata pencaharian warga, katanya, ada yang mencari ikan, udang, usaha kios, tukang ojek dan lain-lain.
Mangrove di sini terbilang padat. Hingga perumahan warga lebih banyak terlindung dari rimbunan mangrove. Ada yang sudah beton, masih banyak rumah berbentuk kayu penyanggah, beratap daun sagu.
Orang-orang ini, warga asal Suku Tanimbar, Marind, Mappi, Asmat, Bugis dan Makassar, sampai Buton. Mereka sudah lama menempati tempat ini.
Atsef, bekerja sama dengan pemerintah mengirimkan 10 ton jaring hasil cucian kelompok ini.
Kini, alat transportasi mereka buat mencari jaring hanya satu sepeda motor tua. Mereka berharap, punya transportasi seperti mobil, hingga memadai dan bisa mencari jaring bekas ke wilayah lebih jauh serta muatan lebih banyak.
Kelompok ini juga belum punya tempat cuci jaring sendiri. Selama ini, katanya, mereka menumpang gudang milik pengusaha ikan. Begitu juga mesin cuci, mereka masih pinjam. Mesin itu ada di Pelabuhan Rakyat Gudang Arang.
Stefani Amapirip, Sekretaris Kelurahan Kamahedoga mengatakan, di kelurahan itu memang ada pegiat cuci jaring yang rata-rata perempuan. Selain bermanfaat dalam menjaga lingkungan, aksi mereka juga bisa menambah penghasilan.
Dia bilang, mereka mendata potensi dan penduduk yang terjun sebagai pencari jaring bekas. Data itu, katanya, akan diberikan kepada Pemerintah Merauke, guna melihat berapa besar dana akan dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Dia bilang, mereka bisa peroleh dana tetapi perlu pendataan terlebih dahulu, apalagi kelurahan itu baru pemekaran.
“Misal [bantuan] untuk kendaraan roda empat supaya mengangkut jaring dari manapun,” kata Amapirip.
Yoseph Cabe Rembe, Kepala Bidang Tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Merauke, setuju kelompok ini membuat hal berbeda dengan mencuci jaring buangan nelayan di Gudang Arang.
Maria Kurupat, aktivis perempuan Merauke bilang, sangat mendukung kaum perempuan mencuci jaring bekas. Dia berharap, kegiatan ini berkelanjutan, bukan proyek semata. “Jangan proyek coba-coba saja, usai proyek selesai, mereka tak disiapkan.”
Yayasan Atsef, katanya, harus mendampingi kelompok ini terus, setelah kuat baru dilepas. Para pemcuci jaring pun, katanya, harus mendapatkan bayaran layak.
Keterangan foto utama: Amirudin Tamala Yolmen, ketua kelompok jaring bekas. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia