- Fakta menyebutkan kalau perdagangan ilegal satwa liar mencapai angka yang fantastis, mencapai Rp13 Triliun
- Perburuan liar masih menjadi ancaman bagi satwa liar yang ada di Indonesia
- Seperti halnya burung, kalau punah maka dampak ekologinya bakal terasa, bahkan sampai berimbas pada sektor pertanian
- Upaya yang dilakukan adalah melakukan edukasi kepada masyarakat sebagai ujung tombak konservasi serta mendorong desa untuk mengeluarkan aturan yang pro konservasi
Sementara ini sebagian besar masyarakat masih menganggap sebelah mata soal perdagangan ilegal. Padahal, nilai kerugian akibat perdagangan ilegal satwa liar cukup fantastis nilainya. Bahkan, disebut-sebut kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp13 triliun setiap tahun. Fantastis bukan?
Pernyataan itu disampaikan oleh Dewan Pembina Biodiversity Society Hariyawan A Wahyudi pada saat Seminar Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) ke-9 di Gedung Roedhiro Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng) pada Jumat (1/11).
“Kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp13 triliun setiap tahunnya. Itu berdasarkan data penelusuran Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bahkan kemungkinan nilainya lebih besar lagi,” kata Wayudi.
Ia mengatakan tidak hanya secara ekonomi kerugiannya, tetapi juga secara ekologi. Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia mempunyai memiliki keragaman satwa yang luar biasa. Khusus untuk burung, misalnya, ada 1.771 spesies yang hidup di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 513 spesies di antaranya merupakan burung endemik yang hanya ditemui di Indonesia.
“Begitu banyaknya spesies yang hanya ditemukan di sini, menempatkan Indonesia sebagai negeri dengan tingkat endemisitas tertinggi di dunia, khususnya untuk spesies burung,”ungkapnya.
baca : Studi Menunjukkan Perdagangan Burung Endemik Indonesia Terus Terjadi

Idealnya, dengan keanekaragaman yang tinggi, menjadi kesadaran untuk melindugi spesies-spesies tersebut. Tetapi, kenyataannya malah bertolak belakang. Sebab, perburuan ilegal menjadi salah satu ancaman terbesar hilangnya beragam spesies yang ada. Bahkan, laju kepunahan burung di Indonesia menempati posisi tertinggi di dunia. “Memang, sungguh ironis, karena laju kepunahan tertinggi di satu wilayah negara yang memiliki tingkat keanekaragaman yang juga tertinggi di dunia,” katanya.
Dampak dari hilangnya spesies burung dari habitatnya tidaklah sesederhana yang dibayangkan, karena ternyata efeknya begitu kompleks. “Secara ekologis, punahnya spesies burung berdampak pada terganggunya regenerasi hutan. Mengapa? Karena berbagai jenis burung sejatinya sebagai penyebar biji. Di sektor pertanian, hilangnya spesies burung akan meningkatnya serangan hama terutama serangga yang merugikan kawasan pertanian. Sebab, burung sebagai predator serangga semakin sedikit atau bahkan hilang sama sekali. Dengan pertanian yang rentan terhadap serangan hama, maka ujungnya adalah menurunnya hasil pertanian yang berimbas pada menurunnya pendapatan dan ekonomi jadi terdampak juga. Hilangnya burung hantu dan elang, menjadikan tikus merajalela di mana-mana,”ujar Wahyudi.
Ia menambahkan, punahnya burung menjadikan tanaman buah berkurang produktivitasnya. Pasalnya, burung madu, misalnya, sangat membantu dalam penyerbukan berbagai tanaman buah. “Kalau burung tidak ada, maka penyerbukan jadi terganggu. Akhirnya produktivitas tanaman buah menjadi bermasalah,”kata dia.
Sementara di wilayah Banyumas, dari hasil investigasi selama 5 tahun terakhir ada 200 ribu ekor burung yang diperjualbelikan. Nilainya tentu besar. “Kalau data di Indonesia, nilai ekonomi burung kicauan atau penangkaran mencapai kisaran Rp1,7 triliun, sebuah angka yang menggiurkan. Apalagi, kalau marak lomba burung berkicau. Nilainya tentu akan lebih besar lagi. Kini, populasi burung dalam penangkaran, kebanyakan atau sebagian besar merupakan tangkapan dari alam, bukan dari captive breeding,” katanya.
baca juga : Akankah Perdagangan Burung Peliharaan Memicu Penyelundupan dan Mengancam Populasi Burung Liar?

Budayawan Banyumas Ahmad Tohari yang datang dalam acara itu juga menjadi saksi bagaimana spesies burung semakin berkurang di alam. Ia mengatakan, meski hidup di kampung tepatnya di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, namun burung-burung mulai banyak yang hilang. “Di kampung saya, tidak terdengar lagi bunyi suara burung kepodang, tidak ada lagi burung betet. Ada juga burung bence yang bersuara ketika ada orang lewat tanpa obor pada waktu lalu. Itu juga sempat saya tulis dalam novel saya,” ungkap Tohari.
Sebagai budayawan yang dekat dengan alam, Tohari yang juga penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu menerangkan kalau orang Banyumas memegang erat prinsip Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan atau kesejahteraan. Hal itu merupakan konsep hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta. “Ada keseimbang yang dipegang orang Banyumas,”tandasnya.
Upaya Pelestarian
Wahyudi yang juga Program Manajer Copenhagen Zoo Taman Nasional Baluran mengatakan dari kalangan civil society, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan. “Sejak tiga dekade lalu, usaha yang dilaksanakan adalah dengan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga burung dua habitat alaminya. Munculnya komunitas pemerhati burung atau birdwatcher, merupakan sebuah sinyal positif tumbuhnya kesadaran masyarakat. Tiap tahunnya, komunitas pemerhati burung semakin meningkat,”ungkapnya.
Hingga kini, lanjutnya, ada 500-an kelompok pemerhati burung yang tersebar dari Aceh hingga Papua. “Untuk menyatukan pemikiran, curah pendapat dan berbagi informasi demi kemajuan gerakan konservasi di Indonesia, maka pertemuan pengamat burung Indonesia (PPBI) dilaksanakan, sebagai kegiatan tahunan,”katanya.
perlu dibaca : Perdagangan Satwa Liar Butuh Penanganan Serius

Direktur Biodiversity Society Nur R. Fajar menyatakan kalau Banyumas menjadi tuan rumah PPBI karena wilayah setempat mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang sangat besar, terutama jenis burung.
“Maka potensi itu perlu diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia. Selain itu, juga menularkan inisiasi konservasi yang telah berkembang di Banyumas. Tahun ini, tema yang diambil adalah ‘Konservasi Burung Berbasis Desa’ yang diselenggarakan tiga lembaga yakni The Biodiversity Socieaty, MTs Pakis Banyumas dan Himpunan Mahasiswa Bio-Explorer Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Ada 110 peserta yang datang dari Pulau Jawa, Sumatera dan Flores. Para peserta dan narasumber berbagi pengalaman mengenai gerakan konservasi burung,” katanya.
Di wilayah Banyumas Raya, mulai dari Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara, ada 170 spesies dalam 62 famili. Dari jumlah tersebut sekitar 56% telah terdata dengan baik.
Fajar mengatakan kalau menilik sejarah birdwatching di Banyumas dimulai pada 1997, ketika diadakan ekspedisi Elang Jawa. Kegiatan birdwatching ini kemudian berlahan berlanjut dilakukan oleh Bio-Explorer Fabio Unsoed dan kemudian Biodiversity Society.
“Ternyata, kami menemukan adanya persoalan yang sama terkait dengan konservasi burung, yakni tekanan dari para pemburu burung dan perdagangannya, terutama di lereng selatan Gunung Slamet,”katanya.
Biodiversity Society sebagai lembaga yang konsen terhadap konservasi burung, melakukan inisiasi untuk mendampingi masyarakat. “Tujuannya adalah bagaimana mengubah pemburu burung menjadi penjaga keanekaragaman hayati. Sebab, berdasarkan pengalaman selama ini, masyarakat merupakan ujung tombang bagi pelaksanaan konservasi, terutama dalam praktik di lapangan. Salah satu tantangan terberat dalam konservasi terutama konservasi burung adalah valuasi ekonomi dari keanekaragaman hayati. Di sinilah pentingnya merancang program-program ekonomi berbasis pemanfaatan kehati yang bukan bersifat eksploitatif,”ujar dia.
menarik dibaca : Ketika Para Pemburu Burung Pensiun

Biodiversity Society menemukan kunci bahwa butuh merangkul pemburu burung, mereka didekati dan diedukasi serta diberikan alternatif kegiatan ekonomi tanpa mengubah pola aktivitas harian. Itulah yang akan menjadi solusi konservasi burung di masa mendatang.
“Kami juga terus mendorong agar desa ikut aktif dalam gerakan konservasi burung. Caranya adalah dengan memasukkan program konservasi dan pemberdayaan masyarakat ini dalam agenda pembangunan, minimal di level desa. Sehingga ada pondasi yang kuat bagi para pihak untuk terus mendorong valuasi ekonomi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan,”tandasnya.
Sementara ini, kata Fajar, di Banyumas ada sejumlah desa yang telah berinisiatif untuk menebitkan peraturan desa (Perdes) mengenai konservasi, salah satunya adalah Peraturan Desa (Perdes) yang melarang perburuan burung. Desa yang sudah memulai adalah Melung di Kecamatan Kedungbanteng dan Desa Gununglurah di Kecamatan Cilongok, Banyumas.