- Konflik lahan antara warga dan TNI-AD di Urutsewu, terus berlanjut dan memanas lagi pada 11 September 2019. Warga desa menolak pemagaran lahan oleh TNI. TNI membalas penolakan dengan kekerasan hingga belasan warga terluka.
- Konflik terjadi sejak belasan tahun silam. Warga merasa punya surat menyurat atau bukti kepemilikan atas tanah mereka tetapi TNI masuk begitu saja dan mengklaim sebagai tanah TNI.
- Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FKPPS), mengatakan, petani hanya meminta TNI tak mengklaim sepihak tanah warga dengan pemagaran. Mereka mempersilakan TNI menempuh jalur hukum kalau memang memiliki bukti kepemilikan tanah.
- Pemerintah Kebumen berupaya mencari cara penyelesaian terbaik konflik berlarut ini. TNI-AD, setop sementara proyek pemagaran. TNI pun meminta warga tak beraktivitas di wilayah sengketa.
Imam Suryadi, menahan sakit dan luka di punggung karena pukulan tentara, pada peristiwa Rabu (11/9/19) di Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren, Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah.
Dalam kejadian ini, sekitar 16 warga sipil kebanyakan petani terluka. Selain Imam, 15 petani lain, mengalami luka berbeda, ada dipukul di kepala, punggung, kaki, dan ada pula tertembak peluru karet di bagian pantat.
Awalnya, pagi hari warga mengetahui tentara kembali membuat pagar di pesisir Urutsewu. Warga menolak klaim atas tanah mendatangi lokasi pemagaran. Aparat TNI di lokasi sekitar mengusir warga. Puluhan TNI ini dari Kodim 0709/Kebumen dan Batalyon Infanteri 403/ Wirasada Pratista Yogyakarta, senjata laras panjang, pentungan, dan tameng. Mereka bersiap menghalau warga. Bentrok TNI dengan warga terjadi.
Baca juga: Kala Lahan Tani Urutsewu Terlibas Lokasi Latihan Tentara [1]
Warga diusir menjauh dari area proyek pemagaram. Imam dan petani palin tak bisa melawan ketika tentara memukuli mereka dengan pentungan dan menginjak-injak petani lain.
Tentara menembakkan peluru karet. Haryanto, seorang petani pun jadi korban. Pantat berdarah karena terserempet peluru. Dua selongsong peluru TNI buatan Pindad kemudian ditemukan warga usai pengusiran.
Hasil pendataan Urutsewu Bersatu, organisasi warga dan petani, 16 korban terluka termasuk Wiwit dan Haryanto.
Wiwit terkena luka pukul di kaki dan dinjak-injak, lalu Imam Suryadi terkena pentungan di punggung, Haryanto luka tembak peluru karet di pantat, Edi Afandi, dipukul di kepala. Supriyadi usia 40 tahun dipukul di kepala, punggung dan kaki.
Wawan terkena luka pukul di kepala, Manto luka pelipis kanan. Lalu, Partunah, kaki ditendang dan diseret, Saikin dipukul di kepala. Kemudian, Sartijo luka paha di belakang, Sartono luka pukul di kepala, Wadi kaki ditendang, Tolibin luka pukul di kaki.
Lalu, Sumarjo, kakek usia 70 tahun luka pukul di punggung, Martimin serta Saryono, sama-sama luka di kepala.
Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FKPPS), Seniman kepada Mongabay mengatakan, petani hanya meminta TNI tak mengklaim sepihak tanah warga dengan pemagaran. Mereka mempersilakan TNI menempuh jalur hukum kalau memang memiliki bukti kepemilikan tanah.
TNI, katanya, hanya bisa membuktikan klaim kepemilikan itu di pengadilan karena petani di Urut Sewu juga memiliki sertifikat dan bukti kepemilikan tanah lain yang diterbitkan sejak 1963 hingga 2018.
“Itu sudah legal oleh negara, ada pemberian sertifikat sejak 1963 sampai 1979. Tahun 1972-1979 juga dan dilegalkan pada 2018,” katanya, Jumat, (13/9/19).
Sertifikat itu, katanya, bukti negara mengakui hak milik masyarakat. Untuk itu, katanya, penyelesaian konflik tanah melalui pengadilan, bukan pemaksaan kehendak TNI.
“Kalau bicara sertifikat, otomatis sertifikat sejak 1963-2018. Itu berarti negara mengakui hak milik,” kata Seniman.
Dia bilang, aksi kekerasan TNI saat mengamankan pemagaran di Desa Brecong, Buluspesantren, Kebumen menunjukkan, TNI merampas tanah rakyat dengan jalan kekerasan. “Tentara harusnya melindungi rakyat, bukan memukuli bahkan merampas lahan rakyat lewat dalih apapun.”
Di negara hukum, katanya, unjuk kekuatan kepada rakyat, apalagi mereka memiliki bukti kepemilikan sah, jelas tak dibenarkan. Klaim kepemilikan hanya bisa melalui pengadilan. Kalau proses mediasi atau pengadilan sudah ada putusan final, TNI harus mematuhi. Sebaliknya, petani juga akan patuh pada keputusan hukum mengikat kedua belah pihak.
“Kalau TNI memiliki tanah, buktikan. Diproses di mediasi atau pengadilan silakan.”
Berdasarkan data Forum FPPKS, terjadi kekerasan berulang ke sekian kali, kekerasan serupa juga pernah terjadi pada 2011, 2015, dan 2018. Pada 2011, kata Seniman, tujuh orang ditembak TNI, 13 luka-luka, dan 12 motor rusak.
Warga juga ada jadi tersangka perusakan gardu TNI. Pada 2015, 17 orang terluka. Salah satu pemicu kekerasan juga pemagaran. “Ini karena ketidakadilan yang diterima warga.”
Ketua Urutsewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho mengatakan, tindakan represif tentara buntut dari protes yang berlangsung sejak Juli 2019, saat TNI mulai memagari tanah warga.
“Mereka semula hanya mengawal tukang. Sekarang pemagaran dikerjakan TNI dengan pasukan banyak. Kami berjuang 12 tahun sejak 2007 memprotres klaim sepihak TNI atas tanah warga di Urutsewu,” katanya.
Dari situs website resmi lelang elektronik TNI AD, pemagaran ini proyek Kodam IV/Diponegoro Rp4 miliar, dikerjakan PT Sempalan Teknologi Nasional sejak Juli 2019. Panjang pagar dari panel beton 4,9 kilometer dan membentang dari Desa Entak, Kecamatan Ambal hingga Desa Brecong dan Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren. Pemagaran Tahap I pada 2013 dan Tahap II pada 2015, masing-masing sepanjang delapan kilometer. Sejak Kamis, (12/9/19), proyek pemagaran di lokasi kekersan terjadi setop.
“Tak ada jaminan TNI tak lanjut lakukan pemagaran,” kata Sunu.
Teguh Purnomo, Koordinator Tim Advokasi Petani Urut Sewu, kepada Mongabay menyayangkan, sikap represif TNI. Oknum TNI yang main hakim sendiri dengan memukuli warga yang menyebabkan 16 orang terluka ini harus proses pidana.
Menurut Teguh, bentrok terjadi karena penyelesaian konflik tanah terabaikan oleh pemerintah. Seharusnya, TNI tak main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan.
Konflik klaim TNI atas tanah Urut Sewu, selatan Kebumen sudah berlangsung lama. TNI menyebut, kawasan Urut Sewu sebagai tempat latihan menembak, sementara warga mengklaim sebagai tanah garapan. Kawasan konflik berada antara Kecamatan Klirong hingga Kecamatan Mirit, selatan Kebumen, sekitar 500 meter dari garis pantai selatan Kebumen.
“Kejadian 2011 rakyat dikriminalkan TNI hingga ada beberapa masuk penjara”, kata Teguh.
Proses pemagaran sudah berlangsung lama dan hampir selesai. Tersisa di Desa Brencong dan Sentrojenar, sepanjang lima kilometer. Dua desa ini paling akhir karena penolakan petani setempat cukup keras. Pemerintah lamban menangani konflik agraria ini.
“Akar masalah konflik tanah ini lamban dan cenderung diabaikan penyelesaian oleh pemerintah. TNI main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan seperti itu,” katanya.
Mereka tengah mengkaji untuk melaporkan dan membawa kekerasan TNI yang mengakibatkan 16 petani terluka itu ke jalur hukum. Kekerasan bersama-sama bisa kenai pengeroyokan bersama-sama dan pelaku bisa ditahan.
“Kalau nanti ada penyelidikan lebih lanjut, kalau memungkinkan ya barang bukti yang mereka pakai, misal, senapan atau pentungan juga harus disita.”
Menurut Teguh, konflik di Urut Sewu, berlangsung puluhan tahun dan belum selesai. Petani di Urut Sewu, memiliki sertifikat, SPPT, letter C atau surat keterangan lain, sebagai bukti kepemilikan tanah. Klaim sepihak TNI sepanjang 22,5 kilometer dengan lebar antara 500-1.000 meter dari garis pantai. Konflik terjadi di 15 desa pada tiga kecamatan.
Nico Wouran dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang mengecam kekerasan TNI terhadap warga Urutsewu. Aturan manapun, katanya, tak ada yang membolehkan main kekerasan.
“Negara harus bertanggung jawab atas kekerasan, meminta maaf dan merehabilitasi korban. Hentikan pemagaran dan mengembalikan tanah warga Urutsewu dan menarik TNI dari Urutsewu,” katanya.
Konflik berlarut Urutsewu
Konflik agraria di Urutsewu, yakni penguasaan tanah milik petani di Urutsewu seluas 1.150 hektar yang membentang luas dari Sungai Lukulo sampai Sungai Wawar. Ia mencakup 15 desa pada tiga kecamatan, antara lain, Desa Wiromartan, Desa Lembupurwo, Desa Tlogopragoto, sampai Desa Ayamputih.
Latihan Militer dan uji coba senjata berat berlanjut dengan klaim sepihak TNI-AD, kata Seniman, menimbulkan dampak negatif atau kerugian sangat besar, baik materiil maupun moril.
Dia contohkan, peristiwa berdarah 16 April 2011, berupa penembakan dan penyiksaan warga Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus pesantren, Kebumen, Jawa Tengah. Korban tujuh orang tertembak, 13 luka-luka, 12 motor rusak.
Klaim TNI-AD atas tanah rakyat, menghilangkan hak kepemilikan masyarakat terhadap lahan pertanian sebagai tumpuan mata pencaharian masyarakat.
Pembangunan pagar permanen yang membujur dari barat ke timur di sepanjang batas klaim TNI-AD, katanya, membatasi akses masyarakat terhadap lahan pertanian mereka. TNI magar, katanya, tanpa seizin pemilik lahan dan sarat intimidasi.
Belum lagi aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak terganggu, karena saat latihan petani dilarang bekerja di lahan.
“Sering juga terjadi kerusakan tanaman karena ledakan peluru,” kata Seniman.
Pengawasan amunisi gagal meledak kurang, hingga bisa meledak sewaktu-waktu kalau tersentuh petani atau warga. Hal ini pernah terjadi dan menyebabkan lima anak dari Desa Setrojenar, dan satu warga Ambal Resmi meninggal dunia. Ada juga empat orang Desa Entak dan Ambal Resmi cacat tetap.
Selain itu, klaim tanah TNI-AD ini berlanjut dengan ada penambangan pasir besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), di mana perusahaan ini diberi izin TNI TNI-AD untuk menambang.
Izin eksplorasi dan izin eksploitasi keluar juga sangat dipaksakan. Sejak awal warga sudah menolak penambangan dan proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sarat intimidasi. Saat itu, perda tata ruang juga belum menetapkan wilayah itu sebagai kawasan tambang.
