- Hari Satwa Sedunia setiap tanggal 4 Oktober sangat penting untuk diperingati, untuk meningkatkan awareness ke masyarakat tentang pentingnya satwa liar bagi kehidupan.
- Saat ini hak asasi hewan itu kian terampas karena perburuan.
- Selain perburuan, alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara pembakaran hutan dan lahan juga menjadikan ruang gerak satwa semakin sempit.
- Perlu diterbitkan peraturan pelarangan perdagangan dan perburuan semua jenis satwa dan masterplan pembangunan yang lebih ramah terhadap satwa
Bertepatan dengan hari Satwa Dunia (World Animal Day) yang diperingati setiap 4 Oktober, menjadi momentum tersendiri bagi sebagian komunitas pecinta satwa untuk merayakanya. Selain dirayakan, momentum itu juga perlu dijadikan refleksi sebagai pengingat agar setiap manusia menyadari bagaimana kondisi habitat dan hak-hak satwa saat ini.
Seperti diungkapkan Ika Yuni Agustin (36), pemerhati satwa liar dan mahasiswa pascasarjana Biologi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jumat (04/10/2019) bahwa salah satu tujuan peringatan hari satwa dunia yaitu untuk meningkatkan awareness ke masyarakat tentang pentingnya satwa liar bagi kehidupan, dan juga penyadartahuan mengenai hak-hak satwa. Karena masih banyak orang yang belum memahami peran satwa di alam.
Satwa mempunyai peran ekologis penting, seperti burung dan primata yang penting untuk proses regenerasi hutan. Selain itu, satwa predator seperti macan dan harimau juga penting dalam rantai makanan.
“Kalau sampai satwa-satwa liar itu punah bisa dibayangkan, akan terjadi kekacauan dalam ekosistem di alam,” kata Ika yang sedang meneliti tentang Strategi Edukasi Lutung Jawa ini.
Seperti manusia, satwa juga berhak hidup layak, seperti terbebas dari rasa lapar, haus, takut, sakit, dan bisa berperilaku secara alami. “Satwa juga ingin hidup bebas, mendapatkan pasangan, berkembang biak dan bermain di alam liar,” lanjutnya.
baca : Perdagangan Satwa Liar Butuh Penanganan Serius
Habitatnya terganggu
Ika menyayangkan masih banyak orang yang belum paham peran dan hak satwa di habitatnya. Hal itu terlihat seiring semakin hilangnya hutan yang menjadi tempat hidupnya. Itu menandakan hak asasi hewan itu kian terampas atau terabaikan.
Keterancaman akan hak hidup satwa di habitatnya juga disampaikan Iqbal Nur Ardiansyah (23), mahasiswa Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang menjelaskan, dari penelitiannya tentang satwa burung di Pujon, Kabupaten Malang melihat kerusakan habitat satwa nyata terlihat akibat alih fungsi lahan. Selain itu, pembakaran hutan dan lahan juga menjadikan ruang gerak satwa semakin sempit.
“Hutan lindung banyak yang berubah fungsi. Tegakan penyusunnya sudah mulai hilang menjadi lahan pertanian maupun perkebunan, yang tentunya menganggu habitat bagi satwa,” ujar Iqbal, yang aktivis Komunitas Kelompok Studi Satwa Liar UMM.
Dia berharap pihak-pihak terkait segera menindak tegas pelaku pembukaan lahan yang menyalahi aturan itu.
baca juga : Kementerian Lingkungan Perkuat Pengawasan Perdagangan Satwa Liar Lewat Sosial Media
Solusi
Sedangkan Nur Rachman (31), mahasiswa S2 Biosains Hewan di Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan permasalahan hak dan habitat satwa saat ini sudah semakin komplek, serpti konflik lahan dengan manusia. Menurutnya, kawasan bernilai konservasi tinggi (NKT), yang dekat dengan pemukiman seharusnya bisa dibagi secara ekologi dan ekonomis dengan satwa. Sehingga perlu ada zona pemanfaatan dan zona inti.
“Zona pemanfaatan bisa digunakan masyarakat tanpa memperluas perambahan, zona inti yaitu lahan ekosistem penyusun dengan vegetasi yang mampu menunjang kebutuhan oleh satwa,” katanya.
Lanjutnya, zona inti juga harus memberikan rasa aman dan nyaman untuk perkembangan satwa. Dia melihat perlu adanya master plan yang menyeimbangkan antara pembangunan dengan hak dan habitat satwa sebagai solusinya.
“Satwa butuh tempat yang aman untuk berkembang biak, tapi kadang kita lupa kalau kita hidupnya berdampingan, mereka juga butuh tempat hidup,” pungkasnya.
menarik dibaca : Perdagangan Satwa Ilegal Ada di Sekitar Kita, Begini Kondisinya
Sementara Agus Murrofik (23), Ketua Serikat Birdwatcher Ngalam menjelaskan burung makin sulit ditemukan karena banyaknya perburuan satwa, selain habitatnya yang makin berkurang. Hal itu dari pengalamannya melakukan penelitian tentang distribusi spasial dan temporal burung yang ada di UB Forest Malang.
Mahasiswa jurusan Biologi Universitas Brawijaya (UB) itu menawarkan solusi mengurangi perburuan yaitu dengan bird watching, yang bernilai konservasi, ekonomi dan juga wisata.
baca juga : Perdagangan Satwa Menggila, Berikut Foto-foto Hasil Sitaan…
Sedangkan Rosek Nursahid, Pendiri dan Ketua Profauna mengatakan masih banyak penangkapan burung di alam liar biasa karena untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sehingga Profauna mengadakan kegiatan dengan mengajak masyarakat untuk melakukan pemantauan satwa
“Tujuanya supaya lebih mudah untuk melakukan analisa-analisa, dan juga mendorong pemerintah agar supaya lebih ketat lagi dalam melindungi satwa baik itu yang dilindungi maupun yang belum dilindungi oleh undang-undang, sebelum satwa itu semakin langka,” katanya.
Dia mencontohkan kasus di dua tempat di Malang seperti di Dau, lereng Gunung Kawi dan di Cangar. “15 tahun yang lalu masih banyak dijumpai burung cendet sama burung kacamata, tapi semenjak 5 tahun ini sudah semakin sulit. Seharusnya pemerintah bisa lebih tegas,” katanya.
Dia berharap pemerintah daerah bisa menerbitkan Perda yang melarang perburuan semua jenis satwa. Sementara di tingkat desa, sudah ada yang mengeluarkan peraturan pelarangan perburuan semua jenis satwa, yaitu Desa Kucur, Kecamatan Dau, Malang.