Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 1]

 

  • Dari awal masehi hingga Kedatuan Sriwijaya, meskipun memiliki sumber daya alam seperti hasil hutan dan timah, Bangka dan pulau-pulau sekitarnya lebih diperankan sebagai wilayah jasa perdagangan kemaritiman. Ini karena posisinya yang menghubungkan perairan dengan sejumlah pulau besar seperti Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.
  • Di awal pemerintahan kesultanan seperti Kesultanan Palembang, peranan Bangka berubah dari jasa perdagangan menjadi pemasok hasil bumi. Peranan Bangka mulai bertambah ketika VOC hadir yang didukung revolusi industri di Eropa yang akhirnya mendorong eksplorasi timah, dan membuat perkebunan besar seperti lada dan karet.
  • Ketika Singapura dikembangkan Inggris sebagai pelabuhan utama di Asia Tenggara, pelabuhan-pelabuhan di Bangka peranannya melemah. Bangka dan pulau-pulau sekitarnya berperan sebagai penyedia kebutuhan negara-negara industry: timah, karet dan lada. Di masa Indonesia peranannya bertambah dengan dikembangkan perkebunan sawit.
  • Peranan ini memberikan dampak negatif pada Bangka dan pulau-pulau sekitar. Selain krisis lingkungan, juga krisis ekonomi dialami sebagian besar masyarakatnya.

 

Pulau Bangka merupakan salah satu pulau besar penghubung Pulau Sumatera [Sumatera Bagian Selatan], Kalimantan, dan Jawa dengan perairan penting di Nusantara. Selain memiliki sumber daya alam, termasuk penunjang teknologi perkapalan dan industri logam, pulau seluas 1,191 juta hektar ini memiliki posisi penting dalam jalur kemaritiman Nusantara, dimulai dari masa Melayu Kuno, Kedatuan Sriwijaya, Kesultanan, hingga Kolonial Eropa.

Secara geografis, Pulau Bangka dikelilingi pulau-pulau [Pulau Belitung, Pulau Lepar, dan ribuan pulau kecil lain] serta perairan yang sibuk dari masa lalu hingga saat ini. Selat Bangka merupakan perairan yang berbatasan dengan Pulau Sumatera [Barat] sebagai gerbang ke Selat Malaka.

Sejak awal masehi, Pulau Bangka relatif aman dari dampak bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tsunami karena jauh dari jalur Cincin Api Pasifik.

Kekayaan flora dan fauna, baik perairan maupun daratan di Pulau Bangka dan pulau-pulau sekitarnya, menjadi penjamin kehidupan masyarakatnya [pangan dan sandang] serta melahirkan tradisi kemaritiman [perkapalan dan pelabuhan]. Artinya, laut menjadi sumber pangan dan transportasi, sementara daratan sebagai sumber pangan dan sandang.

Kekayaan flora di daratan seperti kayu, rotan, bambu [bahan pasak], kelapa [sabut kelapa], serta getah damar, merupakan bahan baku penunjang teknologi perkapalan di masa lalu atau disebut tradisi kapal Asia Tenggara oleh para arkeolog. Kayu yang digunakan untuk kapal dan perahu umumnya melangir [meranti merah]. Sementara pelabuhan atau bangunan di tepi laut menggunakan kayu ulin [kayu besi], nibung, dan lainnya.

“Bahan utama membuat perahu, kapal, yang diturunkan oleh leluhur kami yakni kayu dari pohon melangir,” kata Batman, tokoh adat masyarakat Suku Sekak –sub Suku Laut– kepada Mongabay Indonesia, pekan pertama Oktober 2019.

 

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang dikembangkan di era pemerintahan kesultanan dan kolonial Eropa, selain karet, yang masih bertahan di Bangka dan Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Berita Tionghoa pada 1436 Masehi adalah Hsing-ch’a Shĕng-lan [ Laporan Umum Perjalanan di Laut] yang ditulis oleh Fei Hsin [Groeneveldt 1960, 79], seperti dijelaskan Bambang Budi Utomo, arkeolog lahan basah, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [13/10/2019], bahwa Pulau Bangka disebutkan menghasilkan garam, arak dari aren, katun, lilin kuning, cangkang penyu, buah pinang, dan kain tenun.

Selain itu, Pulau Bangka, Pulau Belitung, dan sejumlah pulau lainnya, yang menghasilkan pasir timah menjadikan Bangka berperan penting dalam industri logam di masa lalu. Pasir timah salah satu bahan baku perunggu yang banyak dibuat menjadi arca, bingkai cermin, mangkuk, khakkara, genta, wajra, wajragantha, serta peralatan rumah tangga lainnya. Benda-benda berbahan perunggu tersebut banyak ditemukan dalam sejumlah kapal Sriwijaya [karam] dan permukiman kuno di Nusantara atau Asia Tenggara.

 

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kemaritiman

Di masa Kedatuan Sriwijaya, diperkirakan Bangka dan pulau-pulau sekitarnya merupakan pulau yang sangat penting peranannya dalam perdagangan kemaritiman Nusantara. Seperti halnya Kepulauan Natuna dan Riau.

Selain keberadaan bandarnya, masyarakatnya [suku laut] sebagai penunjuk pelayaran kapal-kapal asing [Tiongkok, Persia, India] yang ingin berdagang di Nusantara, juga menghasilkan bahan baku perkapalan, hasil bumi seperti garam, pinang dan gula aren. Selain itu menghasilkan timah yang disebutkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan Kedatuan Sriwijaya.

Ramainya aktivitas bandar dan laut, membuat masyarakat Bangka pada saat itu lebih banyak berdiam di pesisir dan sungai dibandingkan daratan atau perbukitan. Perahu, kapal, rumah panggung, merupakan penanda hubungan manusia dengan lingkungannya.

Kedatuan Sriwijaya menguasai Bangka setelah mereka menaklukkan kelompok masyarakat di Kota Kapur [Kabupaten Bangka], yang saat itu memiliki sebuah bandar dekat Sungai Menduk. Berikutnya, dibangunlah komitmen antara penguasa Sriwijaya dengan masyarakat Kota Kapur melalui sebuah prasasti [Prasasti Kota Kapur] tertanggal 28 April 686 Masehi.

“Posisi strategis bersama bandar-bandar kuno serta timah, yang mungkin menjadi alasan Kedatuan Sriwijaya menguasai Bangka,” kata Bambang Budi Utomo.

 

Seorang ibu di Desa Sebagin tengah menyiang ikan hasil tangkapan suaminya yang merupakan nelayan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pemasok bahan baku

Timah di Bangka mulai dieksplorasi besar-besaran saat Kesultanan Palembang berkuasa. Timah merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Kesultanan Palembang. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin [1774-1804] Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia. Timah ini dibeli VOC [Belanda] dari Kesultanan Palembang yang kemudian dijual ke Eropa. Tapi timah pula yang menyebabkan konflik antara Belanda dan Inggris, yang akhirnya Kesultanan Palembang ditaklukkan Belanda, dan Bangka turut dikuasai Belanda.

Dijelaskan Bambang Budi Utomo, tahun 1754 Masehi [pascapengusiran orang Tionghoa dari Batavia pada 1740 M], otoritas Tionghoa mengumumkan setiap orang Tionghoa dengan alasan sahih berhak kembali pulang dan dilindungi hak-haknya. Dampak dari pengenduran aturan semacam itu segera tampak mengalirnya saudagar, penambang, pengusaha perkebunan, dan petualang ke segala penjuru Asia. Seperti di Viet Nam bagian utara, Kalimantan bagian barat, Phuket, Kelantan, serta dan Bangka.

Di Bangka, para penambang timah Tionghoa membangun sejumlah koloni. Misalnya, Muntok [barat laut Bangka], Sungailiat [tengah atau timur laut Bangka], dan Toboali [di tenggara Bangka]. Kota-kota ini dapat dikatakan kota tua yang dibangun penambang-penambang Tionghoa.

 

Pesisir di Desa Sebagin, Kabupaten Bangka Selatan, yang menjadi lokasi Jembatan Bahtera. Di masa Kedatuan Sriwijaya wilayah ini merupakan bagian dari Bandar Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Revolusi industri di Barat, serta lahirnya Singapura sebagai pelabuhan utama di Asia Tenggara yang dikembangkan Inggris [pasca-Traktak London pada 1824], membuat peranan Pulau Bangka dan pulau-pulau sekitarnya mengalami perubahan. Bukan sebagai kawasan “jasa” pelayaran dan pelabuhan, tetapi menjadi wilayah penghasil atau pemasok kebutuhan bangsa Barat.

Artinya Bangka dan pulau-pulau sekitarnya bukan hanya mengirimkan timah, melainkan juga hasil bumi dari perkebunan yang dikembangkan Belanda seperti lada, karet, getah damar, pinang, dan kayu. Peranan ini sama dirasakan kepulauan lainnya di Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lainnya.

Di masa Indonesia, peranan sebagai pemasok bahan baku industri negara-negara asing tidak berubah. Bahkan komoditi baru seperti kelapa sawit pun dikembangkan di Pulau Bangka dan pulau-pulau sekitar.

 

Perbukitan di Desa Bukit Kijang yang tak jauh dari Desa Baskara Bakti ini gundul setelah ditambang timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perubahan peran tersebut mengubah pula kebudayaan sebagian besar masyarakat Bangka yang sebelumnya sebagai masyarakat maritim menjadi masyarakat daratan. Mereka yang biasa hidup di pesisir didorong pindah ke daratan untuk berkebun lada dan karet atau menjadi buruh tambang timah. Didatangkan pula oleh Belanda para pekerja perkebunan dari Malaka, Johor, Tiongkok, Sumatera dan Jawa.

Hutan dan perbukitan di Bangka yang selama Kedatuan Sriwijaya masih terjaga, mulai terbuka sebagai lokasi penambangan timah, perkebunan dan permukiman, yang terus berjalan hingga saat ini.

Sebagian masyarakat yang bertahan di wilayah pesisir dan hidup bergantung laut, mulai terdesak karena penambangan timah di laut, yang menyebabkan perubahan ekosistem laut yang berdampak berkurangnya hasil tangkapan ikan.

Berperan sebagai pemasok bahan baku selama ratusan tahun, membuat Bangka dan pulau-pulau sekitarnya saat ini mengalami krisis lingkungan dan berlanjut krisis ekonomi.

 

Kolam bekas tambang yang terlihat jelas di Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya ekosistem laut, habisnya hutan, lahan menjadi kritis akibat penambangan timah, berkurangnya lahan rakyat akibat perkebunan besar, menyebabkan terganggu volume produksi dan kualitas hasil bumi seperti lada dan karet.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka-Belitung, pada 2018 tercatat 298 IUP [Izin Usaha Penambangan] Laut, dan 1.343 IUP Darat, yang luasnya mencapai 1,1 juta hektar. Sementara luasan daratan Bangka-Belitung sekitar 1,6 juta hektar. Sisa daratan Bangka-Belitung dari penambangan timah dijadikan perkebunan sawit, karet, dan lada. Tak heran hanya 25.230 hektar yang dikelola 57.751 petani lada.

Informasi terakhir yang didapatkan Mongabay Indonesia, harga lada putih dari tangan petani sekitar Rp45 ribu per kilogram, dan getah karet kisaran Rp6 ribu per kilogram.

“Kian tahun hasil lada dan getah karet kami terus menurun, dan harganya pun kian murah. Sementara kebutuhan yang kami beli harganya terus naik. Kami sekarang hidup susah nian,” kata Bandi [33], warga Bangka Tengah.

 

*Nopri IsmiMahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,