“Dampak yang timbul karena penambangan pasir, ekosistem, tekstur dan struktur tanah rusak. Terjadi intrusi air laut yang menyebabkan air tanah asin dan permanen,” kata Seniman.
Perlawanan menolak tambang pasir besi oleh warga membuahkan hasil. Pada 2012, MNC mengibarkan bendera putih alias menyerah dan tak melanjutkan penambangan. Meskipun Pemerintah Kebumen, belum mencabut izin, tetapi MNC tak akan menambang. Alat-alat berat sudah mereka tarik dan basecamp dibongkar.
Kronologi penguasaan tanah
Seniman menceritakan, kronologi penguasaan tanah di Pesisir Urutsewu. Pada 1830-1871, ada penataan tanah “Galur Larak.” Lalu, pada masa pemerintahan Bupati Ambal R. Poerbonegoro, ada pembagian dan penataan tanah dengan sistem “galur larak,” yaitu membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai pantai laut selatan.
Pada 1920, penggabungan desa-desa di Urutsewu, beberapa desa gabung jadi satu. Hasil blengketan desa ini masih dipakai sampai sekarang. Tahun 1922, ada pemetaan dan pengadministrasian tanah pada masing-masing desa hasil blengketan. Meliputi pencatatan tanah milik perorangan, tanah bengkok dan bondho desa, serta penggabungan tanah bengkok desa jadi satu lokasi dengan cara tukar guling.
“Pada periode ini, batas sebelah selatan tanah milik perorangan maupun milik desa sampai pantai laut selatan (Banyu Asin),” kata Seniman.
Pada 1932, ada pemetaan dan pengadministrasian tanah oleh pejabat yang disebut Mantri Klangsir, petani Urutsewu berpartisipasi. Tanah yang di-klangsir berarti terpetakan berdasarkan nilai ekonomi, hingga menghasilkan kelas-kelas tanah, yaitu D I, D II, D III, D IV dan D V.
Kelangsiran atau pemetaan kelas-kelas tanah terutama bertujuan menentukan besaran pajak yang harus dibayar masyarakat. Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam prosesklangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar.
Di luar batas ini di-klaim Belanda, hingga masyarakat menyebutnya sebagai “Tanah Kompeni,” yakni tanah yang berada pada jarak sekitar 150–200 meter dari garis pantai.
Hingga kini, kata Seniman, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebut, sebagai pal budheg dan terdapat di sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang berjarak sekitar 150–200 meter dari garis pantai adalah tanah milik kaum tani di masing-masing desa.
Contoh , pal-budheg: kode Q222 untuk Desa Setrojenar, Q216 untuk Desa Entak, dan Q215 untuk Desa Kaibon.
Klaim “Tanah Kompeni” ini mendapatkan penolakan atau perlawanan keras dari warga, dalam bentuk perusakan gudang garam milik Belanda oleh kelompok-kelompok tertentu.
Bentuk perlawanan lain adalah, masyarakat tetap membuat garam di lokasi “Tanah Kompeni” ini dan membuat jaringan pemasaran sendiri yang dipusatkan di Desa Tlogopragoto. Fakta, masyarakat tetap menguasai dan memanfaatkan “Tanah Kompeni,” adalah pada masa itu banyak petani garam tinggal di daerah utara menyewa sebagian itu kepada pemilik tanah yang sebenarnya.
Tahun 1937 , ada latihan Tentara Kolonial Belanda. Pesisir Urutsewu dipakai untuk latihan militer oleh tentara Belanda. Kala itu, belum ada TNI. TNI berdiri pada 3 Juni 1947.
TNI merupakan perkembangan organisasi Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya, pada 5 Oktober 1945 jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer internasional, jadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Guna menyatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, pada 3 Juni 1947, Presiden mengesahkan dengan resmi TNI.
Latihan tentara Jepang
Latihan tentara Jepang dan Laskar PETA dilakukan di sebelah selatan pal-budheg. Pada tahun 1945, proklamasi Kemerdekaan RI dan tentara Jepang meninggalkan pesisir Urutsewu.
Pada tahun 1960, pasca pengesahan UU Pokok Agraria pendaftaran dan sertifikasi tanah rakyat secara massal di Departemen Agraria atau Dirjen Agraria, Departemen Dalam Negeri.
Bukti-bukti berupa sertifikat tanah warga dan perjanjian jual beli yang ditandatangani asisten wedono dan kepala desa, dengan batas sebelah selatan laut atau pantai. Pada 1965-1969, pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, masyarakat takut mengakui kalau memiliki sertifikat tanah karena dituduh anggota PKI. Warga juga takut mengurus sertifikat.
Pada 1975, masuk perkebunan tebu Madukismo. Lahan selatan makam Urutsewu, dianggap tak bertuan, hingga sewa lahan tidak dibayar. Setelah ada warga yang menunjukkan akta jual beli, perusahaan mau membayar sewa.
Pada 1982, TNI pinjam tempat untuk latihan. TNI juga uji coba senjata berat. Dulu, membuat surat “pinjam tempat ketika latihan” kepada kepala desa setempat.
“Saat ini, surat pinjam tempat tidak lagi dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan,” kata Seniman.
Tahun 1998–2009, TNI pinjam Urutsewu ke Pemerintah Kebumen. TNI juga pernah membuat kontrak dengan pemerintah daerah tentang penggunaan tanah pesisir Urutsewu untuk latihan yang membuktikan tanah pesisir ini milik warga.
Pada Maret-April 1998, ada pemetaan tanah untuk area latihan dan ujicoba senjata TNI AD mulai dari Muara Kali Lukulo sampai Muara Kali Wawar dengan lebar sekitar 500 meter dari garis pantai ke utara dan panjang 22.5 kilometer.
Pemetaan secara sepihak oleh TNI yaitu Serma Hartono, kemudian minta tanda tangan kepada kepala desa. Istilah yang mereka pakai untuk menamai area lapangan tembak dalam peta tersebut adalah tanah TNI-AD. Penamaan ini seakan menegaskan, TNI mencoba klaim sepihak atas tanah rakyat.
Hasil pemetaan minta tanda tangan dari kepala desa di Urutsewu, dengan alasan minta izin penggunaan tanah untuk latihan. Kepala desa bersedia menandatangani.
Tandatangan ini tak dapat dipakai sebagai bukti mutasi kepemilikan. Peta area latihan ini tak bisa jadi dasar atau bukti bahwa TNI memiliki tanah karena pemetaan sepihak dan bukan instansi berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Pada Desember 2006, terbit surat Kades Setrojenar Nomor 340/XII/2006 tertanggal 12 Desember 2006, perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah berasengaja.
Lalu November 2007, Surat Camat Buluspesantren perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada 8 November 2007 di Pendopo Kecamatan Buluspesantren dihadiri Muspika. Dalam surat ini ada poin, TNI tak akan mengklaim tanah rakyat kecuali, 500 meter dari bibir pantai. Kondisi jadi bermasalah karena karena dalam interval 500 meter dari bibir pantai terdapat tanah rakyat. Ia merupakan tanah pemajekan hingga tertera di Buku C desa dan memiliki surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT).
“Pernyatan BPN kebumen pada audiensi dengan DPRD Kebumen, 13 Desember 2007, sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI belum pernah mengajukan permohonan ke BPN,” kata Seniman..
Tahun 2008, Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi.
Pada Januari 2011, izin usaha pertambangan diberikan kepada MNC selama 10 tahun tanpa sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan, luasan lahan 591,07 hektar, dengan 317,48 hektar tanah milik TNI AD.
Pada 16 April 2011, warga menolak latihan uji coba senjata TNI AD. Warga aksi ziarah ke makam korban yang meninggal karena ledakan bom mortir beberapa tahun silam dan membuat blokade dari pohon. TNI AD membongkar blokade.
Peristiwa itu, kata Seniman, direspon dengan penyerangan oleh TNI. Kala itu, Seniman pun jadi korban dan dicari tentara. Pada Mei 2011, TNI mencabut persetujuan penambangan pasir besi.
