- Warga Sihaporas, ke kebun bercocok tanam, Senin pagi, 16 September 2019. Tak lama, ada keamanan perusahaan datang meminta warga setop berkebun di lahan adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan ini. Berujung konflik, pada 2 Oktober 2019, warga pun lapor ke Komnas HAM.
- Seorang balita yang ikut ayahnya ke kebun, Mario Teguh Ambarita, terkena pukulan diduga oleh orang perusahaan sampai tak sadarkan diri. Balita 3,7 tahun ini dilarikan ke Puskesmas. Warga adakan pertemuan dan sepakat untuk tempuh jalur hukum atas penganiayaan pagi itu. Mereka lapor ke Polres Simalungun.
- Perusahaan menyatakan, kala itu terjadi penganiayaan terhadap karyawan mereka hingga luka-luka dan lapor penganiayaan ke polisi.
- Atas laporan warga, polisi minta pelapor dan saksi, Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita, datang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saat datang ke polisi, mereka malah ditahan atas laporan penganiayaan oleh perusahaan.
Pagi itu, Senin (16/9/19) suasana di Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, begitu cerah. Warga di sini merupakan keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas.
Dari sebuah rumah nan sejuk, seorang anak, bernama Mario Teguh Ambarita, usia baru 3,7 tahun pergi ke dapur menemui sang ibu yang tengah meniup kayu bakar dengan pipa dekat tanakan nasi.
Sekitar pukul 8.00 mereka turun ke kebun. Selang setengah jam di kebun, tiba-tiba terlihat segerombolan orang berteriak keras sambil mengeluarkan kalimat pengusiran terhadap warga Sihaporas.
Mereka bingung, saling menatap satu sama lain. Segerombolan orang itu makin mendekat dan merampas cangkul petani. Mereka membentak dan menyuruh warga angkat kaki dari tanah adat mereka.
Belakangan, diketahui, orang-orang itu sekuriti dan karyawan perusahaan bubur kertas bernama PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka berupaya mengusir warga Sihaporas dari kebun, dan melarang mereka beraktivitas di sana.
Cangkul Marudut Ambarita dirampas seorang pria bernama Bahara Sibuea, Humas TPL Aek Nauli.
Mario Teguh Ambarita, sang anak tampak ketakutan dan berlari kepangkuan sang ayah yang masih bingung dengan orang-orang yang datang ke tanah adat mereka, dan mengklaim masuk kelola TPL.
Situasi makin memanas. Tiba-tiba terdengar suara pukulan tangan begitu kuat, oleh orang diduga karyawan TPL bernama Bahara Sibuea. Pukulan telak mengenai wajah Mario Ambarita. Balita itu langsung tak sadarkan diri dalam gendongan sang ayah. Semua panik dan histeris, emosi namun mencoba menahan diri. Para perempuan dan Marudut Ambarita bergegas melarikan anaknya ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
Di tanah adat Sihaporas, suasana masih tegang. Warga marah atas perlakuan pekerja TPL kepada si balita. Situasi memanas. Kabar dari kampung bahwa Mario belum sadarkan diri, membuat warga kembali ke desa.
Kondisi belum tenang. Tokoh dan pengurus adat, Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita, ada di antara warga. Malam itu, tokoh dan warga berkumpul. Mereka berdialog memutuskan langkah yang akan diambil. Semua sepakat, ini murni tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Akhirnya, mereka sepakat melanjutkan masalah ini ke ranah hukum. Orangtua Mario dan warga adat yang mengalami penganiayaan melaporkan kejadian menimpa mereka ke Polsek Sidamanik. Di sana laporan mereka ditolak, dan diarahkan ke Polres Simalungun.
Didampingi pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), sebagai penasihat hukum Marudut Ambarita, orangtua Mario Ambarita dan Thomson Ambarita.
Manambus Pasaribu, Direktur Bakumsu Rabu (25/9/19) mengatakan, kedua warga adat Sihaporas itu sudah membuat laporan ke Kepolisian Resor Simalungun pada 17-18 September 2019, atas tindakan pemukulan yang diduga karyawan TPL.
