- Harimau sumatera kembali berkonflik dengan warga di Pagaralam, Sumatera Selatan. Korban Yudiansyah [40] ditemukan tewas di kebun kopinya, yang tak jauh dari Hutan Adat Mudek Ayek Tebat Benawa.
- Hutan Adat Mudek Ayek Tebat Benawa bagian dari Hutan Lindung Raje Mandare yang masuk dalam kawasan TNBBS [Taman Nasional Bukit Barisan Selatan], yang merupakan habitat harimau dan fauna khas sumatera lainnya.
- Hutan Adat Mudek Ayek dulunya merupakan hutan larangan warga Desa Tebat Benawa, yang sebagian besar memang mengalami kerusakan karena dibuka untuk perkebunan kopi.
- Terbukanya hutan larangan ini dimulai tahun 1980-an, ketika pemerintah membuka lokasi transmigran AD [Angkatan Darat}, yang akhirnya batal. Meskipun batal, sebagian hutan larangan tersebut sudah terbuka yang selanjutnya dijadikan perkebunan kopi oleh sebagian warga.
Konflik harimau dengan manusia kembali terjadi di Sumatera Selatan [Sumsel]. Tepatnya di Desa Tebat Benawa, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam. Korban tewas bernama Yudiansyah [40}, merupakan warga Desa Karang Dalam, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat.
Jasad Yudiansyah ditemukan warga Kamis [05/12/2019], dengan kondisi tubuh mengenaskan. Sebagian besar perut dan dadanya habis, hanya tersisa sepasang kaki, di perkebunan kopi tak jauh dari Hutan Adat Mudek Ayek Tebat Benawa.
Bulan lalu, 17 November 2019, Kuswanto [57], warga Desa Pulau Panas, Kabupaten Lahat, juga tewas akibat berkonflik dengan harimau di kebun kopinya.
Baca: Habitat Rusak, Harimau Berkonflik dengan Manusia di Sumatera Selatan
Sebenarnya, konflik harimau dengan warga dekat hutan adat tersebut sudah dialami Marta [25], warga Desa Tebat Benawa, pada Senin [02/12/2019] siang. Marta yang mengalami luka di bagian paha kaki, pinggang dan tangan, selamat setelah memanjat pohon di kebun kopinya.
Marta diserang harimau ketika bersama saudaranya Ican [25] saat menaburkan racun rumput di kebun kopi milik keluarganya, di kawasan Desa Tebat Benawa.
Menurut Ronal [36], seperti dikutip media di Palembang, Global Planet, Yudiansyah yang biasa dipanggil “Yanto” saat itu tengah di kebun kopinya dekat hutan adat tersebut. Warga curiga, sebab sepeda motornya ada tapi orangnya tidak pernah muncul. Yudiansyah sering bermalam atau tidur di pondok di kebunnya itu.
Berdasarkan informasi yang didapat Mongabay Indonesia, Yudiansyah pergi dari rumah ke kebunnya pada Senin [02/12/2019]. Dia mengatakan ke keluarganya untuk mengambil hasil petikan kopi yang disimpan di pondoknya. Dia berjanji pulang sore.
Setelah tiga hari, Kamis [05/12/2019] seorang keluarga korban menyusul Yudiansyah ke kebunnya, untuk menyampaikan berita ada kerabatnya yang meninggal dunia. Saat itu, jasad Yudiansyah ditemukan di samping pondoknya.
Khawatir harimau yang berkonflik dengan Yudiansyah masih di sekitar lokasi, evakuasi jasad korban dilakukan dengan tim gabungan dari TNI, POLRI, pemerintah, dan masyarakat, pada pukul 14.00 WIB.
Pukul 15.00 WIB jasad korban dibawa ke RS Besemah Kota Pagar Alam. Selanjutnya dikebumikan di Desa Karang Dalam, Kabupaten Lahat.
Hutan mulai rusak
Mengapa harimau muncul di Desa Tebat Benawa? Desa ini merupakan desa yang paling dekat dengan Hutan Lindung Raje Mandare yang merupakan salah satu habitat harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], masuk wilayah Sumatera Selatan dan Bengkulu. Hutan Adat Mudek Ayek Tebat Benawa bagian dari HL Raje Mandare.
Pada April 2019 lalu, Mongabay Indonesia masuk ke hutan adat tersebut. Selama dua jam di hutan, kami dan sejumlah warga menemukan dataran yang dipenuhi semak dan terdapat genangan air dan anggrek harimau, yang diyakini lokasi tempat hidupnya harimau sumatera.
“Alhamdulillah nenek [harimau] hindari kita. Dia masuk ke hutan lindung, makanya siamang di hutan lindung itu ribut. Ini rumah nenek,” kata Hairuddin [48], warga yang sering masuk ke hutan adat, saat itu.
Baca: Menjalankan Amanat Leluhur, Suku Basemah Jaga Hutan Adat Sumber Mata Air
Kawasan hutan yang selama ini sebagai hutan larangan tersebut merupakan sumber air bersih dan pertanian warga Desa Tebat Benawa. Namun, selama beberapa tahun terakhir mengalami kerusakan atau dibuka warga menjadi kebun kopi. Diperkirakan dilakukan oleh para pendatang.
Warga mencemaskan hal tersebut. Mereka pun mengusulkan kepada pemerintah agar kawasan hutan larangan dijadikan hutan adat dalam skema perhutanan sosial. Tahun 2018, kawasan hutan seluas 336 hektar itu akhirnya ditetapkan pemerintah sebagai hutan adat. Tujuannya, melindungi tiga mata air; ringkeh, ayik pudding, dan basemah.
Selain sebagai habitat harimau, di hutan adat tersebut masih ditemukan rusa, kijar, tapir, trenggiling, serta sejumlah tanaman khas sumatera, seperti rasamala, medang atau meranti, dan puluhan jenis rotan. Juga pohon lanang, yang diyakini warga kayunya sebagai penangkal petir, yang bisanya dijadikan palang di bumbungan rumah.
Bahkan mitos di masyarakat Desa Tebat Benawa, hutan adat tersebut terdapat badak berbulu putih atau albino. Selain itu, Desa Tebat Benawa merupakan salah satu desa tertua suku Besemah, yang berada di kawasan hulu Sungai Lematang.
Baca juga: Mitos Badak Putih Penjaga Mata Air, Peliharaan Sahabat Leluhur Suku Basemah
Transmigran gagal
Berdasarkan penelitian Dr. Edwin Martin “Resiko Antroposentrisme: Fenomenologi Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Dusun Tebat Benawa Pagaralam Sumatera Selatan” tahun 1980-an kawasan hutan tersebut dibuka untuk dijadikan transmigran angkatan darat [AD].
Sebagai pengganti sumber air, pemerintah menjanjikan proyek irigasi dari berbagai sungai besar di sekitar desa. Namun proyek tersebut tidak terlaksana. Warga desa protes dikarenakan sebagian wilayah hutan adat tersebut sudah terbuka, yang telah mengganggu sumber air desa.
Selain rusaknya sumber air, terbukanya hutan adat tersebut juga menghilangkan sejumlah pohon yang selama ini dijadikan bahan baku rumah warga, seperti kayu ramasala. Kayu ini diambil hanya untuk membuat rumah bukan untuk diperjualbelikan.
Wilayah hutan yang sudah terbuka tersebut kemudian dimanfaatkan sejumlah warga dari luar desa untuk berkebun kopi. Namun, untuk warga yang memiliki hubungan keluarga dengan sejumlah tokoh masyarakat setempat.
Guna menyelamatkan hutan adat tersisa, pada 2012 masyarakat Desa Tebat Benawa melakukan rapat atau sidang adat, yang memutuskan agar hutan adat tersebut tidak lagi diambil kayunya.