- Perdagangan satwa liar menjadi salah satu tema utama yang dibahas dalam International Conference Wildlife and Utilization in Wallacea Region di Makassar
- Tujuan konferensi ini adalah mengajak berbagai pihak untuk secara efektif terlibat dalam upaya penanggulangan perdagangan satwa liar, khususnya untuk spesies yang dilindungi seperti burung Paruh Bengkok.
- Meski tupoksi perdagangan satwa liar berada di Kepolisian dan Balai Gakum KLHK, namun instansi yang lain seperti Karantina, BKSDA, Taman Nasional dan NGO bisa berkontribusi.
- Wilayah perdagangan satwa liar di Maluku Utara cakupannya luas sekali, terpisah oleh banyak pulau-pulau besar dan kecil, yang bagi pelaku menjadi tantangan sekaligus sebuah kemudahan. Sementara untuk aparat untuk melakukan penindakan selalu ada kendala dengan wilayah yang begitu luas dengan kapasitas aparat yang terbatas.
- Pelaksanaan konferensi dan lokakarya ini juga diharapkan bisa memberi wawasan dan menyamakan persepsi berbagai pihak, serta bisa menjadi sarana informasi untuk memperkuat jaringan.
Perdagangan satwa liar menjadi salah satu tema utama yang mengemuka dalam International Conference Wildlife and Utilization in Wallacea Region, yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan Burung Indonesia, di Hotel Dalton, Makassar, Kamis – Jumat (22-23/08/2019).
Kegiatan yang mengangkat tema “Harmonizing Human – Wildlife Relationship for Sustainable Enviromental Management in Wallacea Region” ini diikuti oleh 320 pemateri dari berbagai kalangan, seperti akademisi, instansi pemerintah dan NGO.
Konferensi yang dilanjutkan dengan lokakarya ini menghasilkan sejumlah rumusan terkait peredaran dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Hasil rumusan menunjukkan perlunya upaya serius dalam rangka mencegah perdagangan satwa liar.
Sejumlah masalah yang mengemuka antara lain adanya ratusan ekor berbagai jenis burung Paruh Bengkok di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi yang upaya pelepasliarannya masih terkendala regulasi. Upaya fasilitasi dan sosialisasi perlu dilakukan untuk instansi-instansi terkait, khususnya di Maluku Utara.
Masalah lain adalah kurangnya jaringan pengawasan di jalur perdagangan dengan transportasi laut dan darat untuk mengangkut satwa dari daerah sumber ke daerah tujuan.
baca : Perdagangan Satwa Ilegal Ada di Sekitar Kita, Begini Kondisinya
Menurut Team Leader Regional Implementation Team Program Kemitraan Wallacea, Adi Widyanto, tujuan kegiatan ini adalah mengajak berbagai pihak untuk secara efektif terlibat dalam upaya penanggulangan perdagangan satwa liar, khususnya untuk spesies yang dilindungi seperti burung Paruh Bengkok.
“Kita ketahui bersama bahwa kawasan Wallacea ini kan ada banyak jenis yang mendapatkan eksploitasi, baik perburuan ataupun perdagangan, sehingga kita ingin bekerja lebih kolaboratif dengan para pihak, supaya bisa lebih efektif menangani isu tersebut. Kalau bekerja sendiri-sendiri itu tidak bisa, harus lintas geografi dan instansi. Wallacea itu kan terhubung satu sama lain dalam jaringan perdagangan satwa liar yang dilindungi ini,” katanya.
Bercermin dari pengalaman di Maluku Utara, lanjut Adi, wilayah perdagangan satwa liar ini cakupannya luas sekali, terpisah oleh banyak pulau-pulau besar dan kecil, yang bagi pelaku menjadi tantangan sekaligus sebuah kemudahan. Sementara untuk aparat untuk melakukan penindakan selalu ada kendala dengan wilayah yang begitu luas dengan kapasitas aparat yang terbatas.
“Dari pengalaman kami di Maluku Utara dengan mengandalkan berbagai macam instansi yang punya tupoksi terkait hal itu, kemudian yang terkait langsung atau tidak dan dengan adanya masyarakat sipil dan volunter yang dilatih, masyarakat dilibatkan, akan lebih mempersempit ruang gerak para penyelundup ini jaringan perdagangan satwa ilegal ini.”
Menurutnya, meski tupoksi akan hal ini berada di Kepolisian dan Balai Gakum KLHK, namun instansi yang lain seperti Karantina, BKSDA, Taman Nasional bisa berkontribusi, begitu juga dengan LSM dan masyarakat. Bisa memperoleh informasi ada kejadian kepemilikan atau pengangkutan satwa-satwa yang dilindungi.
baca juga : Kementerian Lingkungan Perkuat Pengawasan Perdagangan Satwa Liar Lewat Sosial Media
Adi selanjutnya menyatakan komitmen Burung Indonesia dan NGO lain untuk terus mengajak masyarakat dan volunter untuk peduli terkait hal ini.
“Kadang-kadang hal teknis diperlukan misalnya gambar satwa yang dilindungi dan tidak dilindungi itu seperti apa. Itu penting sekali untuk volunter untuk bisa mengidentifikasi secara cepat dan melaporkan sehingga laporan bisa lebih valid.”
Adi menyampaikan bahwa laporan yang bersifat umum akan sulit untuk ditindaklanjuti, sehingga harus tahu jenis satwa yang dimaksud.
“Memang sekarang lebih jelas atau seluruh Paruh Bengkok di Wallacea dilindungi oleh P106 (Peraturan Menteri LHK No.P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan Dilindungi), sehingga semua yang terkait Paruh Bengkok, kecuali lembaga-lembaga yang memiliki izin, maka itu patut dicurigai,” katanya.
perlu dibaca : Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Menggila, Polisi: 41 Ekor Komodo Sudah Dijual ke Luar Negeri
Permasalahan Tiga Koridor
Lokakarya yang diselenggarakan di hari kedua ini dilakukan melalui pembagian peserta dalam tiga koridor, yaitu Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.
Di koridor Sulawesi, merekomendasikan pentingnya pendekatan di hulu dan hilir dalam mencegah praktik perdagangan satwa dan tumbuhan liar. Di hulu atau tingkat tapak yang berada di sekitar kawasan konservasi perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi, penangkaran dan wisata alam.
“Sedang di hilir atau di kota upaya yang bisa dilakukan adalah edukasi melalui kampanye dan penyuluhan ke masyarakat,” kata Adi.
Selain itu, di hilir juga diperlukan pengetatan pengawasan akan peredaran satwa liar, terutama di titik rawan, seperti pelabuhan dan bandara.
Kedua, diperlukan adanya sinergitas dan kerja sama lintas sektor untuk tindakan preventif dan penegakan hukum. Ketaatan dan respek terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, serta harmonisasi peraturan dan kebijakan terkait wildlife trade khususnya teresterial dan aquatic animal.
Ketiga, praktik cerdas yang ada di masyarakat tingkat tapak diintegrasikan dalam peraturan dan ketentuan. Perdes dan kearifan tradisional tetap menjadi pedoman oleh masyarakat lokal untuk upaya pemanfaatan SDA dan satwa liar secara berkelanjutan.
Keempat, illegal online Wildlife Trade diatasi melalui cybercrime atau cyber patrol dengan dukungan teknologi informasi. Aksi ini didukung dengan penguatan Wildlife Enforcement Network yang sifatnya gugus tugas lintas sektor.
Untuk koridor Nusa Tenggara salah satu poin penting hasil diskusi adalah merekomendasikan perlu adanya kerja sama antara Dirjen KSDAE dengan Dirjen Hubungan Laut untuk mengurangi peredaran tumbuhan dan satwa liar melalui pelabuhan-pelabuhan dan juga dengan Balai Karantina.
baca juga : KLHK Bongkar Jaringan Perdagangan Satwa Dilindungi di Sulawesi Utara
Menyamakan Persepsi
Konferensi ini menyajikan persentase paper dari peserta yang membahas terkait lima topik utama yakni Wildlife Hunting and Trade in Wallacea Region, Ethno Biology Studies in Wallacea Region, Conflicts, Policies and Law Enforcement on Wildlife (Plants and Animals) Utilization Occurred in Wallacea Region, Captive Breeding and Domestication of Wild Plants and Animals of Wallacea Region, General Topic: Forest and Conservation Wallacea Region.
Pelaksanaan konferensi dan lokakarya ini diharapkan bisa memberi wawasan dan menyamakan persepsi berbagai pihak, serta bisa menjadi sarana informasi untuk memperkuat jaringan.
“Saya percaya kegiatan ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan baru dan menyamakan persepsi kita semua. Semoga akan ada hasil yang lebih baik dari kegiatan yang kita lakukan,” ungkap Yusran Yusuf, Dekan Fakultas Kehutanan Unhas, dalam sambutannya.
Risma Illa Maulany, Ketua Panitia kegiatan ini, menjelaskan bahwa konferensi internasional ini membahas perdagangan tumbuhan dan satwa liar serta pemanfaatannya di kawasan regional Wallacea.
Risma menambahkan bahwa kegiatan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui riset-riset yang telah dilakukan oleh berbagai elemen, baik dari pihak pemerintah maupun akademik terkait tumbuhan dan satwa langka di kawasan Wallacea.
“Kawasan Wallacea adalah kawasan dengan penyuplai endemik terbanyak dalam hal perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Kegiatan ini kita selenggarakan dengan tujuan untuk mengetahui tumbuhan dan satwa liar di sana. Dengan demikian, kita mengetahui apakah ada flora maupun fauna yang krisis jumlah atau hampir punah. Sehingga ada upaya pencegahan dan penanggulangan yang bisa dilakukan,” jelasnya.
Sebagai Keynote Speaker dalam kegiatan ini adalah Rasio Ridho Sani, dari Direktorat Jenderal Penegak Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK. Sementara sebagai invited speaker, Colin R. Trainor dari Lembaga Penelitian Lingkungan, Australia dan Micha R. Fisher dari Universitas Hawaii di Manoa.