Pada Desember 2013, mulai pemagaran tanah rakyat pada jarak 500 meter dari garis pantai di Pesisir Urutsewu dan masuk dua desa di Kecamatan Mirit, yaitu, Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan.
“Pemagaran ini mendapatkan penolakan keras masyarakat, tetapi dilanjutkan TNI, hingga terjadi seperti kekerasan 11 September 2019.”
Apa tanggapan pemerintah daerah?
Setelah kejadian pemukulan petani oleh tentara, ratusan warga Urutsewu aksi dan mendesak Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz bersikap tegas.
Di depan pendopo Kantor Bupati, Yazid Mahfudz, meminta TNI menghentikan pemagaran di Urutsewu. Langkah itu untuk menjaga keamanan usai bentrok TNI dengan warga.
Bupati langsung melaporkan peristiwa ini kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, usai bertemu dengan ratusan warga dari sejumlah desa di Kecamatan Buluspesantren.
Menurut Yazid, usai memperoleh laporan, Gubernur Jateng dan Pangdam IV Diponegoro, langsung berkoordinasi untuk menghentikan pemagaran.
Bupati bilang, Pangdam setuju menghentikan pemagaran dan menarik semua alat berat di lapangan ke Pusat Litbang TNI di Urutsewu.
Menurut Bupati, pangdam juga meminta warga menghentikan aktivitas di sekitar kawasan yang dipagar.
“Pangdam sudah setuju menghentikan pemagaran. Warga juga harus menghentikan kegiatan, sampai ada penyelesaian terbaik,” kata Yazid.
Dia bilang, Pemerintah Kebumen berusaha mencari penyelesaian sengketa lahan berlarut-larut antara TNI dengan warga Urutsewu. Dia mengakui, sengketa lahan antara warga dengan TNI sudah lama terjadi.
Satu sisi, warga bilang tanah itu milik mereka. Sisi lain, TNI mengklaim, kawasan itu tanah milik TNI.
“Sudah lama, mungkin kami akan minta untuk diselesaikan oleh presiden.”
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo ketika dihubungi merasa terkejut atas kejadian di Urutsewu. Dia bilang, akan memediasi warga dengan TNI.
“Saya sudah minta ke Pangdam dan Kasad hentikan proyeknya. Minta pemagaran dihentikan dulu,” kata Ganjar.
Respon Kodam Diponegoro
Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro, Letkol Kav Susanto mengatakan, TNI terpaksa bersikap represif lantaran warga yang tak punya surat kepemilikan, bertindak anarkis dan tak mau dibubarkan. Dia mengatakan, masih memeriksa ada atau tidak anggota yang terluka.
Susanto mengklaim, tanah yang dipakai itu peninggalan KNIL atau tentara Belanda pada 1949 dan sudah teregister sebagai aset Kodam IV/Diponegoro, bernomor 30709034. Luas tahan itu sekitar 1.150 hektar sepanjang 22,5 kilometer serta lebar 500 meter. Ia berada di 15 desa pada tiga kecamatan.
Susanto mengacu kepada Surat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Kanwil Jawa Tengah Nomor S-825 tertanggal 29 April 2011. Dia minta masyarakat menghentikan aktivitas di sekitar areal Lapbak. “Apabila merasa memiliki kepemilikan lahan secara sah, silakan menuntut jalur hukum di pengadilan.”
Susanto bilang, Kodam IV/Diponegoro tetap mengedepankan tindakan persuasif dengan memaksimalkan mediasi. TNI juga mengajak masyarakat duduk bersama menyelesaikan masalah ini.
Pemagaran oleh Kodam IV Diponegoro, kata Susanto, untuk mengamankan aset negara. Selain itu, pemagaran untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, karena area itu daerah latihan atau tepatnya lapangan tembak.
Saat ini, katanya, pemagaran sementara setop. Dia juga meminta masyarakat menghentikan aktivitas di area Lapbak.
Keterangan foto utama: Bagian wilayah yang masuk pemagaran sepanjang 22,5 kilometer dan 500 meter ke laut. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia