- Sejak Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam disahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) langsung bekerja keras untuk mewujudkan perlindungan kepada stakeholder tersebut
- Sebagai perwujudan UU tersebut, KKP pada 2016 langsung melaksanakan program pemberian asuransi untuk nelayan yang mengoperasikan kapal ikan di bawah 10 gros ton (GT). Saat itu, ditargetkan hingga 2019 ada 2 juta nelayan yang sudah terlindungi asuransi
- Tetapi, setelah pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru kepada Edhy Prabowo, program asuransi untuk nelayan ternyata tidak mencapai target. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, jumlah penerima premi asuransi menurun dibandingkan 2016-217
- Kendala yang sering muncul, karena data administrasi yang tercatat pada nelayan tidak sesuai dengan profesi mereka sebenarnya. Sementara, Negara menuntut calon penerima premi harus terdata secara resmi sebagai nelayan pada kartu identitas resmi mereka
Harapan untuk bisa mendapatkan perlindungan penuh melalui asuransi, sudah dinantikan oleh nelayan tradisional di seluruh Indonesia sejak Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti mulai menyalurkan progam bantuan premi asuransi nelayan (PBAN) pada 2016. Saat itu, tercatat ada sedikitnya 2,7 juta nelayan yang siap menerima progam bantuan tersebut.
Tetapi, dalam praktiknya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat itu tidak bisa bergerak cepat untuk mewujudkan target tersebut. Dua tahun pertama setelah program digulirkan, tercatat setiap tahunnya maksimal hanya sekitar 500 ribu premi asuransi saja yang bisa disalurkan kepada nelayan yang terpilih di seluruh Nusantara.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar, ada sejumlah faktor yang menyebabkan gagalnya penyaluran sesuai target yang diharapkan. Di antaranya, karena ada banyak nelayan yang tidak mencantumkan profesinya sebagai nelayan pada data kependudukan seperti kartu tanda penduduk (KTP).
“Ternyata, banyak nelayan yang menuliskan di KTP bukan sebagai nelayan, bahkan ada yang menuliskan sebagai ASN (aparatur sipil Negara). Selain itu, ada juga yang mengajukan asuransi, padahal dia bekerja sebagai ABK (anak buah kapal) di kapal besar. Ini menjadi pekerjaan rumah untuk pembenahan data,” ungkap dia di Jakarta, awal pekan ini.
baca : Penyaluran Asuransi Nelayan Berjalan Lambat, Kenapa Bisa Terjadi?
Permasalahan seperti itu, diakui dia sudah terjadi sejak program penyaluran asuransi dilakukan pada 2016 lalu. Namun, seiring berjalan waktu, nelayan yang menyadari kekeliruan tersebut mau mengikuti saran dari Pemerintah untuk memperbaiki data administrasi seperti dalam KTP. Selain itu, mereka yang ingin mengajukan asuransi juga tahu bahwa itu hanya terbatas untuk nelayan kecil saja.
Zulficar menjelaskan, pada awal pelaksanaan program penyaluran asuransi, Pemerintah menargetkan sebanyak 2 juta premi asuransi bisa diwujudkan hingga 2019. Tetapi, selama lima tahun tersebut, jumlahnya tidak sesuai harapan dan hanya pada 2016-2017 saja premi bisa disalurkan untuk 500 ribu nelayan.
“Sementara, pada 2018 hanya sekitar 300 ribuan premi saja yang berhasil disalurkan, dan 2019 hanya untuk 150 ribuan saja,” jelasnya.
Khusus untuk 2019, dari target 150 ribu premi, hingga sekarang tercatat baru 88 ribu nelayan yang sudah mendapatkan premi asuransi. Seluruh nelayan tersebut, adalah mereka yang mengoperasikan kapal ikan dengan ukuran di bawah 10 gros ton (GT) atau sesuai dengan syarat yang ditentukan bagi calon penerima premi asuransi nelayan.
Nelayan Mandiri
Selain dibiayai oleh Negara, Zulficar menambahkan, program asuransi nelayan juga melibatkan nelayan langsung secara mandiri. Dalam prosesnya, nelayan yang merasa sanggup akan mendaftarkan dirinya sendiri untuk ikut serta dalam program asuransi seperti halnya yang dilaksanakan oleh Negara.
Menurut dia, program nelayan mandiri tersebut seharusnya bisa dilakukan oleh siapa saja, karena biaya yang dibebankan juga tidak mahal dan bahkan terjangkau oleh seluruh nelayan skala kecil. Dia kemudian mencontohkan, ada banyak nelayan yang bisa membeli rokok hingga lebih dari sebungkus setiap harinya. Harga rokok per bungkus, biasanya minimal mencapai sekitar Rp20 ribu.