Mongabay berusaha menghubungi Humas PT TPL, Norma Patty Handini Hutajulu, untuk mengkonfirmasi seputar kasus ini. Dia bilang akan memberikan respon, tetapi hingga berita ini keluar belum ada tanggapan lanjutan.
Dikutip dari Kompas.id, Direktur TPL Mulia Nauli dalam jawaban tertulis mengatakan, lahan klaiman masyarakat adat Sihaporas merupakan konsesi mereka yang sudah empat periode ditanam eukaliptus. Dia juga sebutkan, oknum masyarakat adat Sihaporas melakukan pemukulan menyebabkan seorang karyawan TPL luka berat dan delapan lain luka ringan.
Sebelum pemukulan, katanya, humas TPL berupaya dialog dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung setop dulu. TPL juga mengajak warga bermusyawarah dan berbicara baik-baik. Suasana memanas hingga terjadi pemukulan.
Menurut Mulia, areal Desa Sihaporas itu merupakan konsesi TPL yang memiliki izin dan memasuki rotasi tanam eukaliptus keempat. Perusahaan itu punya izin hutan tanaman industri melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS II/1992 juncto SK 179/Menlhk/Sedjen/HPL.0/4/2017.
Lapor penganiayaan, malah jadi tersangka?
Atas laporan kedua warga, penyidik kepolisian meminta penasihat hukum warga, Bakumsu agar bisa menghadirkan dua warga Sihaporas yang jadi pelapor dan saksi, yaitu Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita.
“Pada 24 September 2019, kedua warga memenuhi panggilan penyidik kepolisian. Mereka ingin kasus ini diusut tuntas,” kata Manambus.
Saat kedua saksi datang kepada penyidik Kepolisian Resor Simalungun untuk memberikan keterangan, aparat kepolisian justru menangkap mereka dengan dasar surat perintah penangkapan No.Pol: Sip.Kap/148/IX/2019/ Reskrim terhadap Thomson Amarita. Juga surat perintah penangkapan No.Pol: Sip.Kap/150/IX/2019/ Reskrim terhadap tersangka Jonni Ambarita.
Polisi ternyata menahan keduanya atas laporan TPL yang mengadu dugaan penganiayaan orang atau benda. Sedangkan laporan terkait dugaan penganiayaan terhadap balita yang dilaporkan para saksi justru tersangka, tidak disidik aparat.
Manambus, protes dengan tindakan penangkapan kepolisian Resor Simalungun ini.
“Tindakan Polres Simalungun arogan, berlebihan dan sewenang-wenang,” kata Manambus.
Selain itu, terhadap Jonni Ambarita dan Thomson Ambarita, penyidik belum pernah ada panggilan, bahkan mereka ditangkap pada saat memenuhi panggilan sebagai saksi dan korban di kantor polisi.
Tindakan penangkapan oleh Polres Simalungun merupakan tindakan tak profesional, dan tak proporsional serta tidak imparsial. Mereka justru penangkapan tak menangkap tersangka pelaku dalam laporan polisi, yang dibuat Marudut Ambarita dan Thomson Ambarita.
Mereka meminta, Polres Simalungun profesional, proporsional dan imparsial, dalam penanganan kasus hukum masyarakat Sihaporas.
Polres Simalungun juga diminta membebaskan korban, Thomson Ambarita dan saksi Jonni Ambarita, bukan malah menetapkan mereka sebagai tersangka.
Mereka meminta Komnas HAM investigasi pelanggaran HAM kasus ini. “Kapolri dan Kalpolda Sumatera Utara, harus menindak aparat Polres Simalungun atas tindakan arogan, sewenang-wenang, tak profesional, tak proporsional dan tak imparsial dalam penanganan kasus ini.”
Penyusun dan penyelaras sejarah adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Domu D. Ambarita, kepada Mongabay Rabu sore mengatakan, kriminalisasi terhadap warga Sihaporas, bukan sekali terjadi.
Setidaknya, sudah tiga kali sejak 2002-2004, terakhir 16 September 2019, dengan korban lima orang.
Pada 2002 dan 2004, terjadi penangkapan tiga warga adat, yaitu, Arisman Ambarita (2002), sempat ditahan tiga bulan. Pada 6 September 2004, polisi menangkap Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita, menjalani persidangan dan vonis dua tahun. Saat ditangkap, mereka sedang bercocok tanam.
“Untuk kasus penganiayaan Mario Ambarita, saya sudah tanya ke Kapolres Simaluntun, bilang tak ada outopsi. Ini aneh karena otopsi dilakukan melalui surat pengantar dari penyidik,” kata pria yang merupakan keturunan generasi kedelapan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas ini, Rabu siang.
Kasus ini, katanya, catatan panjang kriminalisasi kepada warga adat Sihaporas, dan bertambah jadi lima orang, yaitu, satu orang pada 2002, dua orang 2004 dan 16 September 2019, ada dua orang.
Lapor Komnas HAM
Pada Selasa (2/10/19), perwakilan masyarakat adat Batak Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumut bersama pendamping, laporkan kasus mereka ke Komnas HAM.
Mereka langsung ditemui Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Bidang Eksternal didampingi bagian Dukungan Pelayanan Pengaduan.
Dikutip dari laman resmi Komnas HAM, warga menceritakan, mereka turun temurun tinggal di sana sekitar 200 tahun dan mengelola lahan adat secara turun temurun.
Pada 1913, lahan garapan sempat dipinjam paksa oleh Belanda, untuk tanam pinus. Belum panen, Indonesia sudah merdeka. Tanah itu kemudian, diambil negara dan jadi hutan negara, kemudian keluar izin untuk TPL.
Pada 1998, warga sepakat menuntut hak tanah kepada DPRD dan Pemerintah Simalungun. Pemkab Simalungun tak berbuat banyak karena persoalan ini dinilai kewenangan pemerintah pusat. “Pun seandainya jadi kewenangan Pemkab Simalungun, tanah yang akan diberikan kepada masyarakat hanya 150 hektar, sedangkan tanah masyarakat yang dikelola pemerintah 2.049 hektar. Kondisi ini telah jadi akar konflik.”
Sandra menanggapi, Komnas HAM akan memproses berkas pengaduan sesuai prosedur dan fungsi Komnas HAM.
“Berkas ini kami terima. Kami pelajari. Selama kasus ini ditangani, kami akan mengeluarkan surat bahwa kasus ini sedang dalam pemantauan kami,” katanya.
Dia mempersilakan kepada para pendamping kalau ingin mengadukan dan melaporkan kasus Sihaporas ke lembaga atau instansi lain. “Tidak mengapa jika saudara melaporkan ke banyak pihak. Segera infokan ke kami bila tak ada reaksi atau tanggapan. Kami juga meminta info progres dari berbagai laporan ke lembaga lain hingga dapat berkoordinasi.”
Turun menurun di sana
Masyarakat adat Sihaporas, bukan pendatang penggarap. Tanah ini sudah delapan generasi mereka huni, sejak Ompu Mamontang Laut Ambarita. Mereka menyeberangi Danau Toba, menggunakan solu (perahu) dari Ambarita di Pulau Samosir ke Dolok Mauli, dekat Sipolha di Kabupaten Simalungun, Sumut.
“Kami berada di tanah adat ratusan tahun turun-temurun delapan sampai dengan 10 generasi, atau sudah menempati tanah adat kami sejak sekitar 200-250 tahun silam,” kata Domu.
Dalam berkas penyusunan sejarah yang dia selaraskan, Domu memiliki banyak bukti tentang keberadaan masyarakat adat Sihaporas, yang sudah ada duluan sebelum perusahaan, bahkan sebelum Indonesia, ada.
Tanah Sihaporas, katanya, sudah diakui Belanda dan terbit dalam peta Enclave pada 1916. Dalam peta itu, tertulis tiga tempat atau lokasi, yakni Sihaporas, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Nagori Dolok. Bukti peta juga tersedia di kementerian.
“Warga juga bukan penjahat, bukan perampok, melainkan kami keturuan pejuang negara Indonesia.”
Dia bilang, ada enam warga yang meraih tanda jasa pejuang sebagai Legiun Veteran RI, antara lain, Jahya Ambarita, Firman Ambarita, Ranto Ambarita, Gabuk Ambarita, Victoria Br Bakkara. “Dokumen piagam Legiun Vereran RI kita miliki dan disimpan dengan baik.”
