- Kemarau 2018 sama seperti 2019 ini, tapi tahun lalu tidak terjadi bencana kabut asap di Sumatera Selatan. Apakah penyelenggaraan Asian Games XVIII yang menyebabkan semua pihak bekerja keras mengatasi karhutla?
- Pembakaran hutan dan lahan bukan “bencana” atau “penyakit” tapi tradisi untuk menguasai dan mengelola lahan oleh kelompok tertentu. Dibutuhkan waktu pajang untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini.
- Koordinasi dan konsolidasi merupakan kata kunci dalam upaya mencegah karhutla, sebab sudah banyak pihak berkomitmen mencegahnya. Hal ini sebaiknya dilakukan sejak awal, sebelum memasuki musim kemarau.
- Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru tidak berani menjamin tahun 2020 tidak terjadi kabut asap di Sumsel, sebab itu semua kehendak Tuhan. Herman Deru pun yakin, karhutla bukan hanya disebabkan faktor manusia tetapi juga alam.
Musim kemarau 2018 sama seperti 2019 ini. Tapi, pada 2018 kabut asap dapat ditekan, tidak sebagaimana sekarang. Apakah hal tersebut didorong karena Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games XVIII, sehingga semua pihak bekerja keras mengatasi kebakaran hutan dan lahan?
“Tidak juga, setelah bencana kebakaran 2015, hingga 2018 kabut asap dapat ditekan. Bukan berarti tidak ada kebakaran, tapi kebakaran meluas dapat diatasi, baik di Sumatera maupun di Kalimantan,” kata Dr. Najib Asmani, mantan Koordinator Tim Restorasi Gambut [TRG] Sumatera Selatan kepada Mongabay Indonesia, Rabu [18/9/2018].
Padahal, kata Najib, sejumlah program restorasi gambut seperti pembuatan sekat kanal dan sumur bor, sebagian dikerjakan setelah penyelenggaraan Asian Games. “Alhamdulillah, selama penyelenggaraan pesta olahraga negara-negara Asia, Palembang bebas dari kabut asap,” katanya.
Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo di Riau, Senin [16/9/2019], kebakaran hutan dan lahan gambut yang menimbulkan kabut asap dikarenakan belum optimalnya kinerja sistem di pemerintahan daerah, Najib mengatakan dapat menerima pernyataan presiden tersebut.
“Saya lebih melihat upaya pencegahan. Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia ini kan karena ulah manusia, bukan hutan atau gambut membakar dirinya sendiri, meskipun musim kemarau panjang. Jadi jika tidak ada manusia membakar, maka tidak akan terbakar hutan dan lahan gambut. Jadi, upaya pencegahan merupakan langkah utama,” kata Najib.
Najib pun menjelaskan jika kebakaran hutan dan lahan gambut bukan “bencana” atau “penyakit” tapi sudah menjadi tradisi untuk kelompok tertentu. “Sebab membakar lahan itu adalah pilihan untuk mendapatkan dan mengelola lahan yang murah, menyebabkan lahan menjadi subur. Persoalannya, pilihan tersebut merusak lingkungan, berdampak pada kesehatan, perubahan iklim, juga ekonomi, sehingga perlu dicegah atau dihilangkan tradisi tersebut.”
“Menghadapi sebuah tradisi buruk, kita juga harus membangun tradisi menentangnya. Ini dilakukan setiap tahun, tanpa harus diperintah atau karena adanya sebuah event. Upaya ini mungkin butuh waktu puluhan tahun, tapi itulah upaya kita menyelamatkan Bumi dari ancaman pemanasan global,” katanya.
Baca: Karhutla Membara, Jangan Frustasi Hadapi Perusak Lingkungan

Koordinasi
Sebenarnya, begitu banyak program pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut. Baik yang didukung Pemerintah Indonesia, perusahaan maupun negara-negara asing. Baik yang dilakukan BRG, Dinas Kehutanan, BNPB, serta puluhan lembaga non-pemerintah.
“Namun program itu tidak akan berjalan optimal jika tidak ada konsolidasi dan koordinasi,” katanya.
Setelah kebakaran hutan dan lahan gambut 2015 lalu, setiap tahun Pemerintah Sumatera Selatan, sejak awal tahun, melakukan koordinasi antarpihak yang berkomitmen untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan [karhutla] gambut. Setiap kerja mereka didukung, baik moral, data maupun komunikasi.
“Pihak yang tidak memiliki anggaran, dicarikan jalan keluarnya, melalui komunikasi dengan pemerintah pusat atau didorong bekerja sama dengan pihak yang memiliki anggaran. Misalnya, kelompok masyarakat yang peduli lingkungan bekerja sama dengan NGO yang peduli lingkungan dan memiliki anggaran. Masyarakat desa kan tidak punya anggaran,” jelasnya.
“Intinya, kita ini menghadapi tradisi buruk, jadi butuh kerja panjang untuk menghilangkan kebiasaan jelek itu. Setidaknya, kita butuh 25 tahun bebas kebakaran hutan dan lahan gambut, baru Indonesia dapat diklaim bebas kabut asap,” ujar Najib.
Baca: Asian Games 2018, Palembang Bebas Kabut Asap. Bagaimana Titik Api?

Kehendak Tuhan
Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, mengatakan kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kehendak Tuhan. Pernyataan tersebut merespon tuntutan mahasiswa yang melakukan aksi ke kantor Gubernur Sumsel di Palembang, Selasa [17/9/2019].
Mahasiswa dari sejumlah kampus di Sumatera Selatan menuntut Herman Deru untuk mundur dari jabatannya, jika kabut asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan gambut kembali terjadi pada 2020.
“Tidak bisa. Tidak berani saya. Siapa yang bisa menjamin kehendak Tuhan? Saya tidak akan menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa saya penuhi. Konyol,” kata Herman Deru, seperti dikutip CNN Indonesia.
Pada Rabu [18/9/2019], salat istisqa dilakukan, memohon hujan segera turun, di halaman Griya Agung, kediaman Gubernur Sumsel, Jalan Demang Lebar Daun Palembang.
Salat ini diikuti Herman Deru, para pejabat penyelenggara pemerintahan di Sumsel, serta ribuan masyarakat Palembang. Herman Deru meminta masyarakat untuk tidak saling menyalahkan, dan saat ini pemerintah tengah menangani kabut asap secara maksimal, sebagaimana dikutip Detikom.

Bukan hanya ulah manusia
Pada 14 Agustus 2019, menanggapi terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut, Herman Deru menuturkan tidak yakin kejadian ini 100 persen ulah manusia. Dia mengutip pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] Letjen TNI Doni Monardo bahwa 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia.
Untuk 1 persen itu, Herman Deru minta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah [Bappeda] untuk menelitinya hingga akhir musim kemarau tahun ini.
“Misal kejadian alam karena kilat, karena gesekan ranting atau mungkin ada proses alam lain. Ini yang lagi kita teliti. Sabar, tunggu hasilnya,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.
Keyakinan Herman Deru jika kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan bukan hanya ulah manusia, juga faktor alam juga disampaikannya kepada para anggota Dewan Pertimbangan Presiden [Wantimpres] di Palembang, 2 Juli 2019 lalu.
Dikatakan Herman Deru, Sumatera Selatan sangat fokus melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut dengan melibatkan semua unsur. Karena lahan gambut di Sumatera Selatan cukup luas yang berpotensi terbakar, baik disebabkan kelalaian manusian maupun faktor alam.
“Kesadaran masyarakat terhadap kebakaran hutan dan lahan di Sumsel cukup tinggi. Namun, kebakaran sulit juga kita tangani karena bukan semata-mata karena kelalaian manusia namun juga faktor alam karena gesekan kayu kering,” kata Herman Deru dikutip Sindonews.
Saat itu, Herman Deru juga berharap pemerintah pusat memberikan anggaran terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan.