- Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera, menyebabkan, kualitas udara tak sehat bahkan berbahaya. Sesuai pemantauan BMKG, partikel udara makin buruk, sampai kategori sangat berbahaya.
- Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan, karhutla sulit padam dan asap pekat, salah satu karena gambut terbakar luas. Kalau menganalisis luasan kebakaran gambut pada 2015 dan 2019, memiliki porsi hampir sama. Pada 2015, porsi kebakaran gambut mencapai 29% dari luasan. Pada 2019, porsi kebakaran gambut 27% dari luasan hingga Agustus.
- Yayasan Auriga menilai, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kurang terbuka dalam pelaksanaan restorasi terutama di konsesi perusahaan.
- Dari laporan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, KLHK, area perusahaan terbakar beberapa milik Malaysia dan Singapura. Walhi mengatakan, diplomasi Pemerintah Indonesia mestinya mampu menekan pemerintah Malaysia dan Singapura.
Hastag #RiauDibakarBukanTerbakar, ramai beredar di media sosial. Pada 13 September 2019, hastag itu menempati lima besar topik trend di Twitter. Ia muncul dari kegelisahan warga Riau karena kabut asap kebakaran hutan dan lahan begitu pekat hingga kulitas udara buruk, bahkan berbahaya. Kebakaran hutan dan lahan terutama, gambut terus berulang, dan susah padam.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, selama September 2019, konsentrasi partikel udara, PM10 menunjukkan di bawah nilai ambang batas (NAB), namun konsentrasi harian terus meningkat. Terutama pada 12-13 September 2019, melonjak melebihi NAB, yakni, 478 mikrogram permeter kubik alias sudah sangat berbahaya.
Berbagai protes dari masyarakat muncul, salah satu lewat meme alat ISPU milik Dinas Lingkungan Hidup Riau viral dengan tulisan indikator ”Tinggalkan Riau!!”
Begitu pula di Kalimantan, konsentrasi harian di Pontianak (Kalimantan Barat) dan Sampit (Kalimantan Tengah ) juga mengalami peningkatan, pada 13 September 2019, tertinggi mencapai 550 mikrogram perm3.

Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Barat, misal, berulang kali menyerukan kepada warga melalui akun media sosialnya, agar mengurangi aktivitas di luar rumah karena kabut asap. Pada Minggu (15/9/19), status Facebook-nya, meminta maaf kepada warga atas nama pemerintah, karena kualitas udara Kalbar, tak sehat dampak karhutla.
”Kenapa makin hari makin meningkat? Tingkat ketebalan asap dan polutan makin tinggi?” kata Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat konferensi pers Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan, di Jakarta, Jumat (14/9/19).
Kondisi ini, menurut Doni, karena curah hujan nyaris tak ada dan lahan gambut terbakar luas. ”Mencapai 89.563 hektar dari total 328.724 hektar terbakar hingga akhir Agustus 2019,” katanya.
Dia bilang, luas kebakaran gambut paling luas di Riau (40.553 hektar), Kalimantan Tengah (24.883 hektar), Kalimantan Barat (10.025 hektar). Karhutla juga terjadi di Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Utara dan Maluku Utara.
”Kalau kita bandingkan pada El-Nino 2015, tahun ini sepertinya tidak terlalu berbeda, meski lebih lemah. Jumlah titik api dan kebakaran juga besar,” katanya.
Berdasarkan data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), luas lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015 mencapai 2.089.911 hektar, 618.574 hektar lahan gambut dan 1.471.337 hektar non gambut.
Kalau menganalisis luasan kebakaran gambut pada 2015 dan 2019, katanya, memiliki porsi hampir sama. Pada 2015, porsi kebakaran gambut mencapai 29% dari luasan. Pada 2019, porsi kebakaran gambut 27% dari luasan hingga Agustus.
”Memadamkan lahan gambut bukan hal mudah. Sudah 42 helikopter kita dikerahkan. Belum lagi dukungan dari swasta, dari TNI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mungkin ada 50 helikopter. Itu tak menjamin gambut terbakar bisa padam,” katanya.
Doni bilang, kala karhutla kerugian tinggi baik kesehatan maupun ekonomi. Kerugian secara ekonomo pada 2015, berdasarkan penelitian World Bank mencapai Rp221 triliun. ”Ini harus kita pahami, masa’ kita begini terus.”
Karhutla, katanya, jadi ancaman permanen bagi Indonesia, sekaligus juga memperlihatkan negara belum optimal memberikan jaminan kepada masyarakat.

Tak transparan dan tak konsisten
Syahrul Fitra, peneliti dari Yayasan Auriga mengatakan, persoalan penanganan karhutla pasca 2015 memang jadi sorotan. Pemerintah keluarkan berbagai aturan mengantisipasi karhutla, seperti membuat lembaga khusus untuk restorasi gambut, Badan Restorasi Gambut.
Pemerintah selalu mengatakan dalam upaya penanganan karhutla, sudah melakukan berbagai aksi koreksi dan efek jera bagi pelaku.
Sayangnya, bukti pernyataan itu bisa terlihat saat kemarau, karhutla terjadi lagi. “Iklim 2019, hampir mirip 2015, meski tidak sama persis. Kebakaran masih terjadi…,” katanya. Pada 2016-2018, karhutla lebih kecil karena iklim lebih lembab.
Syahrul mengatakan, hal yang jadi fokus penanganan karhutla ini upaya restorasi gambut. Namun, katanya, pemerintah kurang terbuka mengenai informasi restorasi gambut yang.
Auriga, katanya, pernah meminta lokasi restorasi kepada KLHK, revisi rencana kerja umum dan dokumen pemulihan yang jadi kewajiban para pemegang konsesi perkebunan kayu, di lahan gambut tetapi tak pernah mendapat respon.
Inkonsistensi tata kelola gambut pun tercium. Ketika publik belum mengetahui bagaimana pemulihan gambut oleh perusahaan, KLHK mengeluarkan regulasi P.10/2019 tentang penentuan, penetapan dan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis kesatuan hidrologis gambut (KHG). Aturan ini memungkinkan perusahaan mengelola lahan yang masuk zona lindung ekosistem gambut.
Syahrul bilang, peluang ini keluar karena perusahaan terbesar di Indonesia, lini usaha memerlukan bahan baku dengan tanaman yang bisa dan cepat tumbuh di lahan gambut, yakni, Acacia crassicarpa. Dia sebutkan, perusahaan-perusahaan yang menanam A crassicarpa itu tersebar di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Riau.
”Pemerintah harus membuka data, apalagi untuk perusahaan yang tahun 2015, terbukti membakar dan 2019, membakar lagi. Seharusnya, tak ada alasan pemerintah mempertahankan konsesi perusahaan,” katanya.
Perusahaan asing alami karhutla
Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK mengatakan, sudah ada 43 lokasi penyegelan, satu milik perorangan, lainnya, perusahaan. Dari perusahaan-perusahaan yang kena segel, katanya, ada beberapa modal asing, satu dari Singapura dan tiga Malaysia. “Ini sedang kita lakukan penyelidikan,” kata Roy, sapaan akrabnya.
Dia sebutkan, di Ketapang ada PT HKI, perusahaan dari Singapura dan PT SKS, pebisnis asal Malaysia. Lalu, PT SI di Sanggau, perusahaan dari Malaysia serta PT RA di Melawi, perusahaan dari Malaysia.
Dari 42 lokasi perusahaan kena segel, ada empat sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni, PT ABP (Kalimantan Barat), PT AER (Kalbar), PT SKM (Kalbar) dan PT KS (Kalimantan Tengah).
Roy klaim, penegakan hukum memberikan memberikan pengaruh signifikan terhadap pengurangan titik api. Sejak 2015, Direktorat Penegakan Hukum KLHK telah memberikan sanksi 168 pengawasan perusahaan, 65 sanksi administrasi, 325 surat peringatan, 17 gugatan/perdata, dan empat pidana bagi korporasi.
Adapun, gugatan perdata, sembilan memiliki ketetapan hukum atau inkracht dengan nilai Rp3,15 triliun dan dalam proses eksekusi. Hingga kini, pembayaran denda baru Rp78 miliar oleh PT Bumi Mekar Hijau.
Pada 2015, ada banyak perusahaan kena sanksi administrasi karena area mereka terbakar. Sayangnya, pemerintah tak transparan kepada publik mengenai upaya yang sudah dilakukan perusahaan dalam memperbaiki diri . Pada 2019, areal perusahaan terbakar kembali dan mengulang hal sama dengan penyegelan.
”Ini seperti mengulang hal sama, seolah lupa. Perlu evaluasi, apakah cukup upaya penyegelan dan gugatan perdata?” kata Syahrul.
Hingga kini, katanya, putusan pengadilan atas gugatan pemerintah pun, banyak belum eksekusi.
Menurut Syahrul, gugatan perdata oleh pemerintah masih belum efektif dan tak memberikan efek jera karena tanpa eksekusi itu seperti hukuman semu.
Tujuan penegakan hukum, seperti gugatan perdata, untuk mengembalikan hak yang sudah hilang agar ada pemulihan kembali.”Kalau sekadar efek jera, dengan pencabutan izin, itu sudah jera. Itu lebih signifikan.” Kini, keduanya, efek jera maupun pemulihan, tak terlihat.
Sebenarnya, kata Syahrul, baik pendekatan pidana, maupun perdata, pemerintah harus jelas dalam mengikuti aset perusahaan yang bersengketa. Dia menilai, hingga kini, pemerintah belum jelas dalam memetakan beneficial ownership dari perusahaan hingga mengalami kesulitan memberikan efek jera.
”Dalam penegakan hukum, seharusnya induk perusahaan harus dikejar. Upaya penegakan hukum baru bisa meghasilkan jika men-tracing asset. Perampasan aset yang direncanakan pemerintah jadi sia-sia jika tidak melakukan itu.”
Selain itu , katanya, dalam sengketa perdata, pemerintah harus melakukan sita jaminan. Hal ini, katanya, akan menjamin eksekusi ketika putusan sudah berkekuatan hukum.

Asap nyebrang?
Perihal otoritas Malaysia yang menyebutkan, asap sudah mengganggu masyarakat Malaysia berasal dari karhutla Indonesia, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menanggapi. Dia bilang, Pemerintah Indonesia, sebenarnya bisa menekan Pemerintah Malaysia karena ada perusahaan-perusahaan Malaysia terlibat dalam karhutla itu,
Dia berharap, diplomasi Pemerintah Indonesia mampu menekan pemerintah Malaysia dan Singapura. Dari studi soal lembaga keuangan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia, menyebutkan, kalau pembiaya terbesar perusahaan sawit adalah Maybank, lembaga keuangan dari Malaysia.
Kala bencana karhutla ini, katanya, baik itu Indonesia atau Malaysia, yang rugi warga kedua negara. “Yang untung korporasi,” kata Yaya, panggilan akrabnya.
Dukungan daerah minim?
Data BNPB, pada 14 September 2019, karhutla tersebar di tujuh provinsi, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua, dengan titik panas adalah 4.012.
Luasan lahan terbakar Januari-Agustus 2019 sebesar 328.724 hektar, 27% lahan gambut, yang lain tanah mineral. Dampak dari karhutla, antara lain, gangguan kesehatan seperti infeksi saluran prnapasan akut (ISPA), gangguan penerbangan dan lain-lain.
Doni menilai, pejabat daerah kurang peduli dengan bencana kabut asap. ”Ada keluhan dari unsur TNI-Polri karena ada kurang kepedulian dari pejabat daerah. Saya tidak menyinggung siapa, tidak mungkin, tapi rata-rata pejabat atau pemimpin setingkat kabupaten-kota,” katanya.
Kondisi ini terlihat kalau dalam pertemuan koordinasi karhutla di pusat, tidak pernah hadir. Dia bilang, penyebab karhutla 99% karena ulah manusia. “Sekitar 80% karhutla di perkebunan.”
Dia berharap, penanganan karhutla mulai dari pemerintah pusat hingga tingkat tapak. “Kita tidak ingin kehabisan tenaga, energi, uang, biaya dan sebagainya hanya karena penanganan belum optimal. Sekali lagi, saya berharap bupati, wali kota, camat, lurah lebih peduli,” katanya.
Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut mengatakan, BRG bersama pemerintah daerah berusaha bekerja sama membina dan mendampingi masyarakat dalam mengelola lahan tanpa bakar.
Belum tangani akar masalah
Yaya mengatakan, karhutla berulang membuktikan pemerintah belum menangani akar masalah. Tindakan pemerintah mengatasi karhutla masih reaktif dengan pemadaman. ”Akar masalahnya belum ditangani itu terkait praktik-praktik korporasi [perbaikan tata kelola ] belum tersentuh dan belum ada efek jera,” katanya.
Kalau tak tegas, katanya, karhutla akan terus berulang. Dia duga, ada pola dari karhutla ini sebagai modus pembersihan lahan. Banyak lahan-lahan yang tahun lalu terbakar, katanya, kini berubah jadi kebun sawit.
Yaya menyayangkan, pemerintah masih memberikan keleluasan terhadap praktik-praktik itu dan masih gunakan sanksi ringan. Dia mendesak, pemerintah sebutkan terbuka para pelaku pembakaran hutan. “Tidak lagi pemerintah bersembunyi di balik inisial perusahaan (pembakar).”
Menurut dia, dalam pemberian sanksi pun tak hanya anak-anak perusahaan, juga perusahaan induk juga pembeli (penerima hasil). Bahkan, katanya, lembaga keuangan yang mendanai perlu mengetahui perilaku perusahaan peminjam dana.
”Perusahaan-perusahaan itu seharusnya masuk dalam black list pemerintah, dan lembaga pendana. Kalau tidak, mereka akan mendapatkan financing dan beroperasi buruk di tahun-tahun mendatang.”
Selain itu, kata Yaya, perlu ada keterbukaan informasi kepada publik, baik pengumuman pelaku pembakaran hutan, dan upaya lain dalam pencegahan dan penanganan karhutla. “Selama ini, pemerintah ikut serta dalam praktik-praktik buruk perusahaan karena tidak mau terbuka.”
Dengan keterbukaan, katanya, publik bisa mengetahui aktor di balik bencana asap. Ia sekaligus membuktikan tudingan-tudingan yang biasa pemerintah alamatkan kepada warga sebagai pelaku.
Keterangan foto utama: Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut di perusahaan sawit, PT MAS di Mauarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
