- Kawasan pesisir Indonesia saat ini sedang terancam mengalami penurunan muka tanah (subsiden) dengan cepat. Ancaman itu sudah nyata terjadi setidaknya di 132 kabupaten/kota di 21 provinsi di Indonesia
- Ancaman subsiden akan menghambat upaya konservasi dan rehabilitasi di kawasan pesisir yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah. Hal itu, karena subsiden akan mempercepat proses penurunan muka tanah
- Saat muka tanah di kawasan pesisir terancam akan terus amblas, di saat yang sama permukaan air laut juga terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kondisi itu, mengakibatkan munculnya bencana banjir rob, yang di beberapa kota sudah menjadi bencana permanen
- Subsiden tanah di Indonesia disebabkan oleh faktor antropogenik dan non atropogenik. Kedua penyebab itu, di antaranya dipicu oleh aktivitas manusia dan penekanan partikel yang membentuk massa yang padat atau proses kompaksi alamiah
Wilayah pesisir menjadi kawasan paling rawan berpotensi amblas atau penurunan muka tanah (subsiden). Insiden alami tersebut bisa terjadi di semua kawasan, tanpa memandang kondisi dan situasi, termasuk di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K). Selain pesisir, subsiden juga rawan terjadi di wilayah gambut dataran rendah.
Hal itu dipaparkan Asisten Deputi Lingkungan dan Kebencanaan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Sahat Panggabean di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurutnya, ancaman subsiden mengintai kawasan gambut dan pesisir dengan karakteristik tanah mineral dan juga kawasan pesisir tanah gambut.
“Sangat mendesak dilakukan untuk menghindari dampak dan bencana yang lebih besar di kemudian hari. Persoalan subsiden tanah menjadi hal yang perlu segera diatasi,” ungkapnya.
baca : Kala Pemerintah Fokus Lagi Proyek Tanggul Laut Raksasa, Penelitian Ungkap Cara Itu Bukan Solusi
Sahat mengatakan, saat ini setidaknya ada 132 kabupaten/kota di 21 provinsi di Indonesia yang terindikasi mengalami subsiden, terutama ada di wilayah pesisir. Hal itu, menjadi gambaran terkini yang sedang dihadapi kawasan tersebut, yang tentu berdampak pada kehidupan masyarakat.
Agar persoalan itu tidak semakin meluas, Pemerintah membuat peta jalan (road map) berisi strategi prioritas yang akan dilakukan oleh setiap daerah. Dengan demikian, peta jalan tersebut akan menjadi pedoman bagi semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan kawasan pesisir dan gambut.
Sahat menjelaskan, subsiden tanah merupakan pembunuh senyap (silent killer) yang kini mengintai kawasan pesisir dan gambut di hampir seluruh Indonesia. Ancaman itu secara perlahan namun pasti akan merusak dan bahkan menghilangkan kawasan tersebut.
Bagi Pemerintah, upaya mitigasi dan adaptasi mutlak dilakukan sejak sekarang dengan melibatkan sumber daya yang sudah ada, seperti lembaga, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. Setelah itu, baru direncanakan apa aksi yang akan dilaksanakan berikutnya.
Menurut Sahat, dari hasil pengukuran geodetik, geo-hidrologi, geoteknik dan lain-lain, laju subsiden tanah di kawasan pesisir non gambut dapat mencapai antara 1-20 cm/tahun. Di beberapa tempat, bahkan total penurunannya sudah mencapai antara 5-6 meter/tahun.
baca juga : Banjir Rob Rutin Landa Belawan, Apa Upaya Pemerintah Daerah?
Resiko Subsiden
Sementara, laju subsiden di pesisir gambut juga sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian Hooijer et al. (2012), diketahui bahwa lahan gambut yang ditanami akasia akan mengalami subsiden tanah sekitar 5,2 cm/tahun pada kedalaman air tanah rerata 70 cm.
Di lain pihak, dari hasil penelitian terbaru diketahui bahwa setiap penurunan 1 cm muka air tanah di lahan gambut, maka itu akan berpotensi melepaskan sebanyak 0,91 ton karbondioksida/hektare/tahun. Saat bersamaan, , permukaan air laut justru mengalami kenaikan rerata antara 4 milimeter (mm) hingga 1 cm per tahun.
“Akibatnya, kota-kota pesisir mengalami banjir rob,” tuturnya.
Ancaman banjir rob itu, bahkan sudah menjadi bencana permanen di sejumlah lokasi di beberapa kota di Indonesia. Untuk itu, harus ada penanganan yang cepat dan serius agar bisa mencegah subsiden semakin dalam dan parah.
Menurut Sahat, proses penurunan muka tanah ini berlangsung sangat pelan, namun pasti terjadi. Jika tidak diantisipasi dan dicari upaya yang lebih serius untuk mengatasi persoalan tersebut, maka dampak dari subsiden pasti akan merugikan kawasan tersebut dan sekitarnya.
