- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun sedang menyiapkan tim kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) guna melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan ibu kota baru. KLHK menargetkan, KLHS bisa selesai dalam dua bulan.
- Saat ini, BMKG bersama kementerian dan lembaga terkait menyiapkan sistem monitoring gempa dan langkah-langkah mitigasi gempa bumi dan tsunami yang lebih mumpuni. Tujuannya, menjaga keselamatan masyarakat dan keberlanjutan perekonomian di calon wilayah ibu kota baru itu.
- Dari sisi risiko bencana, seperti gempa dan tsunami calon ibu kota baru relatif rendah. Meski demikian, risiko bencana di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, bisa diminimalisir kalau pemerintah mempersiapkan rancangan tata ruang yang memperhatikan aspek lingkungan hidup dan sesuai dengan kaidah.
- Rencana tata ruang wilayah provinsi, kota/kabupaten perlu revisi dengan penyesuaian antara lain, peruntukan lahan milik negara, persoalan batas wilayah, antisipasi konflik sosial, serta dampak dan kapasitas daya dukung lingkungan. Pendekatan pembangunan ibu kota baru harus berbasiskan alam dengan memperhatikan soal deforestasi, penanaman pohon kembali, dan merestorasi ekosistem hutan bakau serta gambut berbasis masyarakat.
Presiden Joko Widodo, sudah mengumumkan , Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, terpilih sebagai lokasi ibu kota negara Indonesia yang baru. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun sedang menyiapkan tim kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) guna melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan ini.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, dengan KLHS, akan ada kajian antara kebijakan dan rencana-rencana, serta program-program berdasarkan kondisi lapangan.
Kalimantan Timur, katanya, memiliki ekosistem unik dan karena itulah harus memastikan tindakan tetap menjaga ekosistem berkesinambungan. Konsep ibukota, ala presiden, katanya, sekaligus bertujuan memperbaiki lingkungan.
Soal lokasi, Siti belum bicara secara spesifik, tetapi mengungkapkan, kalau lahan yang terpakai merupakan hutan produksi yang terbebani izin. Pemegang izin, katanya, harus mengikuti dan menaati perubahan kebijakan pemerintah (negara) yang merupakan kewenangan ekstraktif negara.
”Berarti pemegang izin di hutan produksi harus mengitu. Terpenting, dalam penyelenggaraan kewenangan ini negara tak bersifat sewenang-wenang,” katanya.
Karena status kawasan ini dikelola pemegang izin, kata Siti, maka tidak ada kewajiban dari pemerintah untuk ganti rugi. Menurut PP Nomor 104/2015, kawasan hutan produksi dapat berubah sesuai perencanaan dan alokasi yang diperlukan pemerintah.
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanann menyebutkan, perusahaan akan merevisi rencana kerja usaha/rencana kerja tahunan untuk menyesuaikan kebutuhan pembangunan ibukota.
Dia bilang, KLHS ibu kota baru selesai dalam dua bulan ke depan dan dibentuk melalui surat keputusan Menteri LHK. ”Aspek lingkungan tetap jadi prioritas dalam pembangunan ibukota baru. Dari KLHS akan terlihat dari segi tata ruang,” katanya.
Sebelumnya, presiden mengarahkan, pemindahan ibu kota sekaligus memperbaiki Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto. Selain itu, salah satu masalah terbesar Kalimantan Timur, banyak lubang-lubang bekas tambang batubara. Siti bilang, rencana pemindahan ibu kota dapat jadi salah satu jalan penyelesaian masalah.
Rencana matang dan kehati-hatian
Nirwono Joga, Peneliti Pusat Studi Perkotaan mengatakan, banyak pekerjaan rumah yang harus disiapkan dalam pemindahan ibu kota agar terencana matang, penuh kehati-hatian dan berkelanjutan.
Pertama, perlu ada peninjauan dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi, kota/kabupaten. ”Penyesuaian rencana tata ruang, peruntukan lahan milik negara, persoalan batas wilayah, antisipasi konflik sosial, serta dampak dan kapasitas daya dukung lingkungan merupakan beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dalam merevisi RTRW,” katanya.
Dia mengingatkan, Kalimantan paru-paru dunia. Pendekatan pembangunan berbasiskan alam harus dengan memperhatikan tingkat deforestasi, penanaman pohon kembali, serta merestorasi ekosistem hutan bakau dan gambut berbasis masyarakat.
”Pemindahan ibu kota negara adalah keputusan politik bersama yang memerlukan pemikiran panjang dan penuh kehati-hatian.”
Keberadaan ibu kota baru diharapkan akan meningkatkan pengelolaan pemerintah pusat yang efisien dan efektif. Ibu kota baru akan dirancang dengan konsep smart, green, dan beautiful city. Ada 10 indikator dalam mewujudkan hal itu, yakni, perencanaan dan perancangan kota aman, inklusif, tangguh, berkelanjutan, penyediaan ruang terbuka hijau minimal 30%; pengembangan transportasi ramah lingkungan; pengelolaan suber daya air secara lestari; pengolahan sampah dan limbah.
Selain itu, katanya, kota menerapkan persyaratan bangunan hijau cerdas, pemanfaatan energi terbarukan, dan pemberdayaan masyarakat/komunitas.
Kota, katanya, harus mendorong pertumbuhan ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. ”Kota dirancang menjadi layak huni dan berkelanjutan.”
Pengembangan pusat kota, kata Nirwono, harus berbasis pergerakan manusia yang berdasarkan 6D, yakni, destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), serta demand management (mengelola kebutuhan).
Pemindahan ibu kota, katanya, tidak serta merta menghentikan pembangunan di Jakarta dan sekitar, sebagai pusat ekonomi dan bisnis.
Rencana pemindahan ibu kota, katanya, untuk mengurangi beban Jakarta dan kota penyangga yang meliputi kota/kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota/Kabupaten Bekasi.
Pemerintah pusat dan pemda se-Jabodetabek tengah mematangkan proyek pembangunan infrastruktur yang diperkirakan memerlukan biaya Rp571 triliun untuk 10 tahun ke depan (2030), seperti proyek transportasi, air bersih, air limbah, perumahan, dan pengendalian banjir. Harapannya, pada 2030, Jabodetabek diharapkan bebas banjir, lalu lintas lancar, dan arus urbanisasi terdistribusi merata.
Tasdiyanto Rohadi, Ketua Perkumpulan Profesional Lingkungan mengatakan, penyusunan KLHS dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bukan hanya sebagai pelengkap perencanaan tetapi dasar dalam menganalisa dampak, pengelolaan dan pemantauan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Selain itu, studi atas lahan menjadi penting. “Artinya, lahan subur yang ada sebaiknya jangan jadi daerah yang dibangun. Lahan bekas tambang lebih potensial untuk daerah terbangun.”
Rohadi mengatakan, konsep reklamasi bekas tambang perlu jadi lompatan hingga lingkungan buatan ini jadi kawasan perkotaan.
Terpenting lagi, informasi kepada publik soal kajian harus lebih baik. “Peran Humas KLHK harus lebih optimal.”
Perpindahan ibu kota ini pun bisa jadi kesempatan merencanakan kota dari awal lebih baik. Sepeninggalan ibu kota negara, dia yakin memperbaiki lingkungan Jakarta makin lebih mudah karena tekanan lingkungan sudah berkurang.
Relatif aman risiko bencana, tetapi…
Sementara itu, Bernadus Wisnu Widjaja, Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat dihubungi Mongabay melalui sambungan seluler, mengatakan, lokasi calon ibukota baru relatif aman bencana.
“Jika melihat dari data-data jenis ancaman bencana,tak ada yang serius dari daerah itu. Ancaman gempa bumi rendah, ancaman risiko tsunami ada, tetapi sedikit karena alur-alur sungainya. Kemungkinan karena pengaruh dari Sulawesi,” katanya.
Meski demikian, katanya, risiko bencana di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, bisa diminimalisir kalau pemerintah mempersiapkan rancangan tata ruang yang memperhatikan aspek lingkungan hidup dan sesuai dengan kaidah.
“Itu bisa diatasi. Kemudian ancaman banjir di ujung bagian hilir sungai memang ada yang merah (rawan-red). Tetapi tak seberapa. Itu bisa dikelola dengan tata ruang. Jadi, secara umum itu aman dari ancaman bencana,” katanya.
Wisnu bilang, dalam aspek bencana, pada prinsipnya pengelolaan risiko. Saat ini, Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, dalam kondisi aman bencana. Terpenting, potensi kemunculan risiko harus diantisipasi dengan baik ke depan.
“Artinya, harus direncanakan dengan tak terlalu banyak membuka hutan dan lain-lain. Harus tetap dilestarikan hutan karena itu untuk mempertahankan bahkan meningkatkan daya dukung lingkungan.”
Ketika daya dukung lingkungan rusak, katanya, akan menyebabkan bencana. “Kalau itu bisa kita kelola sekarang dan direncanakan untuk jangka panjang, saya rasa itu akan aman.”
Untuk daerah yang sudah dipetakan berisiko terjadi banjir, kata Wisnu, sebaiknya pemerintah tidak melakukan pembangunan di lahan itu. “Bisa saja dibangun kolam atau danau untuk menampung air hingga bisa mengendalikan banjir. Sekaligus juga bisa jadi tempat wisata yang mempercantik ibukota yang baru,” katanya.
Mengenai kebakaran hutan dan lahan, kata Wisnu, kalau melihat lahan, di sana kebanyakan mineral. “Gambut lebih banyak di Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Jadi, saya kira ini bisa dikelola dengan baik.”
Soal menekan risiko bencana seminimal mungkin, katanya, semua tergantung desain tata ruang pemerintah. Dia berharap, desain tata ruang ibukota baru bisa lebih memperhatikan aspek lingkungan hidup.
“Semua bermuara di tata ruang. Ini kan seperti kanvas sudah disipkan, tinggal kita bagaimana mendesain dan membangun. Kalau mau kuat, tak ada bencana, lingkungan kita jaga dengan baik. Risiko dan tergambarkan di peta harus dikurangi dengan cara mitigasi. Risiko yang belum ada harus kita cegah.”
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers mengatakan, Kalimantan satu-satunya pulau di Indonesia dengan tingkat kegempaan relatif paling rendah.
“Meskipun di Pulau Kalimantan terdapat struktur sesar dan memiliki catatan aktivitas gempa bumi, tetapi secara umum wilayah Kalimantan masih relatif lebih aman jika dibanding daerah lain di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua yang memiliki catatan sejarah gempa merusak dan menimbulkan korban jiwa sangat besar,” katanya.
Dwikorita bilang, kondisi seismisitas Kalimantan yang relatif rendah ini berdasarkan sejumlah fakta, antara lain, pertama, wilayah Kalimamtan memiliki jumlah struktur sesar aktif jauh lebih sedikit daripada pulau-pulau lain di Indonesia. Kedua, Kalimantan cukup jauh dari zona tumbukan lempeng (megathrust), hingga suplai energi yang membangun medan tegangan terhadap zona seismogenik di sana tidak sekuat akumulasi medan tegangan zona seismogenik dengan zona lebih dekat ke tumbukan lempeng.
Ketiga, beberapa struktur sesar di Kalimantan, sudah berumur tersier hingga segmentasi banyak tidak aktif lagi dalam memicu gempa.
Untuk mengantisipasi bencana khusus di pesisir Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, yang berhadapan dengan sumber gempa, katanya, perlu ada strategi mitigasi bencana dengan menyiapkan tata ruang pantai agar masyarakat pesisir lebih aman.
“Tata ruang pemanfaatan daerah pesisir, harus berbasis mitigasi bencana. Ini penting guna mengantisipasi bencana tsunami di pantai rawan tsunami dan tangguh menghadapi tsunami,” katanya.
Selain itu, kata Dwikorita, konsep evakuasi mandiri juga menjadi pilihan tepat dan efektif dalam menyelamatkan masyarakat dari ancaman tsunami. Evakuasi mandiri dengan jadikan guncangan gempa kuat sebagai peringatan dini tsunami alami.
Menurut dia, edukasi evakuasi mandiri dan pelatihan evakuasi (drill) akan menjadi materi penting dalam kegiatan sosialisasi bagi masyarakat dan stakeholder di wilayah pantai rawan tsunami.
Masyarakat yang tinggal di zona sesar aktif dan di kawasan pesisir, katanya, harus memahami bagaimana cara selamat saat gempa bumi dan tsunami.
“Jika, tempat tinggal kita di daerah rawan, penting dan harus disiapkan langkah mitigasi, kesiapsiagaan, kapasitas masyarakat dan stakeholder, serta infrastruktur kuat untuk menghadapi gempa dan tsunami yang mungkin terjadi.”
Mohammad Sadly, Deputi Geofisika BMKG mengatakan, Kalimantan relatif lebih aman secara seismik kalau dibandingkan pulau-pulau besar di Indonesia. Meski demikian, saat ini BMKG bersama kementerian dan lembaga terkait menyiapkan sistem monitoring gempa dan langkah-langkah mitigasi gempa bumi dan tsunami yang lebih mumpuni. Tujuannya, menjaga keselamatan masyarakat dan keberlanjutan perekonomian di calon wilayah Ibukota itu.
“BMKG bersama kementerian dan lembaga lain berupaya meminimalisir sekecil mungkin risiko kebencanaan di wilayah itu dengan menyiapkan skenario mitigasi bencana yang tepat, terpadu, dan berkesinambungan,” kata Sadly.
BMKG pun terus memperkuat sistem monitoring gempa bumi di seluruh Indonesia. Pada 2019, BMKG akan memasang sensor gempa 194 unit, pada 2020, 154 unit untuk merapatkan jaringan monitoring gempa nasional termasuk di Kalimantan. Tidak hanya itu, pada 2020, BMKG juga merencanakan pembangunan 300 sarana penyebarluasan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami warning receiver system (WRS) di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantan.
Menurut Sadly, sarana penyebarluasan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami ini sangat penting, agar informasi dan peringatan dini BMKG segera ditindaklanjuti pemerintah daerah.
Sebenarnya, gempa bumi tak membunuh dan melukai. Justru bangunanlah yang membunuh dan melukai manusia. Untuk itu, katanya, pekerjaan rumah utama menghadapi gempa adalah menyiapkan bangunan yang memiliki struktur kuat dan tahan gempa.
“Potensi bahaya gempa bumi harus diantisipasi dengan menerapkan building code ketat dalam membangun struktur bangunan. Bangunan tahan gempa bumi wajib di daerah rawan gempa,” katanya.
Untuk perencanaan dan pengembangan wilayah aman gempa bumi dan menjadi acuan dalam membangun bangunan tahan gempa, mikrozonasi seismik oleh BMKG sangat penting. Kegiatan mikrozonasi penting karena dapat mengidentifikasi zona rentan gempa bumi.
Di zona rentan inilah, upaya penguatan struktur bangunan supaya tetap aman meskipun terjadi gempa.
Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menyebutkan, dua kabupaten calon ibukota itu aman ancaman gempa. ”Ada sumber gempa, tapi di wilayah utara di Berau dan Kutai Timur serta selatan di Paser,” katanya seraya bilang, sesar aktif pun tak ada.
Gempa pernah terjadi masih tergolong rendah, antara 3-5 magnitudo.
Dia menekankan, pemukiman hingga wilayah perkantoran dan pemerintahan harus pada pengendalian tata ruang berbasis risiko bencana. Yang harus jadi pertimbangan juga, katanya, bukan mengukur potensi bencana yang akan terjadi, namun membangun langkah mitigasi.
Senada dikatakan Widjo Kongko, peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dia menyebutkan, risiko ancaman gempa dan tsunami di ibu kota baru relatif rendah hingga sedang. Dia bilang, tidak ada sesar aktif yang bisa menimbulkan gempa bumi seperti di beberapa kawasan Jawa dan Sumatera.
Meskipun begitu, ada dampak dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan yang harus kajian lebih lanjut.
Keterangan foto utama: Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim