Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 2]

 

  • Masyarakat Bangka dan pulau-pulau sekitar harus berpikir terbuka, tidak anti-perubahan, inovatif, serta menjaga kearifan lokal dan lingkungan, jika ingin bertahan hidup di tengah krisis lingkungan dan ekonomi.
  • Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung saat ini tengah membangun pelabuhan internasional, nasional dan jembatan penghubung dengan Pulau Sumatera, guna mengembangkan ekonomi dari sektor jasa. Namun pro dan kontra terjadi terhadap upaya tersebut.
  • Upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung itu dinilai seperti mengembalikan peranananya di masa Kedatuan Sriwijaya.
  • Jika ingin kembali berperan seperti di masa Kedatuan Sriwijaya, nilai-nilai luhur Kedatuan Sriwijaya yang menjaga lingkungan dan ketahanan pangan harus diterapkan.

 

Baca sebelumnya: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 1]

**

 

Apa yang harus dilakukan masyarakat Bangka dan pulau-pulau sekitar agar mampu bertahan hidup di tengah krisis lingkungan dan ekonomi yang mereka alami?

“Awalnya, masyarakat Bangka harus bersikap terbuka, kritis, tapi tidak anti-perubahan dan mengupayakan inovasi di berbagai sektor termasuk ekonomi dan industri. Namun, tidak mengabaikan kearifan lokal dan lingkungan. Kearifan lokal harus menjadi fondasi semua aksi inovasi, di darat maupun laut,” kata Dr. Abdurrahmansyah, pakar pendidikan dari UIN Raden Fatah Palembang, Minggu [13/10/2019].

Contohnya, masyarakat Bangka dan pulau-pulau lain harus berpikir bagaimana mengembangkan ekonomi yang tidak lagi bergantung pada sektor ekonomi, yang sudah berjalan selama ini. “Kembangkan ekonomi arif lingkungan dan berkelanjutan. Misalnya di sektor jasa, seperti jasa pariwisata maupun pelabuhan, pelayaran, dan lainnya. Bangka dan Belitung memiliki potensi besar.”

“Jika itu diperankan, masyarakat Bangka akan hidup makmur, sehat dan damai karena menjadi masyarakat global yang arif terhadap lingkungan,” kata lelaki kelahiran Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah.

 

Inilah hutan yang masih bertahan di Bangka, hutan adat Rimba Keratung. Di masa Kedatuan Sriwijaya hutan difungsikan sebagai penyedia bahan baku pelabuhan dan perkapalan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kembali ke jalur maritim?

Pemerintah Kepulauan Bangka-Belitung dan Sumatera Selatan saat ini tengah berencana membangun Jembatan Bahtera [Bangka-Sumatera] sepanjang 13 kilometer. Di Pulau Sumatera, pangkal jembatan ini berada di Sungai Lumpur, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumsel, sementara di Pulau Bangka berada di Desa Sebagin, Kecamatan Simpang Rimba, Bangka Selatan.

Pro dan kontra di masyarakat Bangka dan Belitung -dua pulau yang paling banyak penghuninya–terhadap Jembatan Bahtera. Misalnya, jembatan tersebut mematikan peranan pelabuhan yang sudah ada, baik di Muntok, Sungailiat dan Pangkalpinang. Lalu, membuat Bangka lebih mudah diakses para pendatang, sehingga dikhawatirkan timbul sejumlah konflik sosial, seperti kriminalitas.

Yang mendukung, berpendapat jembatan tersebut mempermudah hubungan ekonomi Bangka dengan Sumatera dan Jawa, sehingga berbagai kebutuhan primer dan sekunder yang selama ini didatangkan dari dua pulau tersebut menjadi lebih cepat dan murah. Namun, jika sebatas kepentingan itu, tampaknya nilai investasi Jembatan Bahtera sekitar Rp15 triliun sangat mahal.

 

Di masa Kedatuan Sriwijaya, manusia didorong hidup sejahtera, namun tetap diminta melestarikan alam, karena alam bukan hanya untuk manusia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Benarkah jembatan tersebut bertujuan ingin mengembalikan peranan Bangka dalam jalur kemaritiman international?

“Kalau mau memperkuat posisi Bangka dalam jalur kemaritiman, bangun [banyak] pelabuhan. Saya setuju dengan pembangunan jembatan dalam konteks akses dan pengendalian stabilitas ekonomi,” kata Dr. Ibrahim, pengamat social dan politik dari Universitas Bangka-Belitung, Minggu [13/10/2019].

Namun keberadaan jembatan tersebut, menurut Ibrahim, tidak memperkuat posisi Bangka dalam jalur kemaritiman.

Jika dibangun bersamaan antara pelabuhan international dan Jembatan Bahtera menurut Ibrahim keduanya tidak akan berjalan optimal, “Harus pilih salah satu. Kalau beriringan akan mubazir,” katanya.

 

Sejak maraknya penambangan timah di lepas pantai Bangka, nelayan mengeluhkan hasil tangkapan ikan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berbeda dengan Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan. Dia mengatakan, jika Bangka ingin mengembalikan peranan pentingnya dalam jalur kemaritiman, pembangunan Jembatan Bahtera dan pelabuhan international merupakan satu kesatuan. Beriringan.

“Jika pembangunan Jembatan Bahtera tanpa adanya pelabuhan international maka jembatan tersebut fungsinya tidak optimal. Investasi terasa sangat mahal dibandingkan dampak ekonomi dan sosialnya,” katanya, Minggu [13/10/2019].

Sebaliknya, hanya membangun pelabuhan internasional, mungkin tidak terlalu ramai. “Mungkin pelabuhan itu hanya melayani ekspor yang dihasilkan Bangka dan Belitung seperti timah, lada dan karet. Mungkin tidak berkelanjutan atau terbatas jumlahnya. Impor juga tidak terlalu tinggi,” kata akademisi dari Universitas Sriwijaya.

Jadi, jika Jembatan Bahtera dan pelabuhan internasional dibangun di Bangka, maka aktivitas ekspor-impor di pulau tersebut menjadi lebih ramai karena melibatkan eskportir dan importir di Sumatera dan Jawa. Dengan begitu, akses pelabuhan internasionalnya melalui transportasi darat dengan biaya lebih murah dibandingkan transportasi laut dari sejumlah pelabuhan pendukung di Pulau Sumatera dan Jawa.

 

Pantai Rebo yang indah harus dirawat dari sampah dan kerusakan lingkungan lainnya. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Jika kawasan pesisir sekitar Kota Kapur di Pulau Bangka pada masa pra-Kedatuan Sriwijaya adalah sebuah bandar, sementara di seberang lautnya Teluk Cengal berkembang menjadi bandar di masa Kedatuan Sriwijaya [Nurhadi Rangkuti, 2018], maka diperkirakan begitu ramainya aktivitas perdagangan laut di Selat Bangka yang dikembangkan Kedatuan Sriwijaya.

“Jembatan Bahtera menurut saya merupakan langkah cerdas guna mengembalikan kondisi tersebut,” kata Najib.

Sebagai informasi, berdasarkan sejumlah pemberitaan di media massa, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung selain ingin membangun Jembatan Bahtera juga membuat pelabuhan internasional dan nasional, seperti pelabuhan internasional di Pantai Gusung, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Bangka Tengah, dan pelabuhan nasional yakni Pelabuhan Sadai di Bangka Selatan.

 

Seorang warga mencangkul sawah di Desa Sebagin. Saat kemarau, sawah ditananami palawija. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pangan dan lingkungan

Terkait hubungan manusia dengan alam, Raja Kedatuan Sriwijaya mengamanahkan nilai-nilai dalam Prasasti Talang Tuwo yang dibuat pada saat pembangunan Taman Sri Ksetra.

Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang yang menulis buku Nilai-Nilai Lingkungan Hidup Pada Prasasti Talang Tuwo, Perspektif Komunikasi Lingkungan [2018], mengatakan ada tiga nilai yang menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan dari isi Prasasti Talang Tuwo.

Pertama, harus dibangun pemahaman jika alam [lingkungan] diperuntukkan bukan hanya untuk manusia, juga makhluk hidup lainnya [flora dan fauna]. Jika ini tidak dilakukan, maka manusia yang merugi sebab lingkungan pada akhirnya tidak mampu menjaga keberlanjutan hidup manusia bahkan dapat menjadi musuh karena kehilangnya makhluk hidup lainnya, seperti kekeringan, banjir, krisis udara bersih akibat kehilangan hutan dan sungai. Selanjutnya terjadi krisis pangan.

“Upaya yang dilakukan adalah menyediakan ruang atau kawasan untuk hidup flora dan fauna yang disebut hutan, serta menjaga ekosistem laut,” katanya.

 

Inilah lokasi tiang jembatan Sumatera-Bangka di Tanjung Berani, Desa Sebagin, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kedua, harus dibangun pemahaman manusia sempurna di mata Tuhan adalah manusia yang menjaga hubungan baik dengan sesama manusia [kemanusiaan]. “Pemahaman ini yang mampu membunuh atau menekan sikap tamak, kikir, bohong, tidak terbuka, yang merupakan ciri manusia yang kejam atau tidak memikirkan hidup manusia lainnya dalam melakukan sebuah tindakan.”

Ketiga, Raja Sriwijaya juga sangat mendorong ketersedian pangan yang sehat dan berkelanjutan. Dia pun menyebut sejumlah tanaman yang dapat dijadikan sumber pangan, yang sehat dan tidak merusak bentang alam, serta bagian dari tanaman yang dapat dimanfaatkan. Yaitu, kelapa, pinang, aren, sagu, bambu, dan beragam labu.

“Sebagai wilayah yang turut berjaya dalam skema perdagangan kemaritiman Kedatuan Sriwijaya, masyarakat Bangka dan pulau-pulau sekitar harus menjalankan kembali amanah tersebut jika ingin kembali seperti masa Kedatuan Sriwijaya,” kata Yenrizal.

 

Menjadi buruh tambang timah merupakan harapan sebagian besar warga Bangka saat ini, meskipun dampak lingkungan dan kecelakaan kerja sangat tinggi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Najib Asmani pun mengingatkan, Kedatuan Sriwijaya dalam mengembangkan perekonomian atau perdagangan internasional, juga sangat menjaga lingkungan dan kemandirian pangan. Manusia sempurna itu bukan hanya sejahtera juga sehat rohani dan raga karena hidup di lingkungan yang nyaman.

“Menjaga ekosistem laut dan melestarikan hutan, serta membangun kemandirian pangan merupakan hal utama yang harus diwujudkan Bangka dan Belitung, meskipun ke depan berkembang menjadi kawasan industri pelabuhan,” kata Najib.

Secara visual, Bangka ke depan selain terdapat sejumlah pelabuhan internasional, juga terdapat tutupan hutan, hamparan tanaman pangan, serta ekosistem laut yang terjaga.

 

Ketika Bangka dan pulau-pulau sekitar dikeruk habis timahnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jessix Amundian, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka-Belitung, mengatakan jika Bangka-Belitung ingin diperankan dalam jalur kemaritiman internasional, ada beberapa hal yang harus dijamin dan dilakukan pemerintah terkait kepentingan ekologi.

“Pengawasan dan penegakan hukum harus menjadi agenda nyata di lapangan terkait tindakan-tindakan yang menurunkan kualitas lingkungan dan merusak ekologi pesisir. Perlindungan terhadap kawasan mangrove, terumbu karang, padang lamun yang merupakan habitat fauna laut harus menjadi perioritas utama,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [13/10/2019].

Dijelaskannya, pertambangan timah di laut telah menimbulkan daya rusak begitu parah di perairan yang mengelilingi Bangka dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dan ekosistem di pesisir. Pemerintah daerah abai atau terkesan membiarkan kondisi tersebut.

Di sisi yang lain, kearifan lokal masyarakat pesisir laut yang selama ini sebagai penjaga dan pelestari wilayah maritim di Bangka terus tergerus dan terancam punah dengan kebijakan yang lebih memperioritaskan industri ekstraktif. Selama ini terlihat telah merampas ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat pesisir.

Regulasi seperti raperda [rancangan peraturan daerah] zonasi sudah seharusnya memiliki semangat sense of crisis terhadap upaya pemulihan dan penyelamatan lingkungan hidup dan ekosistem pesisir.

“Jika kepentingan bisnis korporasi ekstraktif mining yang diutamakan, tentunya wilayah maritim Bangka menuju kepunahan dan pemicu perubahan iklim yang hari ini terus terjadi. Dampaknya pun mulai dirasakan,” tandasnya. [Selesai]

 

*Nopri IsmiMahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,