“Wilayah gambut pesisir yang mengalami subsiden tanah serta terdampak kenaikan air laut pun berpotensi mengalami banjir rob. Terindikasi potensi luas banjir rob ini mencapai jutaan hektar di masa yang akan datang, misalnya di Pantai Timur Sumatera,” tambahnya.
perlu dibaca : Kawasan Cekungan Bandung Makin Sering Banjir. Ada Apa?
Tentang penyusunan peta jalan yang sudah dilakukan, Sahat menyebutkan bahwa prosesnya melibatkan Wetlands International Indonesia (Yayasan Lahan Basah) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dokumen resmi bernama Peta Jalan Mitigasi dan Adaptasi Amblesan (Subsiden) Tanah di Dataran Rendah Pesisir, diluncurkan pada Kamis, pekan lalu.
Dalam dokumen ini, telah dikaji kelembagaan dan kebijakan yang ada, serta dipetakan lokasi-lokasi yang memiliki ancaman bahaya subsiden tanah dan harus dilakukan pemantauan. Hal itu menjadi dasar penyusunan strategi adaptasi jangka pendek (short term measure), dan upaya mitigasi untuk jangka panjang (long term measure) yang komprehensif.
Sahat menambahkan, Peta Jalan ini akan dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dan juga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Oleh karena itu, persoalan subsiden menjadi isu nasional yang perlu diselesaikan segera.
“Terima kasih kepada teman-teman daerah yang akan menjadi percontohan dan tentu kita akan kawal karena ini merupakan isu nasional,” pungkasnya.
baca juga : Merekayasa Resapan Air Hujan dan Mencegah Banjir di Kota Semarang. Seperti Apa?
Konservasi Pesisir
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono dalam sambutan resmi dalam dokumen Peta Jalan, mengatakan bahwa tingginya laju subsiden di kawasan pesisir, akan menghambat upaya konservasi dan rehabilitasi seperti di Pantai Utara Jawa.
“Selain itu, berpotensi menghilangkan ekosistem gambut tropis seperti di Pantai Timur Sumatera. Pada lokasi-lokasi perbatasan dan pulau terluar seperti di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, kondisi ini menjadikan titik lemah bagi pertahanan Bangsa dan Negara,” paparnya.
Dalam menyusun dokumen, Agung menyebutkan, Pemerintah melakukannya dengan proses yang inklusif dan partisipatif melalui pelibatan semua pihak terkait yang berasal dari kementerian dan lembaga terkait, akademisi, stakeholder dan masyarakat yang berada di beberapa lokasi prioritas. Selain itu, proses ini juga melibatkan para ahli di bidangnya, baik tingkat lokal maupun nasional untuk memastikan data dan informasi bisa tersusun dengan baik dan akurat.
Mengingat pentingnya mitigasi dan adaptasi subsiden, Agung berharap dokumen yang sudah dibuat bisa menjadi acuan semua pihak dalam pengembangan dan pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi. Dengan demikian, kegiatan bisa sesuai dengan yang diharapkan dan mengacu pada kaidah teknis dan kelimuan yang tepat.
“Strategi yang dimuat dalam dokumen Peta Jalan diharapan bisa menjadi tahapan penyelesaian permasalahan subsiden tanah di dataran rendah pesisir Indonesia,” tambahnya.
Secara umum, Agung menjelaskan, subsiden tanah di Indonesia terjadi akibat faktor antropogenik atau sebagai akibat dari aktivitas manusia, seperti pengambilan air tanah yang berlebihan, efek pembebanan (loading effect), eksploitasi minyak dan gas bumi, dampak kegiatan tambang bawah permukaan, pengeringan (drainase), dan oksidasi lahan gambut.
Sementara, faktor penyebab lain yang sifatnya non-antropogenik, yaitu kompaksi (penekanan partikel sehingga membentuk massa yang padat) alamiah dan efek tectonic subsidence akibat dari penunjaman dan pergerakan patahan bumi. Untuk Indonesia, kedua faktor non antropogenik itu kecil pengaruhnya terhadap susbsiden tanah dibandingkan faktor antropogenik.
menarik dibaca : “Gambut for Beginners”: Tujuh Jawaban Penting untuk Pemula
Head of Office Wetlands International Indonesia I Nyoman Suryadiputra mengakui tingginya laju subsiden yang terjadi di kawasan pesisir dan gambut, memang akan menghambat upaya konservasi dan rehabilitas di kawasan pesisir. Padahal, upaya tersebut justru akan bisa menyelamatkan kawasan pesisir dari kerusakan.
“Kebakaran gambut saat ini di pesisir Sumatera dan Kalimantan akan memperparah turunnya permukaan tanah gambut, bahkan sangat merugikan pembangunan di berbagai Kawasan Ekonomi Strategis serta ekosistem pesisir,” tandasnya.