- Budayawan masyarakat Betawi, Ridwan Saidi, menyatakan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berkedudukan di Palembang pada abad ke-7 adalah fiktif atau bohong. Pernyataan ini mendapat banyak reaksi.
- Ada tiga dampak besar bagi Indonesia jika Kerajaan Sriwijaya itu fiktif. Pertama, lemahnya posisi Indonesia dalam mengembangkan skema ekonomi kemaritiman di Asia karena tidak memiliki pijakan sejarah. Terkalahkan Tiongkok yang diyakini memiliki sejarah sebagai pelopor jalur sutra maritim. Kedua, Bangsa Indonesia kehilangan pegangan nilai melawan kesadaran kolonialisme yang sudah merusak sumber daya alam dan manusia Indonesia. Ketiga, wilayah kedaulatan Republik Indonesia saat ini berdasarkan wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, didukung wilayah kekuasaan Majapahit dan sejumlah kesultanan.
- Nilai-nilai luhur Kerajaan Sriwijaya saat ini tergerus, perlu upaya menghidupkan kembali melalui lembaga pendidikan dan didorong sebagai dasar pemikiran pembangunan Indonesia.
- Ada sembilan prasasti yang menjadi bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Indonesia, khususnya di Palembang.
Pernyataan Ridwan Saidi, budayawan masyarakat Betawi, yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya yang pernah beribu kota di Palembang pada abad ke-7 adalah fiktif, cukup mengejutkan. Menimbulkan banyak reaksi para sejarawan, arkeolog, hingga masyarakat yang selama ini menyakini adanya Kerajaan Sriwijaya.
Tapi, pernyataan Ridwan Saidi sebagai opini itu tidak disalahkan, sebab dia memiliki sumber sejarah yang diyakininya. Lalu, apa dampaknya jika Kerajaan Sriwijaya benar-benar fiktif?
Sejumlah pekerja budaya dan pegiat lingkungan hidup di Palembang, kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya beberapa abad, memberikan tiga dampak jika pernyataan Ridwan Saidi tersebut terbukti atau dipercaya.
“Pertama, jika Kerajaan Sriwijaya itu fiktif dan diyakini pihak internasional maupun sebagian orang Indonesia, maka posisi tawar Indonesia dalam memaknai pengembangan jalur ekonomi kemaritiman di Asia Tenggara dan internasional menjadi lemah. Skema pun beranjak dari sejarah kemaritiman yang pernah dikembangkan bangsa lain seperti Tiongkok dengan jalur sutranya,” kata Conie Sema, pekerja seni dan budaya di Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Senin [02/9/2019].
“Indonesia tidak akan lagi berdaulat di laut. Sebab, kita tidak memiliki nilai-nilai luhur dalam menjaga kekayaan darat dan laut. Sriwijaya yang saya ketahui sebagai kerajaan, mampu menjaga laut atau kemaritiman Nusantara,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, Senin.
Baca: Adanya Kapal Kuno Buktikan Indonesia Penguasa Lautan Asia. Benarkah?
Budi Wiyana, arkeolog lahan basah yang juga Kepala Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan, tiga tahun lalu kepada Mongabay Indonesia, menjelaskan Bangsa Indonesia atau Nusantara yang kali pertama menguasai jalur maritim Asia. Ini dibuktikan dari sejarah perkapalan. Kapal atau perahu di Indonesia usianya jauh lebih tua dibandingkan kapal atau perahu di Tiongkok.
Selain itu, sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya, bangsa di Nusantara telah melakukan pelayaran ke berbagai wilayah di dunia. Bukti lainnya, Kekaisaran Tiongkok belum pernah mampu menaklukkan kerajaan di Nusantara, termasuk Kerajaan Sriwijaya, karena armada laut Tiongkok jauh lebih lemah dibandingan armada laut kerajaan di Nusantara.
Bambang Budi Utomo, arkeolog lahan basah dari Pusat Arkeologi Nasional dalam artikelnya “Di Zaman Sriwijaya Kedaulatan di Laut Sudah Ditegakkan” mengatakan di zaman Sriwijaya kedaulatan laut tersebut ditunjukan kapal-kapal yang mendistribusikan barang antarpulau di Nusantara harus menggunakan “bendera” Sriwijaya.
Pada abad ke-7, “tol laut” sudah dikembangkan Kerajaan Sriwijaya, yang menghubungkan Palembang [Sriwijaya] dengan Guangdong [Tiongkok]. Pelabuhan singgahnya di Natuna. Komoditi perdagangan ini disalurkan Sriwijaya ke Kalimantan Barat dan Jawa. Siapa pun yang hendak berdagang di perairan Sriwijaya harus menggunakan kapal Sriwijaya.
Baca: Indonesia Harus Dalami Identitas Nusantara di Masa Lalu
Kedua, jika Kerajaan Sriwijaya fiktif maka bangsa Indonesia kehilangan pegangan nilai untuk melawan kesadaran kolonialisme yang sudah merusak sumber daya alam dan manusia Indonesia. “Misalnya, nilai-nilai yang arif dengan lingkungan, egaliter, terbuka, dan kesetiaan,” kata Conie.
Prasasti Talang Tuwo itu mengajarkan bagaimana posisi manusia menyikapi alam semesta, lingkungan hidup. Yang saya pahami, Prasasti Talang Tuwo menyadarkan manusia agar sadar, alam semesta ini bukan hanya untuk manusia, juga untuk makhluk hidup lainnya. Manusia harus menjaganya, agar selamat dunia dan akhirat.
“Jika Sriwijaya itu fiktif, berarti bukan nilai-nilai Prasasti Talang Tuwo yang menjaga tanah dan air di Nusantara sebelum dihancurkan para penjajah,” kata Muhammad Hairul Sobri.
Ketiga, terkait wilayah kedaulatan Republik Indonesia. “Sebab yang saya pahami selama ini, wilayah kesatuan Republik Indonesia berdasarkan kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, yang didukung wilayah kekuasaan Majapahit dan sejumlah kesultanan. Jika Kerajaan Sriwijaya fiktif, maka sejumlah wilayah di Indonesia dapat memisahkan diri karena alasan sejarah,” lanjut Conie.
Jadi, Conie sangat yakin dengan keberadaan Kerajaan Sriwijaya. “Banyak sumber sejarah yang dapat dipakai untuk membuktikan Kerajaan Sriwijaya itu ada. Pernah membentuk suku bangsa di Nusantara, khususnya di Indonesia, baik secara arkeologi, catatan naskah, maupun lainnya,” katanya.
Baca: Opini: Amanat Prasasti Talang Tuo dan Taman Sriwijaya untuk Kemakmuran Makhluk Hidup
Terkait opini itu, Conie berharap Ridwan Saidi memberikan bukti penelitian yang menyangkal sejumlah prasasti dan naskah sejarah yang membenarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Indonesia, khususnya di Palembang.
“Kalau hanya membangun narasi baru seperti itu belumlah kuat. Dia harus membuktikan bukti secara ilmiah jika prasasti dan catatan itu palsu atau replika,” kata Conie, yang menulis sejumlah novel dan mementaskan sejumlah naskahnya bersama Teater Potlot.
Persoalannya, saat ini nilai-nilai tersebut mulai terkikis dari peradaban bangsa Indonesia, misalnya soal kearifan manusia terhadap lingkungan. Baik di darat maupun lautan. Jadi, sangat penting bagi pemerintah pada saat ini mengenalkan dan membangunkan kembali nilai-nilai tersebut, misalnya adanya jurusan atau lembaga kajian khusus Kerajaan Sriwijaya di perguruan tinggi, dan mata pelajaran wajib di sekolah dasar hingga menengah.
“Minimal di wilayah yang memiliki keterkaitan kuat dengan sejarah Sriwijaya, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi,” kata Conie.
“Kalau saya, seharusnya nilai-nilai luhur Kerajaan Sriwijaya yang harus dipegang Pemerintahan Indonesia saat ini. Dengan begitu, Indonesia berdaulat di darat dan laut,” tutur Muhamamd Hairul Sobri.
Dilanjutkannya, jejak nilai-nilai luhur Kerajaan Sriwijaya terkait kearifan lingkungan masih dirasakan di berbagai suku bangsa di Indonesia. “Misalnya, tidak mengambil hasil alam berlebihan. Hasil alam yang berlebih agar tidak mubazir diolah dalam bentuk fermentasi, ada ikan asin, ikan sale, serta menanam dan menjaga sejumlah tanaman yang menjaga air,” paparnya.
Baca juga: Talang Tuo, Prasasti yang Mengajarkan Pemimpin Indonesia Menjaga Bumi
Beberapa bukti Kerajaan Sriwijaya
Bukti Kerajaan Sriwijaya, selama ini tertera berdasarkan tujuh prasasti yang ditemukan di Palembang, Pulau Bangka, Lampung dan Jambi, serta di Thailand dan Nalanda, India.
Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini yang menjadi patokan adanya Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Prasasti yang ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Pallawa ini ditemukan di 35 Ilir Palembang. Isinya menceritakan Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci dan menaklukkan sejumlah wilayah, yang kemudian mendirikan sebuah wanua atau kota di lokasi prasasti. Prasasti dibuat pada 682 Masehi.
Prasasti Talang Tuwo. Prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Melayu dengan hurup Pallawa ini berangka tahun 684 Masehi, ditemukan pada 1920 di Talang Tuwo, Talang Kelapa, Palembang. Isinya tentang perintah terhadap manusia untuk menjaga keseimbangan alam melalui pembangunan Taman Sri Ksetra.
Prasasti Telaga Batu. Ditemukan di sekitar Kuto Gawang, 3 Ilir, Palembang, pada 1935. Ada dua Prasasti Telaga Batu ini. Isinya tentang struktur pemerintahan dan masyarakat, serta kutukan terhadap mereka yang berbuat jahat di Kedatuan Sriwijaya. Ditulis dalam Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa. Pada saat itu juga ditemukan 30 buah Prasasti Siddhayatra.
Prasasti Kota Kapur. Prasasti ini ditemukan pada 1892 di Kota Kapur, Pulau Bangka. Ditulis menggunakan bahasa Melayu dan aksara Pallawa. Isinya, kutukan terhadap mereka yang melanggar atau berkhianat dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah. Ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung. Diduga dibuat abad ke-7, menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, kutukan terhadap mereka yang tidak tunduk dengan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit. Ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung. Ditulis menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa pada 997 Masehi. Namun, isinya sulit dibaca karena mengalami kerusakan.
Prasasti Berahi. Prasasti menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa ini, ditemukan di tepi Sungai Batang Merangin, Karang Berahi, Merangin, Jambi, pada 1904. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, Palas Pasemah, yakni tentang kutukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan atau tidak setia dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Ligor. Prasasti ini ditemukan di Nakhon Si Tahmmarat, Thailand. Prasasti yang kemungkinan dibuat pada 775 Masehi ini memiliki dua sisi. Sisi pertama menyebutkan Prasasti Ligor atau manuskrip Viang Sa yang menyebutkan raja semua raja di dunia. Sisi kedua tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti ini menggunakan aksara Kawi.
Prasasti Leiden. Prasasti ini ditulis menggunakan Bahasa Sansakerta dan Tamil pada lempengan tembaga yang menyebutkan hubungan baik Dinasti Chola dari Tamil dengan Dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
Bukti lainnya, seperti catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang melakukan perjalanan ke Kerajaan Sriwijaya pada 651 Masehi. Perjalanannya dari Guangzhou, Tiongkok, ke Sriwijaya selama 20 hari. Lalu, berita dari Arab yang mengisahkan Raja Sriwijaya yang kaya emas, serta korespondensi Raja Sriwijaya di masa Sri Indravarman dengan kekhalifahan Umar bin Abdul Azis.