Dia mendesak, negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat adat. Ketika kekayaan dan keberagaman mereka jadi kebanggaan nusantara, mengapa hak-hak mereka tidak diakui.
Soal hak ulayat adat dan kepemilikan tanah adat, itu hal baru. “Sejak kapan surat kepemilikan atas tanah baru ada? Baru ada setelah ada Indonesia. Nah, masyarakat adat sudah menduduki dan menempati wilayah adat sebelum Indonesia ada.”
Ada bukti dan sejarah. Negara, katanya, harus mengakui masyarakat adat, bukan malah jadikan mereka korban.
Masyarakat adat Sihaporas, sangat menjaga alam. Mereka memenuhi berbagai keperluan dari alam, termasuk untuk ritual adat, seperti bambu, sirih, kemenyan dan lain-lain.
Mereka menjaga budaya tetap hidup. Setidaknya, Ompu Mamontang Laut Ambarita, memiliki tujuh ritual adat yang sudah turun menurun. Pertama, patarias debata mulajadi nabolon. Ia adalah pesta adat memuji, memuliakan dan menyampaikan persembahan kepada Tuhan, diiringi gondang tiga hari dua malam, diselenggarakan empat tahun sekali.
Kedua, raga-raga na bolak parsilaonan. Ia merupakan doa disertai ritual permohonan dan persembahan kepada leluhur, yakni Ompu Mamontang Laut Ambarita yang diselenggarkan empat tahun sekali.
Ketiga, mombang boru sipitu suddut. Ini berupa doa disertai permohonan dan persembahan melalui Rajai Raja Uti dan Raja Sisimangaraja.
Keempat, manganjab, adalah doa memohon kesuburan dan keberhasilan pertanian, sekaligus tolak bala dari hama dan penyakit tanaman. Ia diselenggarakan di ladang setiap tahun. Kelima, ulaon habonaran i partukkoan. Ini merupakan doa melalui Habonaran sampai pada Raja Sisimangaraja.
Keenam, pangulu balang parorot, merupakan doa melalui penjaga kampung dan hadatuaon. Ketujuh, manjuluk. Ia adalah doa di gubuk (ladang), diselenggarakan sesaat sebelum memulai bercocok tanam.
“Semua ritual ini berdampingan dan menjaga alam. Hutan harus tetap ada dan itu terus dijaga oleh masyarakat Sihaporas. Kalau hutan adat dikuasai dan direbut TPL, akan hancurlah semua. Ritual akan terganggu, alam juga akan rusak. Pertanian juga akan rusak parah. Itu sama sekali kita tolak!” kata Domu.
Surat ke presiden
Kini, Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, sudah menyusun draf membuat laporan atau pengaduan kepada Presiden Joko Widodo.
Menurut Ompu Morris Ambarita, Wakil Ketua Umum Lembaga Adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, ada beberapa poin akan mereka sampaikan ke Presiden Jokowi. Antara lain, soal program dan janji Nawacita akan mengakui masayarakat adat, dan pernah mendesak swasta mengembalikan atau menuntaskan lahan berkonflik dengan warga.
Selanjutnya, memperhatikan kasus berulang, konflik dengan masyarakat adat, bukan hanya di Sihaproas, juga di tempat lain terutama di Danau Toba. Dalam surat pengaduan ke Presiden, mereka meminta, pemerintah mencabut izin konsesi TPL dari Tano Batak. Kemudian, serahkan tanah pada masyarat adat agar dikelola dengan ramah lingkungan.
“Kami sudah dua kali menyurati presiden. Ini yang ketiga. Mohon negara hadir melindungi masyarakat, memberikan jalan keluar secepatnya. Kami berharap, jangan sampai masyarakat adat jadi korban dan gugur di tanah leluhurnya sendiri.”
Keterangan foto utama: Pada Selasa (2/10/19), perwakilan masyarakat adat Batak Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumut bersama pendamping, laporkan kasus mereka ke Komnas HAM. Foto: Dokumen Komnas HAM