“Rokok saja bisa terbeli, maka asuransi harusnya bisa dibayar mandiri juga. Sekarang sudah ada 30 ribuan nelayan yang mandiri mendaftarkan asuansi,” tutur dia.
baca juga : Kenapa Masih Ada Nelayan yang Belum Tahu tentang Perlindungan Asuransi?
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengakui kalau asuransi menjadi fokus dari program kerja yang dilaksanakan pada kepemimpinannya selama lima tahun mendatang. Menurut dia, asuransi akan memberi jaminan profesi untuk masyarakat perikanan, terutama skala kecil yang sedang bekerja di atas laut.
“Asuransi kita perlu mendorong, alhamdulillah sekarang sudah ada,” ucap dia.
Mengingat pentingnya asuransi, Edhy berjanji akan terus mendorong program tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh pekerja pada sektor perikanan. Dengan demikian, tak hanya nelayan skala kecil yang mengoperasikan kapal ikan di bawah 10 GT saja, namun juga nelayan yang mengoperasikan kapal di atas ukuran tersebut bisa mendapatkan manfaatnya.
Tentu saja, katanya, untuk nelayan dengan kapal di atas 10 GT, maka premi asuransi tidak bisa lagi dibiayai oleh Negara. Begitu juga dengan nelayan yang bekerja sebagai ABK pada kapal ikan milik pengusaha, mereka harus mendapatkan asuransi yang dibiayai oleh perusahaan tersebut.
Khusus untuk nelayan yang bekerja pada kapal ikan milik orang lain atau pelaku usaha, Edhy meminta diterapkan perjanjian kerja laut (PKL) untuk melindungi profesi yang dijalani tersebut. PKL dibuat oleh perusahaan dan ditandatangani oleh kedua pihak untuk menjamin perlindungan saat sedang sakit, bekerja lebih dari waktu yang ditentukan 18 jam, atau praktik perbudakan di atas kapal.
Adapun, PKL menjadi bagian dari amanat dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Juga, amanat dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Dalam Permen ini, pengusaha diwajibkan memberi jaminan perlindungan kepada ABK.
Sementara, untuk asuransi nelayan, KKP membuat Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Untuk kapal berukuran di atas 30 GT yang mempekerjakan ABK, saat ini di Indonesia jumlahnya ada 7.987 unit. Dari jumlah tersebut, setiap kapalnya diperkirakan bisa mempekerjakan 15-20 ABK. Itu artinya, diperkirakan ada 119.805-159.740 ABK di semua kapal tersebut yang harus mendapatkan asuransi melalui pembiayaan dari perusahaan.
perlu dibaca : KKP Kaji 4 Skema Asuransi Nelayan
Perjanjian Kerja Laut
Edhy Prabowo menyatakan, bagi perusahaan yang tidak menyediakan asuransi untuk para pekerjanya, maka pihaknya akan mencabut izin berlayar ataupun izin lain yang berkaitan dengan operasional kapal saat sedang berlayar.
“Jadi, asuransi dan perjanjian kerja laut, itu adalah hal yang sangat penting bagi pekerja pada sektor perikanan. Saat ini, sudah ada 80 ribu ABK yang mendapatkan perjanjian kerja laut di Indonesia,” tegas dia.
Selain asuransi untuk nelayan dan ABK, Pemerintah Indonesia juga memberikan perlindungan kepada para pembudi daya ikan skala kecil. Program tersebut mulai dilaksanakan di pengujung 2017 lalu dengan nama asuransi perikanan bagi pembudi daya ikan kecil (APPIK).
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto, APPIK menjadi program perlindungan bagi para pembudi daya ikan di seluruh Indonesia, terutama saat sedang terjadi bencana alam. Biasanya, saat kondisi tersebut berlangsung, pembudi daya hampir pasti mengalami keterpurukan secara ekonomi.
“Kerugian yang ditimbulkan biasanya membuat pembudi daya kehilangan modal dan itu tidak bisa menjalankan usaha ke tahap berikutnya,” ungkapnya.
Dia mengatakan, APPIK menjadi implementasi UU 7/2016 dan Permen KP 18/2016. Adapun, bentuk bantuan yang diberikan, adalah pembayaran premi asuransi perikanan senilai Rp450.000/hektare/tahun dengan manfaat pertanggungan Rp15.000.000/ha.
Bagi calon penerima premi asuransi, KKP menetapkan syarat yakni memiliki kartu pembudi daya ikan (aquacard), sudah tersertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), dan pembudi daya ikan kecil dengan pengelolaan lahan kurang dari lima hektar dan menggunakan teknologi sederhana.
Lebih detil, Slamet menyebut kalau APPIK melindungi pembudi daya dari bencana alam seperti banjir, tsunami, gempa bumi, longsor hingga erupsi gunung berapi. Adapun, potensi komoditas yang diasuransikan menyebar luas di berbagai provinsi di Indonesia. Untuk saat ini, jumlah pembudi daya ikan di seluruh Indonesia mencapai 3.740.528 orang.