- Kamis, 19 September lalu, petugas dari BKSDA Kalteng, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun, menyelamatkan satu orangutan yang terjebak di tengah gambut terbakar pada kilometer 15 Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, Kalimantan Tengah.
- Orangutan berada di hutan tersisa sekitar 100 meter dengan sekeliling sudah hangus terbakar. Dalam medan berat itu karena lahan terbakar dan gelap, satwa endemik Kalimantan ini pun berhasil dievakuasi.
- Ekosistem gambut di sini sudah terdegradasi sejak pertengahan tahun 2000-an saat koridor Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, sepanjang hampir 40 kilometer dibuka.
- Laporan Hasil Analisis Survei Populasi Orangutan Pada Kawasan Hutan Penyangga SM Lamandau hasil kerjasama Orangutan Foundation, BKSDA Kalimantan Tengah, dan KPHP Kotawaringin Barat, yang ditulis Iman Sapari, menyebut alih fungsi hutan di wilayah ini, menyebabkan konflik antara manusia dengan orangutan. Beberapa orangutan masuk ke kebun penduduk, dan memakan tanaman. Pada periode 2015-2017, tercatat lebih lima kasus laporan konflik manusia-orangutan di wilayah ini dan tiga berhasil ditranslokasi ke Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.
Kebakaran hutan dan lahan tak hanya berdampak bagi manusia, juga satwa. BPBD, Manggala Agni, Satuan Pemadam Kebakaran, dan para relawan, berjibaku memadamkan karhutla, petugas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) pun harus menerobos medan terbakar untuk menyelamatkan satwa liar, seperti orangutan yang terjebak.
Kamis (19/9/19) sore, menjelang petang, Nasibah, petugas penyelamatan satwa liar dari BKSDA Kalteng, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun, bergegas menuju hutan dan lahan terbakar pada kilometer 15 Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, Kalteng.
Ada laporan orangutan terjebak di sejumput hutan tersisa di kawasan itu, di sisi kanan jalan koridor. Nasibah bersama Hatman, warga yang memberi laporan, ke lokasi, menunggui si orangutan yang sudah bertengger di pohon. Mereka berjaga, agar orangutan tak lari, sembari menunggu teman-teman tim penyelamat dari BKSDA dan Orangutan Foundation International (OFI), datang.
“Tadi adik saya (Hatman) yang menemukan. Orangutan itu makan nenas kami. Lalu, saya telepon petugas (BKSDA),” kata Jamri, abang Hatman, penggarap lahan di jalan itu.
Selama menunggu, Nasibah juga pegiat Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) juga observasi di sekitar lokasi. Hasilnya, pohon tempat orangutan itu nangkring berada di sejumput hutan tersisa, atau kumpulan kecil pepohonan yang menyerupai pulau karena di sekeliling telah jadi abu dan arang karena terbakar.
“Saya tak bisa melihat dengan jelas lokasi itu karena ketika tiba hari sudah beranjak gelap.”
Sulitnya evakuasi
Tak lama kemudian, tim penyelamat dari BKSDA dan OFI dengan 12 orang datang, termasuk dokter hewan. Tim ini sudah terbiasa mengevakuasi orangutan. Berbekal senjata dan obat bius, tak terlalu sulit bagi mereka menaklukan primata khas Kalimantan bernama latin Pongo pygmaeus ini. Begitu ia pingsan, tim segera masuk dalam terpal dan menggantung terpal itu pada sebuah kayu panjang. Tim membopong beramai-ramai.
Pada saat inilah, tantangan terberat evakuasi terjadi. Jarak tak jauh. Hanya sekitar setengah kilometer dari lokasi ke mobil tim penyelamat di tepi jalan. Karena gelap dan lokasi lahan gambut terbakar, proses pengangkutan berjalan terseok-seok.
Beberapa kali tim yang mengangkat tandu berisi orangutan itu terperosok. Hanya berjalan sekitar 10 atau 20 meter, mereka harus berhenti, menyerasikan gerak.
Kalau pada kondisi terang, mereka mungkin bisa memilih jalan lebih baik tetapi dalam kegelapan itu sulit. Kalau lahan yang dilalui tak habis terbakar, mereka bisa saja berpijak pada akar dan batang kayu. Dalam kondisi pascaterbakar, banyak akar dan batang kayu rapuh, hingga saat diinjak terperosok. Total waktu evakuasi dari hutan ke mobil pengangkut menumpuh waktu sampai dua jam.
Sebelum si orangutan itu masuk kurungan besi untuk mengangkut ke mobil, dokter hewan dari OFI memeriksa kondisinya. Tampak satwa jantan ini masih sehat dan beranjak dewasa. Di kedua pipi sudah tumbuh cheek-pads. Berat diperkirakan sekitar 80 kilogram.
Setelah itu, ia dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan milik OFI, dan ditranslokasi ke Taman Nasional Tanjung Puting.
Jamri mengatakan, bukan sekali ini menemukan orangutan di sekitar kebun. Awalnya, Agustus lalu saat sudah masuk musim kemarau dan kebakaran hutan mulai terjadi di sana. Saat itu, dia langsung melapor ke BKSDA. Diapun mendapati orangutan seminggu sebelum evakuasi kemarin.
“Sebenarnya Jumat (13/9/19) itu, di pohon getah (karet) di kebunku. Di belakang rumah ini saja. Cuma kami mengurus api (karhutla). Enggak sempat ngurus orangutan. Mau laporan, aku sendiri nggak bisa, nggak ada teman,” katanya.
Nasibah mengatakan langsung diutus BKSDA cek lapangan saat menerima laporan pada awal Agustus lalu. Saat itu, dia menemukan ada sembilan sarang orangutan di hutan sekitar lokasi yang vegetasi didominasi semak belukar itu.
Saat itu, dia meminta warga bekerja sama untuk segera melapor dan menjaga bila memergoki orangutan, sebelum tim penyelamat datang. “Kita datang (setelah menerima laporan), kadang orangutan hilang,” katanya.
Penasaran dengan lokasi sekitar evakuasi itu, saya keesokan siang kembali ke sana. Selepas areal kebun milik Jamri dan Hatman yang berdampingan, seluas mata memandang hanyalah hamparan abu dan arang. Beberapa tanaman sawit yang belum lama mereka tanam pun terbakar. Kebakaran hutan di belakang kebun mereka terjadi satu minggu sebelumnya.
Saya menyaksikan kepulan asap tipis masih keluar dari tanah gambut di sana. Saat itu, dengan jelas saya melihat sejumput hutan tempat orangutan malam sebelumnya bertahan hanya seluas sekitar seratusan meter persegi. Itupun tak sepenuhnya hijau lagi. Ada pula satu pohon masih berdiri persis di sekitar batas kebun Jamri dan hutan yang terbakar. Ironisnya, di atas pohon satu-satunya itu masih terdapat sarang orangutan.
Saat itu, Jamri juga menunjukkan dua titik bekas orangutan memakan nenas. Ada beberapa nenas muda sisa makan orangutan di situ. Jamri meyakini itu sisa makanan orangutan berbeda karena masih ada getah dan kondisi masih segar. “Mungkin tadi pagi. Memang kalau masih muda buahnya, nggak habis dimakan,” katanya, Jumat (20/9/19).
Kawasan terdegradasi
Areal kebakaran dan penemuan orangutan ini masih berstatus hutan produksi (HP). Areal ini juga masuk kawasan hidrologi gambut (KHG) Sungai Arut-Lamandau. Jangankan kemarau panjang, hujan tak turun kurang dua minggu saja Maret lalu, sempat membuat kawasan ini terbakar.
Saat itu, setidaknya, saya memonitor kebakaran di kilometer 7-8 dan kilometer 10. Tahun lalu, saat tak ada kemarau panjang pun, beberapa titik di kawasan itu terbakar.
“Tiap tahun pasti terbakar. Gambut dalam. Masoraian juga terbakar. Api di tengah,” kata Fajar Dewanto, Field Director OFI.
Di kawasan ini pula, Walhi Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo (SOB) melaporkan ada pembukaan lahan untuk kebun sawit dalam skala besar akhir tahun lalu pada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup Wilayah Kehutanan Kalimantan, Seksi Wilayah I Palangka Raya. Kebun itu terletak di kilometer sama namun berada di sisi kiri jalan koridor.
Ekosistem gambut di sini memang sudah terdegradasi sejak pertengahan tahun 2000-an saat koridor Jalan Pangkalan Bun– Kotawaringin Lama, sepanjang hampir 40 kilometer dibuka.
Laporan Hasil Analisis Survei Populasi Orangutan Pada Kawasan Hutan Penyangga SM Lamandau hasil kerjasama Orangutan Foundation, BKSDA Kalimantan Tengah, dan KPHP Kotawaringin Barat, yang ditulis Iman Sapari, pun menyebutnya begitu.
“Pembangunan jalan telah menyebabkan terpisahnya (fragmentasi) habitat orangutan di sebelah kiri jalan dengan sebelah kanan jalan. Orangutan yang hidup di sebelah kiri jalan arah Pangkalan Bun – Kotawaringin Lama terus terdesak di hutan yang sempit akibat tidak ada koridor hutan yang mengubungkan. Di sebelahnya, hutan juga dibatasi Sungai Lamandau,” demikian petikan laporan itu.
Laporan itu juga menyatakan, alih fungsi hutan di wilayah ini, menyebabkan konflik antara manusia dengan orangutan. Beberapa orangutan masuk ke kebun penduduk, dan memakan tanaman. Pada periode 2015-2017, tercatat lebih lima kasus laporan konflik manusia-orangutan di wilayah ini dan tiga berhasil ditranslokasi ke Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.
Masih banyak orangutan
Walau begitu, dalam laporan analisis survei yang rilis Desember 2017, diperkirakan masih terdapat 207-289 individu orangutan. Survei ini dilakukan di kiri jalan koridor, yang satu hamparan hingga Sungai Arut di bagian selatan dan Sungai Lamandau di sisi barat.
Untuk areal yang makin menyempit karena terfragmentasi jalan, perkiraan populasi masih tergolong besar. Disebutkan, orangutan yang menetap di sana, hanya memanfaatkan bagian tertentu, terutama hutan rawa gambut primer dan sekunder secara terus menerus.
Dugaan lain, karena blok hutan yang masuk survei merupakan wilayah pengungsian. “Tekanan pembukaan lahan dan kegiatan ilegal lain mendorong orangutan lari mencari tempat aman. Orangutan dari kawasan lain yang berdekatan dengan wilayah ini, jadi kawasan ini sebagai tempat pelarian,” tulis Iman.
Menurut Jamri, jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, mulai dibuka pada 2005. Jamri termasuk warga yang bekerja membuka jalan itu. Saat itu, dia banyak menjumpai orangutan.
Dia mengatakan, ikut bekerja karena mendapat kavling tanah 200×30 meter. Di kawasan itu, kini terdapat kanal pada kedua tepi jalan. Selain itu, juga terdapat parit-parti besar kavling tanah. Meski begitu, Jamri belum memiliki surat legal atas penguasaan lahan karena kawasan itu berstatus hutan produksi.
Namun, katanya, banyak kavling tanah alias sudah berpindah tangan. Beberapa nama tokoh dan pengusaha di Pangkalan Bun disebut sebagai pemilik kebanyakan lahan di tepi jalan koridor itu. Biasa, lahan yang telah dikuasai orang mampu itu ditumbuhi sawit yang subur terawat.
Jamri hanya sedikit dari pemilik awal kavling-kavling tanah di sana. Dia bergeming dari godaan untuk mengalihtangankan lahan. “Sayang dijual. Ini mau dibeli ponakan dari Kotawaringin, Rp120 juta. Jangan kataku.”
Saat ini, perluasan penguasaan lahan sudah melampaui kavling tanah sepanjang 200 meter dari tepi jalan. Kebakaran lahan pun kian meluas. Saya datang lagi ke kawasan itu Minggu (22/7/19). Sisi kiri jalan, persis di seberang lahan Jamri, mulai terbakar hebat. Tengah hari, saat saya datang, tim pemadaman belum datang.
Saat sama, di kilometer 28 Kecamatan Kotawaringin Lama pun terbakar hebat. Sejumlah pengendara mobil pun ragu-ragu melintas karena ketebalan asap.
Parahnya, di sekitar lokasi itu terdapat jalan bertitian papan, yang diduga sebagai jalur pembalakan liar (illegal logging). Lokasi itu sangat dekat dengan areal hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 3.006 hektar yang dikelola Kelompok Tani Hutan Komunitas Karya Masoraian, dengan surat keputusan keluar baru-baru ini.
Gusti Samudra, Ketua Kelompok Masoraian, tengah sibuk memadamkan api dan menggalang logistik untuk timnya. Dia menyampaikan kemarahan atas praktik pembalakan liar itu. Dia bilang, sudah melaporkan kasus ini ke polisi. Hingga kini, belum mendengar tindak lanjut atas laporannya itu.
Keterangan foto utama: Dokter hewan memeriksa orangutan di hutan terbakar di Jalan Pangkalan Bun– Kotawaringin Lama kilometer 15, sesaat setelah berhasil dievakuasi ke tepi jalan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia